2024: Titik Balik bagi Demokrasi Global

2024: Titik Balik bagi Demokrasi Global

Tahun 2024 akan dikenang sebagai tahun penentu dalam perjalanan demokrasi global. Dengan lebih dari 4 miliar orang di 76 negara diperkirakan akan menggunakan hak pilihnya, pemilu kali ini bukan hanya sekadar ritual demokrasi rutin. Ini adalah cerminan dari pergulatan yang lebih besar—antara memperkuat demokrasi atau menyaksikannya goyah di tengah gelombang ekstremisme politik yang semakin menguat. Dunia kini dihadapkan pada dua tantangan besar: radikalisme politik yang kian menajamkan polarisasi dan melemahnya fondasi demokrasi, bahkan di negara-negara yang sebelumnya dianggap stabil.

Ekstremisme, baik dari sayap kanan maupun kiri, telah memanfaatkan ketidakpuasan publik yang meluas, merongrong kepercayaan terhadap institusi politik, dan di beberapa kasus, mengancam keberlangsungan sistem demokrasi itu sendiri. Amerika Serikat, India, dan sejumlah negara Eropa kini berada di persimpangan jalan, di mana pemilu yang akan digelar pada 2024 bisa menjadi penentu arah masa depan demokrasi mereka.

Tantangan bagi Negara-Negara Otoriter dan Demokrasi

Di banyak negara otoriter, pemilu kerap kali hanya menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan. Ini bukan lagi tentang pilihan rakyat, tetapi tentang legitimasi rezim yang berkuasa. Oposisi dilemahkan, media dikontrol, dan masyarakat diarahkan pada satu jalan: memperkuat posisi sang pemimpin. Pola ini terlihat jelas di sejumlah negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah, di mana pemilu justru menjadi simbol konsolidasi kekuasaan otoriter.

Sementara itu, negara-negara demokrasi mapan menghadapi tantangan yang berbeda namun sama mengkhawatirkan. Di Amerika Serikat, polarisasi politik mencapai titik ekstrem, dengan ketidakpercayaan terhadap hasil pemilu yang meluas. Serangan terhadap institusi demokrasi, seperti pengadilan dan media, semakin mengancam stabilitas demokrasi itu sendiri. India, di bawah pemerintahan Narendra Modi, juga menghadapi ujian besar. Nasionalisme Hindu yang semakin dominan telah menantang pluralisme politik yang menjadi landasan negara tersebut, memicu kekhawatiran akan masa depan demokrasi di sana.

Ekstremisme dan Polarisasi Politik

Ekstremisme politik sering kali berkembang di tengah ketidakpuasan publik terhadap ekonomi dan politik. Partai-partai sayap kanan di Eropa, seperti Geert Wilders di Belanda dan Marine Le Pen di Prancis, memanfaatkan kekhawatiran terkait imigrasi dan identitas nasional untuk memperluas basis pendukung mereka. Mereka menargetkan masyarakat yang merasa terancam oleh perubahan demografi dan globalisasi. Di Argentina, sosok populis kanan seperti Javier Milei semakin memperkuat posisinya dengan merangkul pemilih yang kecewa terhadap status quo, menunjukkan betapa kuatnya tarikan ekstremisme di era ketidakpastian.

Strategi Menghadapi Ekstremisme

Menghadapi ekstremisme politik bukanlah tugas mudah, namun bukan pula sesuatu yang mustahil. Salah satu langkah paling mendesak adalah memperkuat institusi demokrasi. Pengadilan independen, pemilu yang adil, dan kebebasan pers adalah fondasi yang harus diperkuat untuk melawan upaya merusak tatanan demokrasi. Ketika institusi-institusi ini berdiri kokoh, mereka menjadi penyeimbang yang efektif terhadap kekuatan-kekuatan politik yang berusaha menggerusnya.

Ketidakpuasan sosial dan ekonomi juga harus diatasi dengan serius. Kebijakan yang mengurangi ketimpangan sosial, menciptakan lapangan kerja, dan menyediakan jaring pengaman sosial akan membantu meredam daya tarik populisme. Ekstremisme sering kali mendapat panggung saat masyarakat merasa terpinggirkan, dan ini harus diatasi melalui solusi nyata yang melibatkan semua elemen masyarakat.

Pendidikan politik juga menjadi kunci penting. Meningkatkan literasi politik melalui program-program yang mengajarkan pemahaman tentang proses demokrasi dan dampak jangka panjang dari ekstremisme dapat membantu pemilih lebih bijaksana dalam menentukan pilihan mereka. Disinformasi, yang sering kali digunakan oleh kaum ekstremis untuk mengaburkan kenyataan, harus dilawan dengan pendidikan yang komprehensif dan transparan.

Kolaborasi internasional adalah elemen krusial lainnya. Negara-negara demokrasi perlu bekerja sama untuk melawan intervensi asing yang berusaha melemahkan demokrasi, seperti melalui serangan siber dan kampanye disinformasi. Kerja sama dalam berbagi intelijen dan memperkuat keamanan siber akan sangat penting dalam melindungi integritas pemilu di berbagai negara.

Masa Depan Ada di Tangan Pemuda dan Perempuan

Di tengah gelombang ekstremisme politik, ada secercah harapan dari gerakan yang dipimpin oleh kaum muda dan perempuan. Di banyak negara, mereka telah menjadi kekuatan yang tangguh dalam menolak otoritarianisme dan ekstremisme. Dari gerakan perempuan di Polandia yang memimpin protes besar-besaran menolak kebijakan anti-aborsi, hingga para pemilih muda di Meksiko yang akan memegang peran kunci dalam menentukan hasil pemilu 2024, masa depan demokrasi bergantung pada partisipasi aktif kelompok-kelompok ini.

Tahun 2024 akan menjadi ujian besar bagi demokrasi global. Hanya dengan memperkuat institusi demokrasi, mengatasi ketidakpuasan sosial-ekonomi, meningkatkan literasi politik, dan memperkuat kolaborasi internasional, dunia dapat mengatasi tantangan yang dihadirkan oleh ekstremisme politik. Jika tidak, kita mungkin akan menyaksikan demokrasi tergelincir lebih jauh ke arah otoritarianisme.

Referensi:

(2023). The Global State of Democracy 2023: The New Checks and Balances. . https://doi.org/10.31752/idea.2023.78.

Balogun, J., & Okonofua, F. (2023). The politics of abortion rights in the 2022 United States midterm election: Lessons for fledgling democracies around the world.. African journal of reproductive health, 27 2, 9-25 . https://doi.org/10.29063/ajrh2023/v27i2.1.

Kenny, E., & Runey, M. (2023). Imagining Democratic Futures: Asia and the Pacific Foresight Report 2024. . https://doi.org/10.31752/idea.2023.102.

McCoy, J., Rahman, T., & Somer, M. (2018). Polarization and the Global Crisis of Democracy: Common Patterns, Dynamics, and Pernicious Consequences for Democratic Polities. American Behavioral Scientist, 62, 16 – 42. https://doi.org/10.1177/0002764218759576.

AI:

ChatGPT

Consensus

Post Comment