Femisida Intim: Tokoh-Tokoh Pencetus, Teori, dan Solusi Penanganan

Femisida Intim: Tokoh-Tokoh Pencetus, Teori, dan Solusi Penanganan

Pendahuluan

Femisida intim, yang didefinisikan sebagai pembunuhan perempuan oleh pasangan intim atau mantan pasangan (suami, pacar, atau mantan pasangan) karena motif berbasis gender, merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender (KBG) paling ekstrem. Berbeda dengan pembunuhan biasa, femisida intim ditandai oleh relasi kuasa yang timpang, sadisme berlapis, dan sering kali didahului oleh eskalasi kekerasan domestik. Secara global, femisida intim menyumbang sebagian besar kasus femisida, dengan UN Women (2022) mencatat bahwa 45.000 perempuan dan anak perempuan dibunuh oleh pasangan intim atau anggota keluarga pada 2021. Di Indonesia, Komnas Perempuan (2024) melaporkan bahwa 26% kasus femisida dilakukan oleh suami dan 17% oleh pacar, menjadikannya jenis femisida yang dominan.

Pemikiran tentang femisida intim telah berkembang sejak istilah “femicide” pertama kali diperkenalkan pada 1970-an, didorong oleh feminis dan akademisi yang berupaya memahami akar kekerasan berbasis gender. Tulisan ini akan mengulas perkembangan pemikiran femisida intim, tokoh-tokoh kunci yang mencetuskan konsep ini, teori-teori yang menjelaskan fenomena tersebut, serta pendekatan untuk mengatasinya berdasarkan perspektif akademik dan praktis.

Perkembangan Pemikiran Femisida Intim

Awal Mula: Konsep Femicide oleh Diana E. H. Russell

Pemikiran tentang femisida intim berakar pada konsep “femicide” yang pertama kali diperkenalkan oleh feminis Afrika Selatan Diana E. H. Russell pada 1976 dalam sidang International Tribunal on Crimes Against Women di Brussel. Russell mendefinisikan femicide sebagai “pembunuhan perempuan oleh laki-laki karena mereka adalah perempuan,” menekankan bahwa pembunuhan ini bukan sekadar tindakan kriminal biasa, melainkan manifestasi dari patriarki dan misogini. Dalam bukunya Femicide: The Politics of Woman Killing (1992, bersama Jill Radford), Russell mengelaborasi bahwa femisida intim adalah subkategori utama, sering dipicu oleh cemburu, penolakan perceraian, atau keinginan pelaku untuk mengendalikan korban.

Russell menyoroti bahwa femisida intim tidak dapat dipisahkan dari kekerasan domestik, yang sering kali menjadi pendahulu pembunuhan. Ia berargumen bahwa budaya patriarki memperkuat persepsi bahwa perempuan adalah properti laki-laki, sehingga penolakan terhadap kontrol ini—misalnya, keinginan korban untuk bercerai—dapat memicu kekerasan mematikan. Kontribusi Russell sangat penting karena ia memasukkan dimensi gender ke dalam analisis pembunuhan, yang sebelumnya hanya dilihat dari perspektif kriminologi umum.

Perkembangan Konsep oleh Feminis Latin Amerika

Pada 1990-an, pemikiran tentang femisida intim diperluas oleh feminis Amerika Latin, terutama di Meksiko, di tengah maraknya pembunuhan perempuan di Ciudad Juárez. Antropolog Meksiko Marcela Lagarde y de los Ríos memperkenalkan istilah feminicidio (femisida dalam bahasa Spanyol) untuk menekankan tanggung jawab negara dalam mencegah dan menangani kekerasan ini. Dalam karyanya Feminicidio: Una Perspectiva Global (2006), Lagarde membedakan femisida intim dari jenis femisida lain, seperti femisida terkait kejahatan terorganisir, dengan menyoroti bahwa femisida intim sering terjadi dalam ruang privat dan didorong oleh relasi kuasa dalam hubungan intim.

Lagarde berargumen bahwa femisida intim adalah “kejahatan struktural” yang didukung oleh sistem patriarki, kapitalisme, dan kegagalan negara untuk melindungi perempuan. Ia juga menekankan pentingnya pengakuan femisida sebagai tindak pidana khusus dalam hukum nasional, sebuah gagasan yang mendorong pengesahan undang-undang femisida di Meksiko pada 2007 dan di negara-negara Amerika Latin lainnya.

Pengakuan Global: PBB dan Komnas Perempuan

Pada tingkat global, pemikiran tentang femisida intim mendapat pengakuan melalui Deklarasi Wina tentang Femisida (2012) dan Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 35 (2017). Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan, Dubravka Šimonović, memperkuat gagasan bahwa femisida intim adalah pelanggaran hak asasi manusia yang dapat dicegah melalui intervensi negara. Šimonović mengusulkan pembentukan femicide watch, sebuah mekanisme untuk memantau dan menganalisis data femisida secara sistematis, termasuk femisida intim, untuk mengidentifikasi pola dan mencegah eskalasi kekerasan.

Di Indonesia, Komnas Perempuan mulai memantau femisida secara sistematis sejak 2017, dengan fokus pada femisida intim sebagai jenis yang paling dominan. Dalam laporan tahunan 2024, Komnas Perempuan mencatat bahwa 290 kasus femisida terjadi antara Oktober 2023 dan Oktober 2024, dengan mayoritas melibatkan pasangan intim. Komnas Perempuan mengadopsi pendekatan berbasis gender yang dipengaruhi oleh Russell dan Lagarde, menekankan bahwa femisida intim adalah puncak dari kekerasan domestik yang tidak ditangani.

Tokoh-Tokoh Kunci dalam Pemikiran Femisida Intim

Berikut adalah tokoh-tokoh yang berperan besar dalam pengembangan pemikiran femisida intim:

  • Diana E. H. Russell (1938–2020)
    • Kontribusi: Mencetuskan istilah “femicide” dan menyoroti femisida intim sebagai manifestasi patriarki.
    • Karya Utama: Femicide: The Politics of Woman Killing (1992).
    • Dampak: Menggeser paradigma kriminologi dengan memasukkan analisis gender, memengaruhi gerakan feminis global.
  • Marcela Lagarde y de los Ríos (1948–)
    • Kontribusi: Memperkenalkan istilah feminicidio dan menekankan tanggung jawab negara dalam mencegah femisida intim.
    • Karya Utama: Feminicidio: Una Perspectiva Global (2006).
    • Dampak: Mendorong reformasi hukum di Amerika Latin dan pengakuan femisida sebagai kejahatan struktural.
  • Dubravka Šimonović (1958–)
    • Kontribusi: Mengusulkan femicide watch dan memasukkan femisida intim ke dalam kerangka hak asasi manusia.
    • Karya Utama: Laporan PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan (2016–2021).
    • Dampak: Meningkatkan perhatian global terhadap femisida intim dan mendorong pendataan terpilah berbasis gender.
  • Jill Radford
    • Kontribusi: Berkolaborasi dengan Russell dalam mengembangkan teori femisida intim sebagai bentuk kontrol patriarkal.
    • Karya Utama: Femicide: The Politics of Woman Killing (1992).
    • Dampak: Memperkuat analisis feminis tentang kekerasan domestik sebagai akar femisida intim.
  • Komnas Perempuan (Indonesia)
    • Kontribusi: Mengadopsi dan mengontekstualisasikan konsep femisida intim dalam konteks Indonesia, dengan fokus pada pemantauan dan advokasi.
    • Karya Utama: Laporan Pemantauan Femisida (2017–2024).
    • Dampak: Meningkatkan kesadaran lokal tentang femisida intim dan mendorong kebijakan berperspektif gender.

Teori-Teori yang Menjelaskan Femisida Intim

Beberapa teori telah dikembangkan untuk memahami femisida intim, mengintegrasikan perspektif feminis, sosiologis, dan kriminologis:

1. Teori Patriarki (Feminist Theory)

Teori patriarki, yang dikembangkan oleh feminis seperti Russell dan Radford, menjelaskan femisida intim sebagai produk dari sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pihak dominan. Dalam buku The Second Sex (1949), Simone de Beauvoir (meskipun tidak secara langsung membahas femisida) meletakkan dasar teori ini dengan menggambarkan perempuan sebagai “yang lain” dalam relasi kuasa. Russell memperluas gagasan ini, berargumen bahwa femisida intim terjadi ketika laki-laki merasa maskulinitas mereka terancam, misalnya oleh penolakan korban untuk tunduk. Teori ini menekankan bahwa budaya patriarki menormalkan kekerasan domestik, yang berujung pada femisida intim jika tidak diintervensi.

2. Teori Relasi Kuasa (Power and Control Theory)

Teori ini, yang dipopulerkan oleh Ellen Pence melalui Power and Control Wheel (1980-an), menjelaskan femisida intim sebagai eskalasi dari pola kontrol dalam hubungan abusif. Menurut teori ini, pelaku menggunakan kekerasan fisik, emosional, atau ekonomi untuk mendominasi korban. Ketika kontrol ini gagal—misalnya, ketika korban mencoba meninggalkan hubungan—pelaku dapat melakukan femisida sebagai bentuk “hukuman” atau pemulihan kuasa. Teori ini didukung oleh data bahwa banyak femisida intim terjadi setelah korban mengajukan cerai atau memutuskan hubungan.

3. Teori Struktural (Lagarde)

Marcela Lagarde mengembangkan teori struktural, yang memandang femisida intim sebagai hasil dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang mendukung ketimpangan gender. Ia berargumen bahwa negara memiliki tanggung jawab atas femisida intim karena kegagalan menyediakan perlindungan, penegakan hukum yang lemah, dan ketidaksetaraan ekonomi yang membuat perempuan bergantung pada pasangan abusif. Teori ini menekankan pentingnya reformasi sistemik untuk mencegah femisida intim.

4. Teori Kriminologi Feminis

Teori kriminologi feminis, yang dikembangkan oleh akademisi seperti Kathleen Daly dan Meda Chesney-Lind, mengintegrasikan perspektif gender ke dalam analisis kejahatan. Teori ini menjelaskan femisida intim sebagai kejahatan yang tidak dapat dipahami hanya melalui lensa kriminologi tradisional, yang cenderung mengabaikan motif gender. Kriminologi feminis menyoroti bahwa femisida intim sering kali melibatkan sadisme berlapis, seperti mutilasi atau kekerasan seksual, yang mencerminkan kebencian misoginis.

5. Teori Interseksionalitas (Kimberlé Crenshaw)

Kimberlé Crenshaw (1989) memperkenalkan konsep interseksionalitas, yang menjelaskan bahwa femisida intim tidak hanya dipengaruhi oleh gender, tetapi juga oleh faktor seperti ras, kelas, dan status sosial. Misalnya, perempuan kulit hitam di Afrika Selatan atau perempuan migran di Meksiko menghadapi risiko femisida intim yang lebih tinggi karena interseksi diskriminasi. Teori ini penting untuk memahami kerentanan kelompok tertentu dan merancang intervensi yang inklusif.

Pendekatan dan Teori untuk Mengatasi Femisida Intim

Berbagai pendekatan telah dikembangkan untuk mencegah dan menangani femisida intim, berdasarkan teori-teori di atas:

1. Pendekatan Hukum dan Kebijakan

  • Pengakuan Femisida sebagai Tindak Pidana Khusus: Mengikuti gagasan Lagarde, negara seperti Spanyol dan Meksiko telah mengesahkan undang-undang yang mengakui femisida sebagai kejahatan khusus, dengan hukuman yang lebih berat. Di Indonesia, Komnas Perempuan merekomendasikan memasukkan femisida intim sebagai alasan pemberat dalam RUU KUHP.
  • Femicide Watch: Usulan Šimonović untuk membentuk femicide watch bertujuan memantau data femisida intim secara real-time, mengidentifikasi pola, dan mencegah eskalasi kekerasan. Spanyol telah menerapkan sistem ini dengan sukses, mengurangi angka femisida intim sejak 2004.
  • Perintah Perlindungan: Negara seperti Inggris dan Amerika Serikat menggunakan restraining orders untuk melindungi perempuan dari pasangan abusif, meskipun efektivitasnya bergantung pada penegakan hukum.

2. Pendekatan Pencegahan Berbasis Risiko

  • Danger Assessment: Dikembalkan oleh Jacquelyn Campbell (1986), danger assessment adalah alat untuk mengidentifikasi risiko femisida intim berdasarkan indikator seperti ancaman pembunuhan, kepemilikan senjata, atau riwayat kekerasan. Alat ini digunakan di Amerika Serikat dan dapat diadopsi di Indonesia untuk intervensi dini.
  • Intervensi Krisis: Program seperti Domestic Violence Response Teams di Kanada menyediakan respons cepat untuk kasus kekerasan domestik, mencegah eskalasi menjadi femisida intim.
  • Safe Houses: Rumah aman untuk perempuan yang melarikan diri dari pasangan abusif, seperti yang ada di Swedia dan Indonesia, dapat mengurangi risiko femisida intim.

3. Pendekatan Sosial dan Budaya

  • Kampanye Publik: Kampanye seperti #NiUnaMenos di Amerika Latin dan #Ölmekİstemiyorum di Turki meningkatkan kesadaran tentang femisida intim dan mendorong perubahan norma budaya. Di Indonesia, Komnas Perempuan mengusulkan kampanye serupa untuk menghapus stigma menyalahkan korban.
  • Pendidikan Gender: Pendidikan tentang kesetaraan gender di sekolah dan komunitas dapat mengurangi norma patriarki yang mendorong femisida intim.
  • Pemberdayaan Ekonomi: Mengurangi ketergantungan ekonomi perempuan melalui akses pendidikan dan pekerjaan, seperti yang dilakukan di India melalui program Self-Help Groups, dapat menurunkan risiko femisida intim.

4. Pendekatan Berbasis Komunitas

  • Jaringan Dukungan: Komunitas lokal dapat membentuk jaringan dukungan untuk membantu perempuan melaporkan kekerasan domestik, seperti yang dilakukan oleh Mujeres en Lucha di Meksiko.
  • Pelatihan Bystander: Program seperti Green Dot di Amerika Serikat melatih masyarakat untuk mengenali tanda-tanda kekerasan domestik dan melakukan intervensi dengan aman.

5. Pendekatan Berbasis Teknologi

  • Aplikasi Keamanan: Aplikasi seperti Bright Sky di Inggris memungkinkan perempuan melaporkan kekerasan domestik secara anonim dan mengakses sumber daya.
  • Pemantauan Elektronik: Beberapa negara menggunakan gelang elektronik untuk memantau pelaku kekerasan domestik, mencegah mereka mendekati korban.

Tantangan dalam Penanganan Femisida Intim

Meskipun berbagai pendekatan telah dikembangkan, penanganan femisida intim menghadapi tantangan:

  • Kurangnya Data Terpilah: Banyak negara, termasuk Indonesia, tidak memiliki data terpilah berbasis gender, menyulitkan analisis dan pencegahan.
  • Impunitas: Korupsi dan kurangnya pelatihan aparat hukum menyebabkan banyak pelaku femisida intim lolos dari hukuman.
  • Stigma Sosial: Budaya menyalahkan korban dan normalisasi kekerasan domestik menghambat pelaporan.
  • Keterbatasan Sumber Daya: Negara berkembang sering kekurangan dana untuk program pencegahan dan rumah aman.

Penutup

Pemikiran tentang femisida intim telah berkembang dari konsep awal Diana E. H. Russell tentang femicide sebagai manifestasi patriarki hingga gagasan Marcela Lagarde tentang femisida sebagai kejahatan struktural yang melibatkan tanggung jawab negara. Tokoh seperti Russell, Lagarde, Šimonović, dan Komnas Perempuan telah membentuk kerangka analisis yang menyoroti relasi kuasa, sadisme berlapis, dan kegagalan sistemik sebagai akar femisida intim. Teori patriarki, relasi kuasa, struktural, kriminologi feminis, dan interseksionalitas memberikan lensa untuk memahami fenomena ini, sementara pendekatan hukum, pencegahan berbasis risiko, sosial, dan teknologi menawarkan solusi praktis. Untuk mengatasi femisida intim, diperlukan kombinasi reformasi hukum, pendidikan gender, pemberdayaan ekonomi, dan mekanisme seperti femicide watch. Dengan langkah-langkah ini, dunia dapat bergerak menuju penghapusan femisida intim dan perlindungan hak hidup perempuan.

Referensi

Beauvoir, S. de. (1949). The Second Sex. Vintage Books.

Campbell, J. C. (1986). Nursing Assessment for Risk of Homicide with Battered Women. Advances in Nursing Science.

Crenshaw, K. (1989). Demarginalizing the Intersection of Race and Sex. University of Chicago Legal Forum.

Daly, K., & Chesney-Lind, M. (1988). Feminism and Criminology. Justice Quarterly.

Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC). (2023). Femicide in Latin America: Data and Trends.

Komnas Perempuan. (2024). Siaran Pers tentang Peluncuran Pemantauan Femisida 2024. www.komnasperempuan.go.id

Komnas Perempuan. (2024). Kasus Femisida 2024 Tertinggi dalam 5 Tahun Terakhir. www.nu.or.id

Komnas Perempuan. (2021). Kajian Awal dan Kertas Konsep Femisida. www.komnasperempuan.go.id

Lagarde y de los Ríos, M. (2006). Feminicidio: Una Perspectiva Global. UNAM.

Russell, D. E. H., & Radford, J. (Eds.). (1992). Femicide: The Politics of Woman Killing. Twayne Publishers.

Šimonović, D. (2016). Report of the Special Rapporteur on Violence against Women. United Nations.

UN Women. (2022). Femicide: A Global Overview. www.unwomen.org

Pence, E., & Paymar, M. (1993). Education Groups for Men Who Batter: The Duluth Model. Springer.WHO. (2021). Violence Against Women Prevalence Estimates. www.who.int

AI: Grok

Post Comment