Pendeportasian Mahasiswa Asing di AS Picu Kontroversi

Pendeportasian Mahasiswa Asing di AS Picu Kontroversi

Gambar: dihasilkan menggunakan kecerdasan buatan 

Sebanyak tujuh mahasiswa asing di Amerika Serikat terancam dideportasi setelah terlibat dalam aksi protes mendukung kemerdekaan Palestina di sejumlah kampus ternama. Para mahasiswa tersebut, yang berasal dari berbagai negara termasuk Turki, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah, dituding oleh otoritas AS telah melanggar ketentuan visa pelajar karena aktivitas mereka dianggap “mengganggu ketertiban” dan “mendukung organisasi teroris.”

Aksi protes yang digelar sejak awal 2025 ini merupakan bagian dari gelombang demonstrasi mahasiswa global yang menyerukan gencatan senjata di Gaza serta mendesak universitas-universitas untuk memutus hubungan dengan perusahaan yang terkait dengan Israel. Salah satu kasus yang mencuat adalah Liu Lijun, mahasiswi pascasarjana asal Tiongkok di sebuah universitas ternama di Boston. Liu, yang hampir menyelesaikan gelar masternya, dilaporkan kehilangan visa pelajarnya setelah memimpin unjuk rasa yang menyerukan dukungan kemanusiaan bagi Palestina. “Saya hanya menyuarakan keadilan. Ini bukan kejahatan,” ujar Liu dalam pernyataan terakhirnya sebelum ditahan pihak imigrasi.

Menteri Luar Negeri AS membela keputusan ini dengan menyatakan bahwa lebih dari 300 mahasiswa asing telah dibatalkan visanya karena terlibat dalam protes serupa. “Kami tidak akan mentolerir aktivitas yang mendukung kelompok-kelompok yang kami anggap sebagai ancaman keamanan,” katanya, merujuk pada tuduhan bahwa para mahasiswa mendukung Hamas, meskipun belum ada bukti konkret yang dipublikasikan untuk mendukung klaim tersebut.

Keputusan ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Organisasi hak asasi manusia seperti Amnesty International mengecam tindakan tersebut sebagai pelanggaran kebebasan berpendapat. “Mahasiswa memiliki hak untuk menyuarakan nurani mereka. Ini adalah pembungkaman politik yang tidak bisa diterima,” kata juru bicara Amnesty. Sementara itu, kelompok pro-Israel seperti Betar US justru mendukung kebijakan tersebut dan bahkan dilaporkan telah memberikan daftar nama mahasiswa pro-Palestina kepada pemerintah AS.

Kasus ini menambah ketegangan dalam perdebatan global mengenai konflik Israel-Palestina, sekaligus menyoroti tantangan kebebasan akademik di tengah tekanan politik internasional. Hingga kini, nasib para mahasiswa tersebut masih menunggu keputusan akhir dari pengadilan imigrasi AS.

Mahasiswi S3 Asal Turki Ditangkap ICE Saat Hendak Berbuka Puasa

Seorang mahasiswi program doktoral (S3) asal Turki, Rumeysa Ozturk, ditangkap oleh agen Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai AS (ICE) di Somerville, Massachusetts, pada Selasa malam, 25 Maret 2025. Penangkapan dramatis ini terjadi saat Ozturk sedang dalam perjalanan untuk berbuka puasa bersama teman-temannya, menjelang akhir bulan Ramadan. Otoritas AS menyebutkan bahwa mahasiswi Universitas Tufts ini ditahan karena diduga mendukung Hamas melalui tulisannya tentang Palestina yang diterbitkan di surat kabar kampus.

Ozturk, yang tengah menempuh studi doktoral di bidang sains sosial, sebelumnya menulis opini di Tufts Daily pada tahun lalu. Dalam tulisannya, ia mengkritik kebijakan universitas yang menolak seruan mahasiswa untuk memutus hubungan dengan perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan Israel, serta menyuarakan dukungan terhadap isu kemanusiaan di Palestina. Tulisan tersebut menjadi sorotan setelah pemerintahan Presiden Donald Trump memperketat kebijakan terhadap mahasiswa asing yang dianggap mendukung kelompok yang dicap sebagai organisasi teroris oleh AS.

Juru bicara Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS), Tricia McLaughlin, dalam pernyataan resminya pada 26 Maret 2025, menyebut bahwa Ozturk terlibat dalam aktivitas yang mendukung Hamas, organisasi teroris asing. Visa pelajar F-1 yang dimilikinya pun dicabut, dan ia kini menghadapi proses deportasi. Namun, tuduhan tersebut belum disertai bukti spesifik yang dipublikasikan oleh pihak berwenang.

Pengacara Ozturk, Mahsa Khanbabai, membantah keras tuduhan tersebut dan menyebut penangkapan ini sebagai pelanggaran kebebasan berpendapat. Ia juga mengajukan gugatan ke pengadilan federal di Boston, menuntut agar penahanan kliennya dinyatakan tidak sah. Hakim Distrik AS Indira Talwani merespons dengan memerintahkan ICE untuk tidak memindahkan Ozturk dari Massachusetts tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Video penangkapan yang beredar di media sosial menunjukkan momen ketika Ozturk dikelilingi oleh beberapa agen ICE di sebuah jalan di Somerville. Dalam rekaman tersebut, ia terlihat berusaha menjelaskan sesuatu sebelum akhirnya dibawa ke kendaraan penegakan hukum. Insiden ini memicu gelombang protes dari komunitas mahasiswa dan aktivis hak sipil di wilayah Boston. Pada Rabu, 26 Maret 2025, ratusan orang berkumpul di Somerville untuk menuntut pembebasan Ozturk, menyebut kasus ini sebagai contoh penindasan terhadap suara pro-Palestina.

Presiden Universitas Tufts, Sunil Kumar, menyatakan bahwa pihak kampus tidak diberi tahu sebelumnya mengenai penangkapan tersebut. Sementara itu, Kedutaan Besar Turki di Washington telah menghubungi otoritas AS untuk meminta penjelasan resmi terkait nasib warganya.

Kasus ini menjadi sorotan di tengah kebijakan keras pemerintahan Trump yang berjanji mendeportasi mahasiswa asing yang terlibat dalam aksi atau pernyataan pro-Palestina. Senator Elizabeth Warren, dalam cuitannya di media sosial, menyebut penangkapan Ozturk sebagai “serangan terhadap kebebasan sipil” dan mengkritik pola penargetan aktivis mahasiswa oleh pemerintah federal. Hingga kini, Ozturk masih ditahan sambil menunggu sidang imigrasi, sementara dukungan global untuk pembebasannya terus menguat.

Eropa dan Kanada Keluarkan Peringatan Perjalanan untuk Warganya ke Amerika Serikat

Sejumlah negara di Eropa bersama Kanada telah mengeluarkan peringatan perjalanan terbaru bagi warga negara mereka yang berencana mengunjungi Amerika Serikat (AS). Langkah ini diambil menyusul meningkatnya kasus penahanan dan penolakan masuk terhadap wisatawan asing di perbatasan AS, serta kebijakan imigrasi yang semakin ketat di bawah administrasi Presiden Donald Trump.

Jerman, Inggris, Denmark, Finlandia, Belanda, dan Prancis, bersama dengan Kanada, memperbarui panduan perjalanan mereka dalam beberapa hari terakhir. Peringatan tersebut mencakup imbauan untuk mematuhi aturan masuk AS dengan ketat, karena sejumlah kasus menunjukkan adanya penahanan atau deportasi meskipun wisatawan memiliki dokumen perjalanan yang sah. Salah satu insiden yang mencuat adalah penahanan seorang warga Kanada di perbatasan AS-Meksiko selama hampir dua minggu saat mencoba memperbarui visa kerja pada awal Maret 2025.

Pemerintah Jerman menekankan bahwa kepemilikan visa atau ESTA yang valid tidak menjamin masuk ke AS, karena keputusan akhir tetap berada di tangan petugas perbatasan. Kanada turut memperkenalkan aturan baru yang mewajibkan warganya yang tinggal di AS lebih dari 30 hari untuk mendaftar ke otoritas setempat, dengan ancaman denda atau tuntutan pidana bagi pelanggar. Inggris juga menambahkan peringatan dalam panduan perjalanan, menekankan risiko penahanan bagi mereka yang tidak mematuhi aturan masuk, baik secara sengaja maupun tidak.

Denmark dan Finlandia memberikan perhatian khusus terhadap pelancong transgender, karena kebijakan AS yang hanya mengakui dua jenis kelamin dalam dokumen perjalanan berpotensi menyulitkan individu dengan penanda gender ‘X’ di paspor mereka. Perubahan kebijakan imigrasi AS, termasuk perintah eksekutif pada Januari 2025 yang mewajibkan deklarasi jenis kelamin saat lahir dalam aplikasi visa, menjadi salah satu faktor utama yang memicu kekhawatiran ini.

Selain isu imigrasi, ketegangan perdagangan antara AS dengan Kanada dan Uni Eropa juga diduga berkontribusi terhadap perubahan kebijakan perjalanan. Tarif impor yang diberlakukan terhadap produk dari kedua wilayah tersebut semakin memperburuk hubungan diplomatik, yang kini berdampak pada peringatan perjalanan dari sejumlah negara.

Dampak kebijakan ini mulai terlihat di sektor pariwisata AS. Tourism Economics, sebuah firma riset, memperkirakan adanya penurunan kunjungan internasional ke AS sebesar lebih dari lima persen pada tahun ini, dengan potensi kerugian ekonomi yang cukup besar. Kanada, yang menjadi salah satu penyumbang utama wisatawan ke AS, mengalami penurunan kunjungan sejak Februari 2025, sebagian dipicu oleh reaksi publik terhadap pernyataan yang dianggap meremehkan negara tersebut.

Situasi ini juga mendapatkan sorotan dari organisasi hak asasi manusia dan aktivis global, yang menganggap kebijakan imigrasi AS semakin memperburuk citranya di mata dunia. Hingga kini, Gedung Putih belum memberikan tanggapan resmi terhadap gelombang peringatan perjalanan yang dikeluarkan oleh berbagai negara sekutu. Sementara itu, masyarakat yang berencana mengunjungi AS disarankan untuk selalu memperbarui informasi perjalanan dari pemerintah masing-masing dan menghubungi kedutaan AS guna menghindari kendala di perbatasan. Ketegangan diplomatik yang terjadi masih terus berkembang tanpa tanda-tanda mereda dalam waktu dekat.

Ketidakpatuhan Prinsip Miranda Rule oleh Petugas ICE dalam Penangkapan Mahasiswa Asing

Penangkapan mahasiswa asing yang menyuarakan dukungan terhadap Palestina oleh Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai AS (ICE) telah memunculkan pertanyaan serius mengenai penerapan prinsip hukum dasar di Amerika Serikat, khususnya Miranda Rule. Prinsip ini, yang berasal dari putusan Mahkamah Agung AS dalam kasus Miranda v. Arizona (1966), mewajibkan petugas penegak hukum untuk memberi tahu tersangka tentang hak-hak mereka—termasuk hak untuk tetap diam dan hak atas pengacara—sebelum interogasi dilakukan dalam situasi penahanan. Namun, dalam beberapa kasus penangkapan mahasiswa pro-Palestina, seperti Rumeysa Ozturk, mahasiswi S3 asal Turki yang ditahan pada 25 Maret 2025 di Somerville, Massachusetts, terdapat indikasi bahwa ICE tidak secara konsisten menerapkan aturan ini.

ICE, sebagai badan federal di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS), memiliki wewenang untuk menegakkan hukum imigrasi AS, termasuk menangkap dan mendeportasi individu yang dianggap melanggar status imigrasi mereka. Dalam kasus Ozturk, penangkapannya didasarkan pada dugaan pelanggaran visa pelajar F-1 karena tulisannya yang dianggap mendukung Hamas, sebuah organisasi yang diklasifikasikan sebagai kelompok teroris oleh AS. Namun, ICE sering kali mengklasifikasikan operasi mereka sebagai “administratif” ketimbang “kriminal,” sebuah celah yang memungkinkan mereka untuk menghindari penerapan penuh Miranda Rule.

Berbeda dengan penegakan hukum kriminal oleh polisi atau FBI, penangkapan administratif oleh ICE dianggap sebagai proses sipil. Dalam pandangan hukum imigrasi, individu yang ditahan tidak secara otomatis dianggap sebagai tersangka kriminal, melainkan sebagai subjek pelanggaran status imigrasi. Akibatnya, petugas ICE kerap kali tidak membacakan hak Miranda kepada individu yang ditahan, meskipun penahanan tersebut dapat berujung pada interogasi atau bahkan tuduhan pidana terkait keamanan nasional, seperti dalam kasus Ozturk.

Prinsip Miranda Rule berlaku ketika seseorang berada dalam “custodial interrogation,” yaitu saat mereka kehilangan kebebasan secara signifikan dan diinterogasi oleh petugas. Dalam kasus Ozturk, laporan awal menunjukkan bahwa ia ditahan di jalanan oleh beberapa agen ICE tanpa pemberitahuan sebelumnya, kemudian dibawa ke fasilitas penahanan untuk diinterogasi mengenai aktivitas dan tulisannya. Pengacara Ozturk, Mahsa Khanbabai, menyatakan bahwa kliennya tidak diberi tahu tentang haknya untuk diam atau berkonsultasi dengan pengacara sebelum interogasi dimulai, sebuah pelanggaran potensial terhadap Miranda Rule.

Situasi ini menyoroti ambiguitas dalam operasi ICE. Jika ICE menganggap penangkapan Ozturk sebagai tindakan administratif murni, mereka dapat berargumen bahwa Miranda Rule tidak relevan. Namun, tuduhan bahwa Ozturk mendukung organisasi teroris—meskipun belum dibuktikan—mengarah pada ranah pidana. Dalam konteks ini, kegagalan membacakan hak Miranda dapat melemahkan legitimasi proses hukum, terutama jika pernyataan yang diperoleh dari Ozturk digunakan untuk mendukung deportasi atau tuduhan lebih lanjut.

Ketidakpatuhan terhadap Miranda Rule dalam kasus seperti ini memiliki implikasi serius. Pertama, hal ini dapat membahayakan hak konstitusional individu, bahkan jika mereka bukan warga negara AS. Mahkamah Agung telah menetapkan bahwa hak Miranda berlaku bagi siapa saja yang berada di bawah yurisdiksi AS, termasuk non-warga negara, selama mereka dalam penahanan dan diinterogasi. Dengan tidak menerapkan aturan ini, ICE berpotensi melanggar Amendemen Kelima (perlindungan terhadap pengakuan paksa) dan Amendemen Keenam (hak atas bantuan hukum).

Kedua, praktik ini mencerminkan pola yang lebih luas dalam kebijakan imigrasi AS di bawah administrasi saat ini. Dengan meningkatnya penargetan terhadap mahasiswa asing yang menyuarakan pandangan politik tertentu—khususnya terkait Palestina—ICE tampaknya memanfaatkan kewenangan administratifnya untuk menghindari standar prosedural yang lebih ketat dalam hukum pidana. Ini menimbulkan pertanyaan etis tentang penyalahgunaan kekuasaan dan pembungkaman kebebasan berpendapat, yang seharusnya dilindungi di bawah Amendemen Pertama.

Pengacara Ozturk telah mengajukan gugatan ke pengadilan federal, dengan salah satu argumennya adalah bahwa kegagalan ICE untuk membacakan hak Miranda membuat penahanan tersebut tidak sah. Dalam kasus serupa di masa lalu, seperti INS v. Lopez-Mendoza (1984), Mahkamah Agung memutuskan bahwa pelanggaran Miranda tidak selalu membatalkan proses deportasi karena sifatnya yang sipil. Namun, jika bukti yang diperoleh dari interogasi tanpa Miranda digunakan untuk mendukung tuduhan pidana atau keamanan nasional, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk membatalkan kasus tersebut.

Aktivis hukum juga menyerukan reformasi dalam operasi ICE, menekankan perlunya transparansi dan akuntabilitas. ICE tidak boleh beroperasi di luar hukum hanya karena mereka menyebutnya ‘administratif.’ Setiap individu berhak tahu hak mereka saat ditahan. Ketidakpatuhan ICE terhadap Miranda Rule dalam penangkapan mahasiswa pro-Palestina seperti Rumeysa Ozturk menunjukkan ketegangan antara hukum imigrasi dan perlindungan konstitusional di AS. Dengan mengklasifikasikan penangkapan sebagai tindakan administratif, ICE menghindari kewajiban untuk mematuhi standar yang sama seperti penegakan hukum kriminal, meskipun dampaknya bagi individu yang ditahan bisa sama beratnya. Kasus ini tidak hanya menyoroti celah dalam sistem hukum AS, tetapi juga memicu debat lebih luas tentang keadilan, kebebasan berpendapat, dan perlakuan terhadap mahasiswa asing di tengah iklim politik yang semakin terpolarisasi. Hingga sidang imigrasi Ozturk selesai, kasus ini kemungkinan akan menjadi preseden penting dalam menguji batas-batas wewenang ICE.

Sumber: VOI, Republika, Kastra, Tempo, NYTimes, Aljazeera

AI: Grok, ChatGPT

Post Comment