Putin Tawarkan Kerjasama dengan AS: Suplai 2 Juta Ton Aluminium dan Eksplorasi Rare Earth Metal

Putin Tawarkan Kerjasama dengan AS: Suplai 2 Juta Ton Aluminium dan Eksplorasi Rare Earth Metal

Gambar: dihasilkan menggunakan kecerdasan buatan

Presiden Rusia Vladimir Putin mengajukan tawaran menarik kepada Amerika Serikat dalam wawancara dengan televisi negara Russia pada Senin malam, 24 Februari 2025. Dalam pernyataannya, Putin mengusulkan kerjasama ekonomi yang mencakup pasokan 2 juta ton aluminium ke pasar AS serta kemitraan dalam eksplorasi dan pengembangan rare earth metal (logam tanah jarang), yang dinilai strategis untuk industri global.

Tawaran ini disampaikan Putin hanya beberapa jam setelah Presiden AS Donald Trump menyebut adanya potensi “transaksi pengembangan ekonomi besar dengan Rusia” dalam pidatonya. Putin menegaskan bahwa Rusia siap melibatkan perusahaan-perusahaan Amerika, bukan hanya pemerintah, dalam proyek-proyek tersebut. “Kami tentu memiliki sumber daya yang jauh lebih besar dibandingkan Ukraina. Rusia adalah salah satu pemimpin dunia dalam cadangan logam tanah jarang,” ujar Putin, seraya menyinggung persaingan dengan Ukraina yang tengah bernegosiasi dengan AS terkait sumber daya serupa.

Menurut Putin, pasokan aluminium sebanyak 2 juta ton per tahun ke AS dapat membantu menstabilkan harga di pasar global. “Ini tidak akan mengubah harga secara signifikan, tetapi akan memberikan efek penahan pada kenaikan harga,” katanya. Ia juga mengusulkan kerjasama di wilayah Krasnoyarsk, Siberia, yang merupakan basis produsen aluminium terbesar Rusia, Rusal, untuk proyek pembangkit listrik tenaga air dan produksi aluminium bersama perusahaan AS. Sebelum sanksi diberlakukan pada 2023, Rusia menyumbang sekitar 15% impor aluminium AS, dan Putin tampaknya ingin membuka kembali peluang tersebut jika sanksi dicabut.

Tidak hanya itu, Putin juga menawarkan eksplorasi logam tanah jarang di Rusia dan bahkan di wilayah Ukraina timur yang dikuasai Rusia. “Kami siap mengundang mitra asing, termasuk Amerika, untuk bekerja sama di wilayah baru kami,” ucapnya, merujuk pada area pendudukan Rusia di Ukraina. Namun, tawaran ini dinilai kontroversial mengingat sanksi AS saat ini melarang kerjasama semacam itu, dan kecil kemungkinan perusahaan AS akan beroperasi di wilayah yang dianggap ilegal oleh komunitas internasional.

Pengamat melihat langkah Putin ini sebagai upaya untuk memanfaatkan ketertarikan Trump pada keuntungan ekonomi dan pendekatan transaksionalnya dalam diplomasi. “Ini adalah sinyal bahwa Rusia ingin menggoda AS dengan potensi keuntungan bisnis di tengah negosiasi geopolitik yang rumit,” kata analis politik independen Dmitry Orlov. Sementara itu, tawaran ini muncul di saat Trump tengah mendorong Ukraina untuk memberikan akses ke sumber daya mineralnya sebagai imbalan atas bantuan militer AS.

Belum ada tanggapan resmi dari Gedung Putih terkait proposal Putin. Namun, pernyataan ini telah memicu diskusi luas di kalangan pelaku pasar dan politisi. Di sisi lain, sanksi yang masih berlaku serta ketegangan akibat perang di Ukraina menjadi hambatan besar bagi realisasi tawaran tersebut. Apakah kerjasama ini akan terwujud atau hanya menjadi bagian dari retorika politik, tampaknya akan bergantung pada dinamika hubungan AS-Rusia di masa mendatang.

Rusia Siap Buka Kembali Pintu untuk Perusahaan Eropa Barat dan Amerika

Rusia menunjukkan tanda-tanda keterbukaan baru terhadap perusahaan-perusahaan dari Eropa Barat dan Amerika Serikat, menyusul tiga tahun sanksi ekonomi ketat yang diberlakukan akibat invasi ke Ukraina pada 2022. Dalam pernyataan terbaru, Kremlin menyambut baik potensi kembalinya perusahaan-perusahaan Barat, meskipun dengan syarat tertentu yang mencerminkan perubahan dinamika ekonomi dan geopolitik.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, mengatakan pada Senin, 24 Februari 2025, bahwa Rusia bersedia menerima kembali perusahaan-perusahaan asing, namun mereka harus menghormati sejarah dan kepentingan nasional Rusia. “Kami terbuka untuk kerjasama, tetapi ini bukan tentang kembali ke masa lalu. Perusahaan-perusahaan ini perlu memahami realitas baru Rusia,” ujar Zakharova dalam konferensi pers di Moskow. Pernyataan ini muncul seiring laporan bahwa Presiden Vladimir Putin telah memerintahkan kabinetnya untuk mempersiapkan langkah-langkah yang memungkinkan kembalinya bisnis Barat, dengan tetap memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan lokal Rusia.

Langkah ini diduga terkait dengan perubahan kebijakan AS di bawah Presiden Donald Trump, yang baru-baru ini mengisyaratkan kemungkinan pelonggaran sanksi terhadap Rusia sebagai bagian dari negosiasi damai terkait Ukraina. Kepala Russian Direct Investment Fund (RDIF), Kirill Dmitriev, optimistis bahwa sejumlah perusahaan Amerika dapat kembali beroperasi di Rusia mulai kuartal kedua tahun 2025. “Pasar Rusia tetap menarik, meskipun banyak ceruk sudah diisi oleh pemain lokal dan mitra dari negara lain seperti Tiongkok,” katanya kepada media.

Sejak eksodus massal perusahaan Barat pada 2022—termasuk nama-nama besar seperti McDonald’s, IKEA, dan BP akibat sanksi dan tekanan publik—Rusia telah mengalihkan ekonominya ke arah kemandirian dan kerjasama dengan negara-negara Asia. Namun, tawaran keterbukaan ini tidak serta-merta berarti jalan mulus bagi perusahaan Eropa dan Amerika. Putin menegaskan bahwa perusahaan Rusia harus mendapat “keunggulan tertentu” dalam persaingan, sementara aturan ketat seperti diskon 50% untuk penjualan aset dan pajak keluar yang tinggi masih berlaku bagi perusahaan asing yang ingin beroperasi atau keluar dari Rusia.

Pengamat ekonomi melihat langkah ini sebagai strategi Rusia untuk memanfaatkan potensi perubahan kebijakan Barat, sambil tetap menjaga kontrol atas ekonominya. “Rusia ingin menarik investasi Barat tanpa kehilangan kedaulatan ekonominya yang baru dibangun,” kata analis geopolitik Maria Shagina dari International Institute for Strategic Studies. Namun, tantangan besar tetap ada, termasuk sanksi yang masih berlaku dan ketidakpastian hukum bagi perusahaan asing di Rusia.

Reaksi dari perusahaan Barat sendiri masih beragam. Beberapa, seperti produsen otomotif Eropa dan raksasa energi Amerika, dilaporkan mempertimbangkan peluang ini, tetapi banyak yang ragu karena risiko reputasi dan hambatan birokrasi. Sementara itu, perusahaan teknologi seperti Visa dan Mastercard dikabarkan sedang dalam pembicaraan awal untuk mengembalikan layanan mereka di Rusia.

Sumber: Reuteurs, Washington Post, CNN, New York Times, Foreignpolicy, International Institute for Strategic Studies

AI: Grok

Post Comment