Warga Indonesia yang Menjadi Tentara Rusia Meminta Dipulangkan
Satria Arta Kumbara, mantan anggota Korps Marinir TNI Angkatan Laut (TNI AL), kembali menjadi sorotan publik setelah menyatakan keinginannya untuk pulang ke Indonesia. Satria, yang sebelumnya bergabung dengan militer Rusia sebagai tentara bayaran dalam konflik di Ukraina, kini memohon bantuan pemerintah Indonesia untuk mengakhiri kontraknya dengan Kementerian Pertahanan Rusia dan memulihkan status kewarganegaraan Indonesia-nya. Permenungan ini memunculkan pertanyaan krusial tentang status hukum kewarganegaraan Indonesia dan implikasinya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Latar Belakang Kasus
Satria Arta Kumbara, yang pernah berpangkat Sersan Dua (Serda), telah dipecat dari TNI AL sejak 2023 karena desersi, yaitu meninggalkan tugas tanpa izin sejak 13 Juni 2022. Berdasarkan putusan Pengadilan Militer II-08 Jakarta Nomor 56-K/PM.II-08/AL/IV/2023 tanggal 6 April 2023, ia dijatuhi hukuman penjara satu tahun dan pemberhentian tidak hormat dari dinas militer. Setelah desersi, Satria diketahui bergabung dengan militer Rusia melalui jalur tidak resmi, sebagaimana dikonfirmasi oleh Kementerian Luar Negeri yang menyatakan tidak ada catatan kedatangannya di Rusia melalui KBRI Moskwa.
Dalam video yang viral di media sosial, Satria menyampaikan permintaan maaf atas ketidaktahuannya menandatangani kontrak dengan militer Rusia, yang menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan Indonesia-nya. Ia mengaku bergabung karena dorongan kebutuhan ekonomi, bukan niat mengkhianati negara. Satria memohon kebesaran hati Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Menteri Luar Negeri Sugiono untuk membantu memulangkannya ke Indonesia dan memulihkan status kewarganegaraannya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, kasus Satria memiliki beberapa poin hukum yang perlu diperhatikan:
- Kehilangan Kewarganegaraan Secara Otomatis
Pasal 23 huruf d UU Nomor 12 Tahun 2006 dengan jelas menyatakan bahwa seorang WNI kehilangan kewarganegaraannya jika bergabung dengan dinas tentara asing tanpa izin Presiden. Dalam kasus Satria, tidak ada bukti bahwa ia memperoleh izin dari Presiden sebelum bergabung dengan militer Rusia. Oleh karena itu, status kewarganegaraannya dianggap hilang secara otomatis. Ketentuan ini diperkuat oleh Pasal 31 PP Nomor 2 Tahun 2007, yang mengatur mekanisme kehilangan kewarganegaraan akibat tindakan sukarela seperti bergabung dengan militer asing. - Proses Administratif Kehilangan Kewarganegaraan
Meskipun kehilangan kewarganegaraan terjadi secara otomatis, Pasal 32 PP Nomor 21 Tahun 2022 menjelaskan bahwa proses administratif tetap diperlukan. Instansi terkait, seperti Kementerian Luar Negeri atau masyarakat, harus melaporkan indikasi pelanggaran kepada Kementerian Hukum dan HAM, yang kemudian melakukan verifikasi sebelum menerbitkan surat keputusan kehilangan kewarganegaraan. Dalam kasus Satria, Kementerian Hukum telah memulai koordinasi dengan KBRI Moskwa untuk proses ini. - Kemungkinan Pemulihan Kewarganegaraan
UU Nomor 12 Tahun 2006 dan PP Nomor 2 Tahun 2007 mengatur mekanisme untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia. Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2006 menyebutkan bahwa seseorang yang kehilangan kewarganegaraan karena alasan tertentu, seperti bergabung dengan militer asing, dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh kembali kewarganegaraan kepada Menteri Hukum dan HAM. Namun, permohonan ini harus memenuhi syarat tertentu, seperti:- Berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah.
- Bertempat tinggal di Indonesia.
- Tidak menyebabkan status tanpa kewarganegaraan (statelessness).
- Mengajukan pernyataan tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM.
- Implikasi Hukum Pidana Militer
Selain kehilangan kewarganegaraan, Satria juga telah dijatuhi hukuman pidana militer karena desersi berdasarkan Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Hukuman ini mencakup penjara satu tahun dan pemecatan tidak hormat. Jika Satria kembali ke Indonesia, ia berpotensi menghadapi proses hukum tambahan terkait tindakan bergabung dengan militer asing, sebagaimana disoroti oleh anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin. Namun, karena status kewarganegaraannya telah hilang, yurisdiksi hukum Indonesia atas dirinya menjadi terbatas. - Hak Perlindungan Konsuler
Jika Satria telah kehilangan status WNI, maka haknya untuk mendapatkan perlindungan konsuler dari KBRI Moskwa menjadi tidak berlaku. Kementerian Luar Negeri hanya berkewajiban memberikan perlindungan kepada WNI. Oleh karena itu, kepulangan Satria ke Indonesia bergantung pada status kewarganegaraannya dan kemauan pemerintah untuk memfasilitasi proses administratif atau diplomatik.
Kasus Satria menyoroti beberapa tantangan hukum dan kebijakan:
- Motif Ekonomi: Satria menyatakan bahwa keputusannya bergabung dengan militer Rusia didorong oleh kebutuhan ekonomi. Hal ini mencerminkan isu yang lebih luas tentang kesejahteraan mantan prajurit TNI setelah pensiun atau dipecat, yang dapat mendorong mereka mencari peluang di luar negeri, termasuk sebagai tentara bayaran.
- Keamanan Nasional: Pengamat militer, Khairul Fahmi, menyoroti risiko kebocoran data dan ancaman keamanan nasional akibat mantan prajurit bergabung dengan militer asing. Hal ini dapat “menginspirasi” prajurit lain yang pensiun atau desersi untuk mengambil langkah serupa.
- Proses Diplomatik: Kepulangan Satria memerlukan koordinasi dengan otoritas Rusia, terutama untuk mengakhiri kontrak militernya. Proses ini rumit karena Satria masuk Rusia melalui jalur tidak resmi, dan statusnya sebagai warga negara asing di Rusia juga perlu diverifikasi.
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2006 dan PP Nomor 2 Tahun 2007, Satria Arta Kumbara telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia secara otomatis karena bergabung dengan militer Rusia tanpa izin Presiden. Meskipun ia menyatakan penyesalan dan keinginan untuk pulang, pemulihan kewarganegaraan dan kepulangannya ke Indonesia menghadapi kendala hukum dan administratif. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Luar Negeri, perlu melakukan verifikasi menyeluruh terhadap status kewarganegaraan Satria sebelum memutuskan langkah selanjutnya. Kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya edukasi hukum bagi WNI, terutama mantan prajurit, tentang konsekuensi bergabung dengan militer asing tanpa izin resmi.
Sumber:
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
- Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia
- Berita Kompas.com, Tempo.co, dan CNN Indonesia
- AI : Grok
Post Comment