Hungaria dan Slovakia Tunjukkan Pandangan Berbeda di NATO Terkait Konflik Ukraina
Gambar: dihasilkan menggunakan kecerdasan buatan
Hungaria dan Slovakia, dua negara anggota NATO, kembali menunjukkan sikap yang berbeda dari mayoritas sekutu mereka dalam aliansi tersebut terkait konflik Ukraina. Di tengah meningkatnya dukungan NATO terhadap Kyiv untuk melawan agresi Rusia, kedua negara ini terus mempertahankan pandangan mereka sendiri, yang sering kali bertentangan dengan konsensus aliansi, memicu perdebatan tentang solidaritas di blok militer tersebut.
Menteri Luar Negeri Hungaria, Péter Szijjártó, pada pertemuan NATO di Brussels awal pekan ini, menegaskan bahwa Hungaria tidak akan mendukung langkah apa pun yang dapat memperpanjang atau meningkatkan eskalasi konflik di Ukraina. “Kami percaya bahwa pengiriman senjata tambahan atau dukungan untuk serangan jauh ke wilayah Rusia hanya akan memperburuk situasi dan membawa risiko Perang Dunia III,” ujar Szijjártó. Hungaria, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Viktor Orbán, secara konsisten menolak mengirimkan senjata ke Ukraina dan memblokir beberapa inisiatif NATO, seperti pertemuan tingkat tinggi dengan Ukraina, dengan alasan perlindungan hak minoritas etnis Hungaria di Ukraina barat.
Sementara itu, Perdana Menteri Slovakia, Robert Fico, menggemakan sentimen serupa dengan menyatakan bahwa negaranya akan menggunakan hak veto untuk mencegah keanggotaan Ukraina di NATO selama ia berkuasa. Dalam wawancara di televisi nasional pada 2 Maret 2025, Fico menegaskan, “Saya tidak akan membiarkan Slovakia terseret ke dalam konflik yang lebih besar hanya demi ambisi geopolitik Barat. Ukraina di NATO berarti perang dengan Rusia, dan itu bukan kepentingan kami.” Fico, yang kembali berkuasa pada 2023, telah menghentikan pengiriman senjata ke Ukraina dan mendorong negosiasi damai dengan Rusia, sebuah sikap yang kontras dengan dukungan militer luas dari negara-negara NATO lainnya.
Pandangan kedua negara ini mencerminkan pendekatan yang lebih pragmatis dan pro-Rusia dibandingkan mayoritas anggota NATO, yang sejak invasi Rusia pada Februari 2022 telah meningkatkan bantuan militer dan finansial untuk Ukraina. Hungaria dan Slovakia kerap dikritik sebagai “pengganggu” dalam aliansi, terutama karena sikap mereka yang menghambat keputusan kolektif. Sebagai contoh, Hungaria sempat menunda ratifikasi keanggotaan Swedia di NATO selama lebih dari setahun, sementara Slovakia di bawah Fico menolak sanksi UE yang lebih ketat terhadap Rusia dengan alasan dampak ekonomi pada rakyatnya.
Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte, menanggapi perbedaan pandangan ini dengan hati-hati. “NATO adalah aliansi 32 negara dengan perspektif yang beragam, tetapi tujuan kami tetap sama: mendukung Ukraina dan menjaga stabilitas Eropa,” katanya pada 4 Maret 2025. Namun, para analis menilai bahwa sikap Hungaria dan Slovakia dapat melemahkan posisi NATO, terutama di saat Presiden AS terpilih Donald Trump, yang akan menjabat pada 20 Januari 2025, menunjukkan ketidakpastian terhadap komitmen AS dalam konflik ini.
Di sisi lain, beberapa pihak di Eropa Timur, seperti Polandia dan negara Baltik, mengecam keras sikap Hungaria dan Slovakia. Menteri Pertahanan Polandia, Władysław Kosiniak-Kamysz, menyebut kedua negara itu “mengorbankan keamanan kolektif demi kepentingan nasional sempit.” Ketegangan ini menambah kompleksitas dalam upaya NATO untuk mempertahankan front persatuan melawan Rusia.
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menegaskan bahwa Kyiv tetap berkomitmen untuk bergabung dengan NATO, meskipun menghadapi hambatan dari Budapest dan Bratislava. “Kami menghormati setiap pandangan, tetapi masa depan Ukraina ada di NATO, dan itu tidak bisa ditawar,” ujarnya dalam pidato virtual di hadapan parlemen Eropa pada 3 Maret 2025.
Dengan perbedaan pandangan yang kian mencolok, Hungaria dan Slovakia terus menjadi sorotan dalam dinamika NATO, menimbulkan pertanyaan apakah aliansi ini dapat mempertahankan kohesi di tengah tantangan dari dalam dan luar.
Sumber: Aljazera, DW, BBC, Foreignpolicy
AI Grok
Post Comment