Dinamika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Peringatan Tiga Tahun Invasi Rusia ke Ukraina

Dinamika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Peringatan Tiga Tahun Invasi Rusia ke Ukraina

Gambar: dihasilkan menggunakan kecerdasan buatan 

Dinamika di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada 25 Februari 2025, terkait peringatan tiga tahun invasi Rusia ke Ukraina, mencerminkan kompleksitas politik internasional yang terus berkembang. Pada Senin, 24 Februari 2025, DK PBB mengadopsi resolusi yang dirancang oleh Amerika Serikat (AS) dengan hasil voting 10 suara mendukung, tanpa suara menentang, dan lima abstain dari Prancis, Inggris, Denmark, Yunani, dan Slovenia. Resolusi ini menyerukan “penghentian konflik segera” dan “perdamaian abadi” antara Rusia dan Ukraina, namun secara mencolok menghindari penyebutan agresi Rusia atau menegaskan integritas teritorial Ukraina—sebuah pendekatan yang dipandang netral dan menimbulkan kontroversi di kalangan sekutu transatlantik AS.

Resolusi ini muncul pada peringatan tiga tahun sejak Rusia melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina pada 24 Februari 2022, yang telah menewaskan puluhan ribu orang dan menyebabkan krisis kemanusiaan serta ekonomi di Eropa. DK PBB, yang terdiri dari 15 anggota termasuk lima anggota tetap dengan hak veto (AS, Rusia, China, Prancis, dan Inggris), telah lama mengalami kebuntuan dalam menangani konflik ini karena veto Rusia. Namun, resolusi kali ini menandai perubahan signifikan dalam pendekatan AS di bawah Presiden Donald Trump, yang mulai menjabat kembali pada Januari 2025. Tidak seperti pemerintahan sebelumnya di bawah Joe Biden, yang secara konsisten mengutuk Rusia dan mendukung Ukraina dengan bantuan militer besar-besaran, Trump mendorong penyelesaian cepat melalui mediasi dan gencatan senjata, mencerminkan kebijakan “America First” yang lebih transaksional.

Resolusi AS yang diadopsi ini sengaja dirancang dengan bahasa yang ambigu dan netral. Wakil Duta Besar AS untuk PBB, Dorothy Shea, menyebutnya sebagai “langkah pertama menuju perdamaian” yang berfokus pada “masa depan, bukan masa lalu.” Meski mendapat dukungan dari Rusia dan China—dua anggota tetap yang biasanya berseberangan dengan AS—lima negara Eropa memilih abstain karena menganggap teks tersebut terlalu lunak terhadap Rusia. Perwakilan Prancis, Nicolas de Rivière, secara terbuka menyatakan bahwa “perdamaian tidak boleh menghargai agresi,” menyoroti kekhawatiran bahwa pendekatan ini bisa melemahkan prinsip hukum internasional.

Dorongan Trump untuk gencatan senjata cepat dengan Rusia menjadi inti dari ketegangan ini. Sejak kembali ke Gedung Putih, Trump telah menyuarakan keinginan untuk mengakhiri perang “dalam hitungan minggu,” sebuah janji yang ia ulang saat bertemu Presiden Prancis Emmanuel Macron di Washington pada 24 Februari 2025. Dalam konferensi pers bersama Macron, Trump menyatakan bahwa “Eropa harus mengambil peran sentral dalam mengamankan perdamaian,” sembari menegaskan bahwa AS tidak akan lagi menanggung “beban keamanan” sendirian. Ia juga mengklaim telah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang disebutnya “tertarik pada kesepakatan.”

Pendekatan ini berbenturan dengan visi Eropa, khususnya Prancis dan Inggris, yang menekankan perlunya perdamaian yang “adil dan abadi” serta menghormati kedaulatan Ukraina. Macron, dalam pertemuan tersebut, memperingatkan bahwa “gencatan senjata tanpa jaminan keamanan bukan solusi” dan bisa diartikan sebagai “penyerahan Ukraina.” Ia juga menegaskan kesiapan Eropa untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian jika diperlukan, sebuah ide yang didukung Trump, meski detailnya masih belum dijelaskan. Ketegangan transatlantik ini diperparah oleh keputusan Trump untuk membuka pembicaraan langsung dengan Rusia di Riyadh pada Februari 2025 tanpa melibatkan Ukraina atau sekutu Eropa, sebuah langkah yang dikecam oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

Rusia menyambut resolusi ini dengan nada hati-hati. Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, menyebutnya “bukan resolusi ideal” tetapi “titik awal” untuk penyelesaian damai, menunjukkan kesiapan Moskow untuk memanfaatkan perubahan sikap AS. Sementara itu, Ukraina dan pendukungnya di Eropa merasa dikesampingkan. Resolusi tandingan yang diajukan Ukraina di Majelis Umum PBB—yang secara eksplisit mengutuk Rusia dan menuntut penarikan pasukan—ditolak AS dan Rusia, meski mendapat dukungan mayoritas anggota. Ini menunjukkan perpecahan yang semakin dalam antara AS dan sekutu tradisionalnya.

Di sisi lain, Uni Eropa (UE) dan Inggris melanjutkan tekanan terhadap Rusia dengan sanksi baru pada 24 Februari 2025. UE menargetkan ekspor aluminium Rusia dan “armada bayangan” kapal yang diduga menghindari sanksi, sementara Inggris fokus pada teknologi militer dan hubungan Rusia dengan Korea Utara. Langkah ini kontras dengan pendekatan AS yang lebih akomodatif, memperdalam persepsi bahwa aliansi transatlantik sedang retak.

Dinamika ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam hubungan internasional. Kebijakan Trump yang pragmatis dan fokus pada “perdamaian cepat” bertentangan dengan pendekatan Eropa yang lebih prinsipil, yang menolak kompromi dengan Rusia tanpa jaminan kuat bagi Ukraina. Analis seperti Rachel Rizzo dari Dewan Atlantik menilai pertemuan Trump-Macron sebagai “sinyal kemajuan potensial,” tetapi dengan risiko bahwa “kecepatan bisa mengorbankan stabilitas jangka panjang.” Ketegangan transatlantik ini juga menggarisbawahi tantangan baru bagi NATO dan komitmen AS terhadap keamanan Eropa, yang selama ini menjadi pilar hubungan pasca-Perang Dunia II.

Implikasi jangka panjang masih belum jelas. Jika gencatan senjata tercapai, pertanyaan besar adalah apakah itu akan bertahan tanpa mekanisme penegakan yang kuat, terutama mengingat sejarah pelanggaran Rusia terhadap kesepakatan serupa, seperti Protokol Minsk. Sementara itu, Ukraina—yang tidak dilibatkan langsung dalam proses ini—mungkin akan terus menolak solusi yang dianggap mengorbankan kedaulatannya. Dinamika di DK PBB pada Februari 2025 ini kemungkinan hanya awal dari negosiasi yang lebih panjang dan rumit, dengan risiko eskalasi ketegangan baik di medan perang maupun di panggung diplomatik.

Sumber: VOA Indonesia, Reuters, BBC, Al Jazeera, BisnisUpdate.com, Tribunnews

AI: Grok

Post Comment