China Bangun Pembangkit Listrik Raksasa di Gurun Gobi untuk Masa Depan Energi Hijau
Gambar: dihasilkan menggunakan kecerdasan buatan
China terus mempercepat ambisinya menjadi pemimpin global dalam energi terbarukan dengan membangun infrastruktur pembangkit listrik berskala besar di Gurun Gobi, salah satu gurun terbesar di dunia yang membentang di wilayah China dan Mongolia. Proyek ini menjadi bagian dari rencana strategis negara tersebut untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mencapai target emisi karbon nol bersih pada tahun 2060.
Menurut laporan terbaru, China telah berhasil membangun jaringan pembangkit listrik tenaga surya dan angin di Gurun Gobi serta wilayah gurun lainnya di barat laut, seperti Tengger dan Kubuqi. Kapasitas terpasang saat ini diperkirakan mencapai 600 gigawatt (GW), setara dengan lebih dari setengah total kapasitas pembangkit listrik Amerika Serikat pada tahun 2022. Proyek ini mencakup ladang panel surya yang membentang luas serta turbin angin yang memanfaatkan angin kencang khas gurun.
Salah satu proyek unggulan adalah “Tembok Besar Surya” di Gurun Kubuqi, Inner Mongolia, yang dirancang untuk menghasilkan 100 GW saat selesai pada tahun 2030. Proyek ini tidak hanya bertujuan menyediakan listrik bersih untuk kota-kota besar seperti Beijing, tetapi juga membantu mengatasi desertifikasi dengan menstabilkan bukit pasir dan menciptakan keteduhan untuk vegetasi di bawah panel surya. Hingga Juni 2024, China telah memimpin dunia dengan kapasitas tenaga surya operasional sebesar 386.875 MW, menyumbang sekitar 51 persen dari total global.
Pemerintah China, melalui National Development and Reform Commission (NDRC), telah mengumumkan rencana untuk membangun total 450 GW kapasitas tenaga surya dan angin di Gurun Gobi dan wilayah gurun lainnya hingga akhir dekade ini. Direktur NDRC, He Lifeng, menyebut proyek ini sebagai “skala terbesar dalam sejarah pembangunan energi terbarukan di gurun.” Untuk mendukung stabilitas jaringan listrik, China juga mengandalkan pembangkit listrik tenaga batubara berteknologi tinggi dan jalur transmisi tegangan ultra-tinggi (UHV) yang mengirimkan listrik dari barat laut ke provinsi-provinsi timur yang padat penduduk.
Inovasi tidak berhenti di situ. Di tepi Gurun Gobi, China juga sedang membangun pembangkit listrik tenaga nuklir berbasis thorium dan garam cair (molten salt reactor), yang diklaim lebih aman dan ramah lingkungan dibandingkan reaktor tradisional berbasis uranium. Pembangkit ini, yang dijadwalkan mulai beroperasi pada tahun 2030, akan menghasilkan 10 MW listrik dan menjadi yang pertama dari jenisnya di dunia.
Para ahli memuji upaya ini sebagai langkah besar menuju transformasi energi hijau, meskipun tantangan seperti biaya pemeliharaan di lingkungan gurun yang keras dan ketergantungan parsial pada batubara tetap menjadi sorotan. “China memanfaatkan ruang luas dan sumber daya alam Gurun Gobi untuk menciptakan revolusi energi yang bisa mengubah dunia,” kata Ma Xiaowei, profesor dari Universitas Xian Jiaotong. Dengan proyek ini, China tidak hanya memperkuat posisinya di panggung global, tetapi juga memberikan harapan bagi negara lain dalam memerangi perubahan iklim.
Teknologi Thorium: Energi Nuklir Masa Depan yang Lebih Aman dan Berkelanjutan
Thorium adalah elemen kimia radioaktif alami dengan nomor atom 90, yang ditemukan dalam jumlah besar di kerak bumi—jauh lebih melimpah dibandingkan uranium, bahan bakar nuklir konvensional. Teknologi thorium merujuk pada penggunaannya sebagai bahan bakar dalam reaktor nuklir, khususnya dalam reaktor berbasis garam cair (Molten Salt Reactor atau MSR), yang menawarkan pendekatan alternatif terhadap energi nuklir tradisional. China, seperti disebutkan sebelumnya, sedang mengembangkan teknologi ini di tepi Gurun Gobi, menjadikannya salah satu pelopor dalam penerapan thorium secara komersial.
Bagaimana Teknologi Thorium Bekerja?
Tidak seperti uranium-235 yang langsung dapat digunakan dalam reaksi fisi (pemisahan inti atom untuk menghasilkan energi), thorium-232 tidak bersifat fisil secara langsung. Namun, thorium-232 dapat diubah menjadi uranium-233 yang bersifat fisil melalui proses berikut:
- Penyerapan Neutron: Thorium-232 menyerap neutron lambat di dalam reaktor, mengubahnya menjadi thorium-233.
- Peluruhan Radioaktif: Thorium-233 dengan cepat meluruh menjadi protactinium-233, dan dalam waktu sekitar satu bulan, protactinium-233 meluruh lagi menjadi uranium-233.
- Fisi Nuklir: Uranium-233 kemudian mengalami reaksi fisi, menghasilkan energi panas yang dapat digunakan untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik.
Proses ini biasanya dilakukan dalam reaktor garam cair, di mana thorium dilarutkan dalam garam cair (biasanya campuran lithium fluoride dan beryllium fluoride) yang berfungsi sekaligus sebagai bahan bakar dan pendingin. Garam cair ini bersirkulasi pada suhu tinggi (600-700°C) tetapi tetap pada tekanan rendah, berbeda dengan reaktor air bertekanan tinggi konvensional.
Keunggulan Teknologi Thorium
- Keamanan Tinggi:
- Reaktor thorium berbasis garam cair tidak memerlukan tekanan tinggi, sehingga risiko ledakan seperti di Chernobyl atau Fukushima sangat kecil.
- Jika terjadi kegagalan sistem, garam cair dapat dialirkan ke tangki pembuangan dan membeku secara alami, menghentikan reaksi nuklir tanpa intervensi manusia.
- Limbah Lebih Sedikit:
- Limbah radioaktif dari thorium memiliki masa hidup jauh lebih pendek dibandingkan limbah uranium (ratusan tahun vs. puluhan ribu tahun).
- Produksi plutonium—bahan yang dapat digunakan untuk senjata nuklir—juga hampir tidak ada.
- Ketersediaan Bahan Baku:
- Thorium tiga hingga empat kali lebih melimpah di alam dibandingkan uranium, dengan cadangan besar di negara seperti China, India, dan Australia.
- Efisiensi Energi:
- Thorium dapat “dibakar” lebih lengkap dalam reaktor garam cair, menghasilkan energi yang lebih besar dari jumlah bahan bakar yang sama dibandingkan reaktor uranium tradisional.
- Fleksibilitas:
- Reaktor thorium dapat dirancang dalam skala kecil (modular), cocok untuk daerah terpencil seperti Gurun Gobi.
Tantangan Teknologi Thorium
Meski menjanjikan, teknologi ini belum sepenuhnya matang secara komersial karena beberapa kendala:
- Korosi: Garam cair pada suhu tinggi dapat merusak material reaktor, sehingga diperlukan logam atau paduan khusus yang tahan korosi, seperti Hastelloy.
- Pengolahan Bahan Bakar: Proses konversi thorium menjadi uranium-233 memerlukan teknologi canggih untuk memisahkan protactinium-233, yang masih dalam tahap pengembangan.
- Investasi Awal: Meskipun thorium melimpah, infrastruktur untuk reaktor garam cair membutuhkan investasi besar dan waktu pengembangan yang panjang.
- Pengalaman Terbatas: Reaktor thorium belum dioperasikan secara luas. Eksperimen awal dilakukan di Oak Ridge National Laboratory (AS) pada 1960-an, tetapi teknologi ini ditinggalkan demi uranium karena kebutuhan militer saat itu.
Penerapan di China
China memulai proyek reaktor thorium garam cair pertamanya pada 2011 di Shanghai Institute of Applied Physics. Reaktor percobaan pertama berkapasitas 2 MW selesai pada 2021, dan versi 10 MW sedang dibangun di tepi Gurun Gobi, dengan target operasional pada 2030. China berencana menggunakan energi ini untuk mendukung kebutuhan listrik di wilayah terpencil sekaligus mengurangi emisi karbon dari pembangkit batubara.
Potensi Masa Depan
Jika berhasil, teknologi thorium bisa menjadi game-changer dalam energi nuklir. Dengan keamanan yang lebih baik, limbah yang lebih sedikit, dan bahan bakar yang melimpah, thorium berpotensi menggantikan uranium sebagai pilihan utama untuk pembangkit listrik nuklir di masa depan. Bagi China, keberhasilan di Gurun Gobi bisa menjadi model bagi dunia dalam memanfaatkan energi bersih yang berkelanjutan.
Post Comment