Sanksi AS Terhadap Pengadilan Kriminal Internasional (ICC)
Gambar: dihasilkan menggunakan kecerdasan buatan
Amerika Serikat baru-baru ini mengumumkan sanksi terhadap beberapa personel Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Sanksi ini merupakan respon langsung atas penerbitan mandat penangkapan oleh ICC untuk pemimpin militer Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, serta tokoh penting dari Hamas.
Pengumuman sanksi ini dilakukan melalui perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Presiden Donald Trump, menuduh ICC melakukan “tindakan tidak sah dan tidak berdasar” yang menargetkan Amerika Serikat dan sekutunya, Israel. Sanksi tersebut termasuk pembekuan aset dan pembatasan visa bagi individu yang terlibat dalam penyelidikan ICC terhadap warga negara Amerika atau negara aliansi AS.
Langkah ini segera menuai reaksi keras dari komunitas internasional. Sebanyak 79 negara, termasuk beberapa anggota NATO seperti Inggris, Jerman, dan Prancis, mengeluarkan pernyataan bersama yang mengecam keputusan AS tersebut. Dalam pernyataan tersebut, mereka menegaskan bahwa ICC adalah institusi penting yang menjaga keadilan global dan bahwa sanksi ini merupakan serangan langsung terhadap hukum internasional dan prinsip-prinsip keadilan.
Para negara ini juga menekankan bahwa ICC telah menunjukkan kredibilitas dalam menangani berbagai kasus kejahatan internasional, termasuk kejahatan perang dan genosida, dan bahwa tindakan AS bisa mengurangi kepercayaan dunia terhadap sistem hukum internasional. Mereka meminta AS untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini, mengingat dampaknya yang luas terhadap kerangka hukum global.
Di sisi lain, Amerika Serikat mempertahankan posisinya dengan menyatakan bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi atas negara yang bukan anggota, dan bahwa mandat penangkapan yang dikeluarkan menimbulkan kesamaan moral yang tidak tepat antara Israel dan Hamas. Mereka menilai bahwa ini adalah tindakan yang tidak adil dan berpotensi merusak aliansi strategis di Timur Tengah.
Krisis diplomatik ini tidak hanya mempertanyakan hubungan AS dengan negara-negara sekutu dalam NATO dan di luar, tetapi juga memancing diskusi global tentang batas-batas kekuasaan pengadilan internasional dan hak suatu negara untuk menentukan hukum di dalam wilayahnya sendiri.
Sementara itu, ICC telah menyatakan bahwa mereka akan terus menjalankan tugas mereka sesuai dengan mandat yang diberikan oleh negara-negara anggota, menegaskan bahwa keadilan harus dilindungi dari tekanan politik.
Mandat Penangkapan ICC
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) adalah lembaga peradilan internasional yang berwenang untuk mengadili individu yang diduga melakukan kejahatan paling serius terhadap komunitas internasional seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi. Mandat penangkapan dari ICC adalah salah satu tindakan yang diambil oleh pengadilan ini untuk memastikan bahwa tersangka dapat diadili.
Cara Kerja Mandat Penangkapan ICC:
Pengajuan dan Persetujuan: Mandat penangkapan diajukan oleh Jaksa Penuntut ICC kepada Kamar Pra-Peradilan. Jika ada “alasan yang cukup” untuk percaya bahwa seseorang telah melakukan kejahatan yang berada dalam yurisdiksi ICC, maka kamar ini dapat mengeluarkan mandat penangkapan.
Isi Mandat: Mandat ini biasanya berisi nama tersangka, tuduhan yang dihadapi, dan instruksi kepada negara-negara anggota untuk menahan dan menyerahkan tersangka ke ICC.
Eksekusi Mandat: ICC tidak memiliki kekuatan polisi sendiri, sehingga bergantung pada negara-negara anggota untuk mengeksekusi mandat penangkapan. Negara anggota diwajibkan untuk menangkap tersangka jika mereka berada di dalam wilayah mereka dan menyerahkannya ke ICC.
Kendala dan Tantangan: Namun, sering kali ada tantangan dalam mengeksekusi mandat ini. Negara yang bukan anggota ICC atau negara yang tidak bersedia bekerja sama mungkin tidak mengindahkan mandat tersebut. Contoh terkenal adalah kasus Omar al-Bashir dari Sudan, di mana beberapa negara menolak untuk menangkapnya meskipun ia memiliki mandat penangkapan dari ICC.
Kasus Terkini:
Mandat untuk Pemimpin Israel dan Hamas: Pada November 2024, ICC mengeluarkan mandat penangkapan untuk Benjamin Netanyahu, mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant dari Israel, dan beberapa pemimpin Hamas, termasuk Mohammed Deif, dengan tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konflik Gaza. Ini menjadi salah satu kasus paling kontroversial karena menyebabkan reaksi keras dari Amerika Serikat, yang kemudian menjatuhkan sanksi terhadap beberapa personel ICC.
Dampak dan Reaksi:
Dampak Hukum dan Diplomatik: Mandat penangkapan ini dapat membatasi pergerakan tersangka karena mereka bisa ditangkap di negara anggota ICC. Namun, reaksi internasional bisa bervariasi, seperti yang terlihat dari sanksi AS terbaru terhadap ICC.
Debat Internasional: Ada debat tentang yurisdiksi ICC, terutama ketika menyangkut negara yang bukan anggota seperti Israel dan Amerika Serikat. Diskusi ini sering kali melibatkan pertanyaan tentang keadilan global, kedaulatan negara, dan politik internasional.
Yurisdiksi Pengadilan Kriminal Internasional (ICC)
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) adalah lembaga peradilan internasional yang didirikan untuk menangani kejahatan paling serius yang mengancam komunitas internasional sebagai keseluruhan. Yurisdiksi ICC didefinisikan oleh Statuta Roma, dokumen yang menjadi dasar hukum pengadilan ini. Berikut adalah detail tentang yurisdiksi ICC:
Negara Anggota
Yurisdiksi: ICC hanya memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah negara anggota atau oleh warga negara anggota.
9 Februari 2025: Saat ini, ada 123 negara yang meratifikasi Statuta Roma, yang berarti mereka adalah anggota penuh ICC dengan kewajiban untuk bekerja sama dengan pengadilan ini.
Kejahatan yang Dibawah Yurisdiksi
Genosida: Tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian, sekelompok orang berdasarkan nasional, etnis, rasial, atau agama mereka.
Kejahatan terhadap Kemanusiaan: Tindakan sistematis atau meluas yang dilakukan terhadap penduduk sipil, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, deportasi, dan penyiksaan.
Kejahatan Perang: Pelanggaran serius terhadap hukum perang, seperti serangan terhadap penduduk sipil, penggunaan senjata yang dilarang, dan perlakuan buruk terhadap tahanan perang.
Kejahatan Agresi: Penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara satu terhadap kedaulatan, integritas wilayah, atau kemerdekaan politik negara lain. (Aktivasi yurisdiksi atas kejahatan agresi relatif baru dan berlaku mulai 17 Juli 2018 dengan beberapa ketentuan khusus.)
Situasi Yurisdiksi
Rujukan Negara: Negara anggota dapat merujuk situasi ke ICC jika mereka percaya bahwa kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi telah atau sedang terjadi di wilayah mereka atau oleh warga negara mereka.
Rujukan Dewan Keamanan PBB: Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat merujuk kasus ke ICC tanpa memandang apakah negara tersebut merupakan anggota Statuta Roma atau tidak.
Proaktif Jaksa Penuntut: Jaksa Penuntut dapat memulai penyelidikan sendiri (proprio motu) jika ada informasi yang cukup kuat untuk menunjukkan bahwa kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi telah terjadi.
Komplementaritas
Prinsip Komplementaritas: ICC tidak akan bertindak jika negara di mana kejahatan terjadi atau negara dari kewarganegaraan tersangka memiliki sistem hukum yang bersedia dan mampu untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan yang tepat. ICC hanya akan bergerak jika negara-negara tersebut tidak mampu atau tidak bersedia melakukannya (genuine unwillingness or inability).
Tantangan dan Kritik
Yurisdiksi Terbatas: Karena tidak semua negara meratifikasi Statuta Roma (termasuk Amerika Serikat, Rusia, dan Cina), yurisdiksi ICC terbatas pada negara anggota dan kasus yang diakui oleh Dewan Keamanan PBB.
Politik dan Diplomasi: Yurisdiksi ICC sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik internasional, membuat beberapa negara menolak atau tidak mengakui yurisdiksi ICC atas warga negara atau wilayah mereka.
Referensi: Al-Jazeera, The Washington Post, BBC
AI: Grok
Post Comment