Efek Perang Dagang Global 2025: Indonesia Hadapi Tantangan Gangguan Rantai Pasok dan Kenaikan Harga
Perang dagang global yang kembali memanas pada 2025, terutama antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia meskipun negara ini tidak terlibat langsung dalam konflik tersebut. Efek domino berupa gangguan rantai pasok global, kenaikan harga produk teknologi, dan lonjakan biaya bahan baku menjadi tantangan serius bagi pelaku bisnis di Indonesia. Pemerintah dan sektor swasta kini berupaya keras mencari solusi strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.
Latar Belakang Perang Dagang Global
Perang dagang AS-Tiongkok yang dimulai sejak 2018 kembali mencuat pada 2025, dipicu oleh kebijakan proteksionisme agresif dari pemerintahan Presiden Donald Trump di periode keduanya. AS memberlakukan tarif tambahan sebesar 32% terhadap produk Tiongkok dan rencana tarif 10–20% untuk semua impor dari berbagai negara, termasuk mitra dagang utama seperti Indonesia. Sebagai respons, Tiongkok membalas dengan tarif 34% terhadap produk-produk AS, menciptakan ketegangan yang mengguncang perdagangan global. Kebijakan ini tidak hanya memengaruhi kedua negara tersebut, tetapi juga menimbulkan efek domino ke negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang bergantung pada ekspor dan impor dalam rantai pasok global.
Dampak Gangguan Rantai Pasok
Indonesia, sebagai salah satu mitra dagang utama AS dan Tiongkok, menghadapi gangguan signifikan dalam rantai pasok global. Lebih dari 70% bahan baku industri elektronik Indonesia diimpor dari Tiongkok, menjadikan sektor ini sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan keterlambatan pengiriman akibat tarif tinggi dan perubahan jalur distribusi.
Eskalasi perang dagang menyebabkan fragmentasi rantai pasok, memaksa perusahaan-perusahaan di Indonesia mencari pemasok alternatif dari negara lain, seperti Vietnam atau Malaysia. Namun, biaya logistik Indonesia yang masih tinggi, mencapai 23% dari PDB (dibandingkan 15% di Vietnam dan 13% di Malaysia), menghambat daya saing. Waktu pengiriman yang lebih lama dan kualitas bahan baku yang belum tentu setara juga menjadi kendala bagi industri lokal, terutama di sektor elektronik, tekstil, dan otomotif.
Pelaku bisnis seperti produsen komponen gadget lokal, melaporkan kenaikan biaya produksi hingga 15% akibat gangguan pasokan bahan baku dari Tiongkok. Mereka terpaksa menaikkan harga jual produk untuk menutupi biaya, tetapi ini membuat kami kurang kompetitif di pasar global.
Kenaikan Harga Produk Teknologi dan Bahan Baku
Perang dagang juga memicu kenaikan harga produk teknologi dan bahan baku di Indonesia. Tarif impor yang tinggi menyebabkan biaya komponen teknologi, seperti chip semikonduktor dan panel surya, melonjak. Hal ini berdampak langsung pada industri manufaktur dan konsumen akhir. Harga ponsel pintar dan perangkat elektronik lainnya diperkirakan naik 10–20% pada paruh kedua 2025, memengaruhi daya beli masyarakat.
Selain itu, fluktuasi harga komoditas global akibat perang dagang turut memperburuk situasi. Harga bahan baku seperti baja dan aluminium meningkat karena pembatasan ekspor dari negara-negara produsen utama. Di sisi lain, komoditas ekspor andalan Indonesia, seperti batu bara dan minyak kelapa sawit (CPO), mengalami penurunan permintaan dari Tiongkok, mitra dagang utama, yang ekonominya tertekan akibat tarif AS. Harga batu bara turun 12,6% secara tahunan pada 2025, sementara CPO justru naik 27,8%, memberikan sedikit angin segar bagi sektor perkebunan.
Namun, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang dipicu oleh meningkatnya permintaan dolar untuk impor, memperparah tekanan inflasi. Harga barang impor, termasuk bahan pangan seperti gandum dan kedelai, melonjak, mengancam ketahanan pangan nasional. Beberapa ahli Ekonomi, memperingatkan bahwa inflasi global yang diperkirakan turun ke 4,3% pada 2025 masih dapat memicu tekanan inflasi domestik jika kebijakan moneter tidak dikelola dengan baik.
Tantangan bagi Pelaku Bisnis
Pelaku bisnis di Indonesia, terutama yang berorientasi ekspor, menghadapi tantangan berat. Ekspor ke AS, yang menyumbang 50% surplus perdagangan non-migas Indonesia, terancam menurun akibat tarif tinggi, membuat produk Indonesia kurang kompetitif. Beberapa perusahaan terpaksa menurunkan harga jual untuk mempertahankan pangsa pasar, yang mengakibatkan penurunan margin keuntungan.
Sementara itu, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) mulai membayangi. Postingan di X menyebutkan bahwa sejumlah pabrik di sektor tekstil dan furnitur mulai “tiarap” akibat sepinya pesanan ekspor, memaksa perusahaan melakukan efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja. Industri yang bergantung pada pasar AS, seperti tekstil dan furnitur, diperkirakan akan mengalami penurunan ekspor hingga 8%, menurut Oxford Economics.
Peluang di Tengah Tantangan
Meskipun menghadapi tekanan, perang dagang juga membuka peluang bagi Indonesia. Sejak 2019, Indonesia telah menarik relokasi investasi senilai USD 14,7 miliar dari 58 perusahaan, terutama di sektor semikonduktor dan panel surya, yang ingin menghindari tarif tinggi di AS. Pemerintah menawarkan insentif fiskal, seperti pembebasan pajak hingga 20 tahun dan pengurangan pajak untuk penelitian dan pengembangan hingga 300%, untuk menarik lebih banyak investasi.
Diversifikasi pasar ekspor menjadi strategi penting. Indonesia kini berupaya memperluas pasar ke negara-negara ASEAN, India, dan Timur Tengah untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan Tiongkok. Selain itu, reformasi logistik dan kemudahan berbisnis menjadi fokus untuk meningkatkan daya saing. Indonesia harus memanfaatkan posisi netralnya untuk menjadi penghubung produksi kawasan.
Langkah Pemerintah dan Antisipasi
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah proaktif untuk memitigasi dampak perang dagang. Pengendalian inflasi, subsidi BBM dan pangan, penguatan cadangan devisa, dan diversifikasi pasokan pangan menjadi bagian dari strategi pemerintah. Presiden Prabowo Subianto juga mengumumkan kebijakan pembatasan kenaikan PPN hanya pada barang mewah untuk mendongkrak daya beli masyarakat.
Namun, tantangan tetap besar. Biaya logistik yang tinggi dan peringkat kemudahan berbisnis Indonesia yang masih tertinggal (peringkat 73 dunia pada 2020) menghambat daya tarik investasi asing dibandingkan negara seperti Vietnam dan Thailand. Pemerintah didesak untuk mempercepat reformasi struktural, termasuk digitalisasi logistik dan penyederhanaan regulasi, untuk menjaga daya saing nasional.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Kenaikan harga barang impor dan potensi PHK berdampak langsung pada masyarakat. Daya beli yang melemah akibat inflasi dan ketidakpastian ekonomi global membuat masyarakat semakin selektif dalam pengeluaran. Harga bahan pangan impor, seperti gandum, yang melonjak akibat pembatasan ekspor global, juga mengancam ketahanan pangan, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.
Penutup
Perang dagang global 2025 membawa tantangan besar bagi Indonesia, mulai dari gangguan rantai pasok, kenaikan harga produk teknologi dan bahan baku, hingga ancaman penurunan ekspor dan PHK. Namun, dengan strategi diversifikasi pasar, reformasi logistik, dan pemanfaatan peluang relokasi investasi, Indonesia memiliki potensi untuk tetap kompetitif. Pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat perlu bersinergi untuk menghadapi ketidakpastian global ini dengan langkah adaptif dan terkoordinasi.
Sumber: Detik, Kompas, CNBC, Katadata, Kemenkeu
AI: Grok
Post Comment