Skandal Korupsi Pertalite
Gambar: dihasilkan menggunakan kecerdasan buatan
Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia mengungkap skandal korupsi besar-besaran di anak perusahaan PT Pertamina (Persero), PT Pertamina Patra Niaga, yang diduga melibatkan pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite menjadi Pertamax. Kasus ini mencuat setelah Kejagung menetapkan dan menahan tujuh tersangka pada 24 Februari 2025, terdiri dari empat petinggi termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga dan tiga pihak dari kontraktor swasta. Dugaan korupsi ini terjadi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang antara tahun 2018 hingga 2023, menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun.
Menurut rilis Kejagung, modus yang digunakan para tersangka adalah membeli Pertalite dengan Research Octane Number (RON) 90 dalam jumlah besar, kemudian mengoplosnya dengan bahan kimia tertentu untuk meningkatkan nilai oktannya menjadi RON 92, 95, bahkan 98—setara dengan kualitas Pertamax hingga Pertamax Turbo. BBM oplosan ini kemudian dijual dengan harga premium, jauh di atas harga subsidi Pertalite yang ditetapkan pemerintah. Mereka memanfaatkan celah dalam rantai pasok dan distribusi untuk meraup keuntungan pribadi, sementara rakyat menanggung beban kualitas BBM yang meragukan dengan harga tinggi.
Praktik ini diduga melibatkan kerja sama antara internal Pertamina Patra Niaga—anak usaha Pertamina yang mengelola distribusi BBM—dengan kontraktor swasta yang menyediakan bahan aditif. Kejagung menyebut bahwa volume BBM yang dioplos mencapai ratusan juta liter per tahun, dengan keuntungan ilegal dialirkan ke rekening pribadi para tersangka dan jaringan mereka. “Ini bukan hanya penyalahgunaan wewenang, tetapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan publik,” tambah Kuntadi.
Kerugian finansial sebesar Rp 193,7 triliun ini diyakini sebagai salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah BUMN Indonesia. Angka tersebut meliputi selisih harga jual BBM oplosan, penyalahgunaan subsidi Pertalite yang seharusnya untuk masyarakat kecil, serta dampak ekonomi makro akibat terganggunya stabilitas pasokan energi. Kementerian BUMN menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan audit menyeluruh terhadap tata kelola Pertamina dan berkoordinasi dengan Kejagung untuk memastikan proses hukum berjalan lancar, dan tidak akan mentolerir praktik kotor yang merugikan rakyat dalam pernyataan resminya pada 25 Februari 2025. Di sisi masyarakat, banyak pengguna kendaraan mengeluhkan kualitas BBM yang tidak konsisten meski membayar harga Pertamax. Sentimen serupa juga ramai di media sosial, dengan tagar #KorupsiPertamina trending di X sejak pengumuman Kejagung.
Ketujuh tersangka kini ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejagung untuk 20 hari pertama, terhitung sejak 24 Februari 2025. Mereka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup. Kejagung juga tengah menelusuri aset-aset tersangka, termasuk rekening di luar negeri, yang diduga digunakan untuk menyimpan hasil korupsi.
Kasus ini memicu kemarahan publik, terutama karena Pertalite merupakan BBM subsidi yang menjadi andalan masyarakat kelas menengah ke bawah. Skandal korupsi Pertalite ini bukan hanya mengguncang kepercayaan publik terhadap Pertamina, tetapi juga menambah daftar panjang tantangan pemerintahan baru dalam mewujudkan tata kelola yang bersih. Proses hukum yang sedang berjalan akan menjadi ujian bagi penegakan hukum di Indonesia, sementara masyarakat menanti langkah konkret untuk memastikan BBM subsidi benar-benar sampai ke tangan yang berhak.
Referensi: Merdeka, Detik, Asumsi, Gelora, Kompas, CNN
AI: Grok
Post Comment