Eskalasi Konflik Bersenjata Thailand-Kamboja

Eskalasi Konflik Bersenjata Thailand-Kamboja

Ketegangan di perbatasan Thailand dan Kamboja telah meningkat menjadi konflik bersenjata terburuk dalam lebih dari satu dekade, yang memuncak pada 24 Juli 2025. Pertempuran sengit di wilayah sengketa, terutama di sekitar Kuil Preah Vihear dan Ta Muen Thom, telah menewaskan sedikitnya 16 orang, termasuk 13 warga sipil Thailand dan satu prajurit, serta satu warga sipil Kamboja. Lebih dari 300.000 warga dari kedua negara telah mengungsi akibat pertempuran yang melibatkan serangan artileri, roket, dan serangan udara oleh jet tempur F-16 Thailand.

Konflik ini berakar dari sengketa perbatasan yang telah berlangsung selama lebih dari satu abad, berpusat pada Kuil Preah Vihear, sebuah situs warisan budaya Khmer yang terletak di Pegunungan Dangrek. Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan pada 1962 bahwa kuil tersebut milik Kamboja, wilayah sekitar kuil seluas 4,6 km² tetap menjadi sumber perselisihan karena ketidakjelasan batas wilayah yang diwariskan dari peta era kolonial Prancis-Siam tahun 1907.

Ketegangan kembali memanas pada Mei 2025, ketika seorang tentara Kamboja tewas dalam baku tembak singkat di wilayah sengketa yang dikenal sebagai Segitiga Zamrud. Insiden ini memicu eskalasi, diperparah oleh ledakan ranjau darat pada 23 Juli 2025, yang melukai beberapa tentara Thailand. Thailand menuduh Kamboja menanam ranjau baru, sementara Kamboja membantah dan menuding pasukan Thailand keluar dari jalur patroli yang disepakati.

Selain itu, dinamika politik internal di kedua negara memperkeruh situasi. Di Kamboja, Hun Sen, mantan perdana menteri dan ayah dari Perdana Menteri saat ini Hun Manet, diduga memanfaatkan konflik untuk memperkuat sentimen nasionalis. Di Thailand, pemerintahan koalisi di bawah Penjabat Perdana Menteri Phumtham Wechayachai menghadapi tekanan politik setelah skorsing Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra akibat kebocoran percakapan pribadinya dengan Hun Sen, yang memicu tuduhan pelanggaran etika. Konflik antar-elite politik ini memperumit upaya penyelesaian damai.

Sentimen nasionalisme juga memainkan peran besar, dengan media di kedua negara sering kali memicu propaganda yang memperburuk ketegangan. Pendaftaran Kuil Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO oleh Kamboja pada 2008 menjadi salah satu pemicu utama ketegangan modern, yang dianggap oleh Thailand sebagai penguatan klaim Kamboja atas wilayah sengketa.

Pertempuran telah menyebabkan kerusakan signifikan, termasuk serangan artileri Kamboja yang menghantam sebuah rumah sakit di Provinsi Surin, yang dikecam Thailand sebagai kejahatan perang. Sekitar 120.000 hingga 200.000 warga sipil dari kedua negara telah dievakuasi, dengan Thailand menetapkan darurat militer di delapan distrik perbatasan. Perdagangan bilateral senilai miliaran dolar terhenti, dan penutupan pos perbatasan telah mengganggu aktivitas ekonomi lokal.

Indonesia, sebagai bagian dari ASEAN, juga berpotensi terdampak. Pengamat hubungan internasional Wempy Pasaribu memperingatkan risiko banjir pengungsi ke Indonesia, yang dapat memperburuk beban penanganan pengungsi Rohingya dan Afghanistan. Selain itu, eskalasi konflik berpotensi mengganggu stabilitas kawasan ASEAN dan menarik intervensi pihak eksternal.

Upaya dan Solusi yang DiharapkanKomunitas internasional telah bergerak cepat untuk meredakan konflik. Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, selaku Ketua ASEAN 2025, telah memfasilitasi komunikasi dengan kedua pihak dan mendesak gencatan senjata. Pada 28 Juli 2025, Thailand dan Kamboja sepakat untuk melakukan gencatan senjata segera dan tanpa syarat, meskipun implementasinya masih rapuh karena pertempuran sempat berlanjut hingga hari ketiga.Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet, telah mengajukan permohonan ke Mahkamah Internasional untuk meninjau kembali sengketa perbatasan, sementara Thailand menekankan penyelesaian melalui diplomasi bilateral. Pertemuan antara panglima militer kedua negara pada 29 Mei 2025 dan pembicaraan pada 5 Juni 2025 gagal menghasilkan kesepakatan konkret, namun dialog tetap dianggap sebagai langkah awal menuju de-eskalasi.

Beberapa solusi yang diusulkan meliputi:

  1. Pembentukan Zona Demiliterisasi: Membuat zona penyangga di sekitar wilayah sengketa untuk mencegah kontak militer langsung.
  2. Mediasi ASEAN: Memperkuat peran ASEAN, khususnya melalui Komisi Perbatasan Gabungan, untuk menetapkan batas wilayah yang jelas berdasarkan hukum internasional.
  3. Pendekatan Diplomatik Multilateral: Melibatkan pihak ketiga seperti PBB atau negara netral untuk memediasi negosiasi, sebagaimana didesak oleh AS, Uni Eropa, dan China.
  4. Pengendalian Propaganda Media: Mengurangi retorika nasionalis di media untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi dialog.

Meskipun kedua negara menyatakan tidak menginginkan perang skala penuh, ketidakstabilan politik internal dan sentimen nasionalis yang kuat tetap menjadi tantangan. Komunitas internasional, termasuk Indonesia, mendesak kedua pihak untuk menahan diri dan memprioritaskan dialog damai guna mencegah eskalasi lebih lanjut yang dapat mengguncang stabilitas Asia Tenggara.


Sumber: Reuters, BBC, dan CNBC Indonesia

AI: Grok

Post Comment