Partai Sanseito Jepang Muncul sebagai Kekuatan Politik dengan Platform Anti-Imigran yang Kontroversial
Partai Sanseito, sebuah partai ultrakonservatif dan populis sayap kanan di Jepang, mencuri perhatian dalam pemilu DPR Jepang 2024 dan pemilu Dewan Penasihat (Upper House) 2025, dengan meraih 14 kursi di Upper House, melonjak dari hanya satu kursi sebelumnya. Berbasis pada slogan “Japanese First” yang terinspirasi dari “America First” milik Donald Trump, partai ini telah memanfaatkan ketidakpuasan publik terhadap ekonomi dan kebijakan imigrasi untuk menarik dukungan, khususnya di kalangan pemilih muda laki-laki. Namun, kebijakan anti-imigran Sanseito memicu kontroversi, dengan kritik bahwa partai ini memicu xenofobia dan diskriminasi.
Sanseito didirikan pada Maret 2020 oleh Sohei Kamiya, mantan manajer supermarket dan cadangan Pasukan Bela Diri, bersama streamer Kazuya Kyoumoto dan analis politik Yuuya Watase, Sanseito awalnya merupakan kanal YouTube bernama “Political Party DIY”. Partai ini mendapatkan perhatian selama pandemi Covid-19 dengan menyebarkan teori konspirasi anti-vaksin dan anti-masker, sebelum beralih ke platform nasionalis yang menentang globalisasi, imigrasi, dan kebijakan kesetaraan gender.
Kebijakan anti-imigran Sanseito mencakup:
- Pembatasan Jumlah Imigran: Mengusulkan batas jumlah penduduk asing di setiap kota hingga maksimal 5% dari populasi warga Jepang, yang berpotensi mengusir imigran dari kota seperti Tokyo di mana populasi asing melebihi ambang batas ini.
- Pembatasan Kesejahteraan Sosial: Menyerukan penghentian bantuan sosial bagi warga non-Jepang dan melarang mereka menduduki posisi publik yang sensitif.
- Kontrol Kepemilikan Tanah: Melarang penjualan tanah strategis kepada pihak asing, terutama menyoroti pembelian oleh warga China, yang dituduh “mengambil alih” sumber daya Jepang.
- Pemeriksaan Loyalitas: Mengusulkan “pemeriksaan loyalitas” bagi penduduk asing jangka panjang dan screening ketat untuk kewarganegaraan Jepang.
- Badan Pengatur Imigran: Mengusulkan pembentukan badan pemerintah khusus untuk mengawasi kebijakan terkait warga asing, dengan fokus pada pencegahan kejahatan dan eksploitasi celah hukum.
Sanseito menuding imigran, yang hanya mencakup 3% dari populasi Jepang (sekitar 3,8 juta pada akhir 2024), sebagai penyebab penurunan upah, peningkatan kejahatan, dan beban kesejahteraan sosial, meskipun data polisi menunjukkan tingkat kejahatan oleh imigran lebih rendah dibandingkan warga lokal. Partai ini juga memanfaatkan ketegangan akibat lonjakan turis asing (36,9 juta pada 2024) dan krisis biaya hidup untuk memperkuat narasi “invasi diam-diam” oleh orang asing.
Kenaikan Sanseito, yang kini menjadi partai oposisi terbesar keempat di Upper House, mencerminkan ketidakpuasan terhadap Partai Demokrat Liberal (LDP) pimpinan Perdana Menteri Shigeru Ishiba, yang kehilangan mayoritas di kedua majelis parlemen akibat skandal korupsi dan krisis ekonomi. Platform “Japanese First” Sanseito telah menarik pemilih yang frustrasi dengan stagnasi upah, inflasi, dan kenaikan harga beras yang melonjak dua kali lipat dalam setahun terakhir. YouTube menjadi kunci sukses mereka, dengan kanal partai memiliki lebih dari 460.000 pelanggan, jauh melampaui LDP.
Namun, kebijakan Sanseito memicu kecaman luas. Delapan organisasi hak asasi manusia mengecam retorika “Japanese First” sebagai ujaran kebencian yang dapat menghambat masyarakat inklusif. Demonstrasi menentang partai ini muncul di Tokyo, dengan pengunjuk rasa membawa plakat bertuliskan “Tidak ada urutan pertama atau kedua dalam kemanusiaan”. Pernyataan antisemitik Kamiya, seperti tuduhan bahwa “kapital Yahudi” mempopulerkan gandum pasca-Perang Dunia II untuk merugikan kesehatan Jepang, juga menuai protes dari aktivis hak asasi manusia.
Menghadapi tekanan Sanseito, Ishiba membentuk satuan tugas pemerintah untuk menangani “kejahatan dan perilaku tidak tertib” oleh warga asing, serta berjanji mencapai “nol imigran ilegal”. Langkah ini dipandang sebagai respons terhadap popularitas Sanseito, tetapi dianggap tidak cukup oleh beberapa analis karena tidak menangani akar masalah ekonomi.
Untuk meredakan ketegangan, beberapa solusi diusulkan:
- Edukasi Publik: Melawan misinformasi tentang imigran melalui kampanye yang menyoroti kontribusi mereka terhadap ekonomi, seperti mengisi kekurangan tenaga kerja di sektor perawatan dan konstruksi.
- Kebijakan Inklusif: Partai oposisi seperti Partai Demokrat Konstitusional Jepang (CDP) mendorong undang-undang untuk masyarakat multikultural dan perlindungan hak asasi imigran.
- Reformasi Ekonomi: Mengatasi krisis biaya hidup dan stagnasi upah untuk mengurangi ketidakpuasan yang dimanfaatkan oleh narasi anti-imigran.
- Regulasi Media Sosial: Mendorong platform seperti YouTube untuk memantau konten yang mempromosikan ujaran kebencian, meskipun Sanseito membantah tuduhan xenofobia.
Meskipun Sanseito berhasil meraih 14 kursi di Upper House, partai ini masih jauh dari 20 kursi yang diperlukan untuk mengajukan proposal anggaran, dan hanya memiliki tiga kursi di Lower House yang lebih berpengaruh. Keberhasilan jangka panjang mereka bergantung pada kemampuan memperluas basis pemilih di luar laki-laki muda dan membangun organisasi yang solid. Namun, para ahli seperti Ken Endo dari Universitas Tokyo memperingatkan bahwa retorika anti-imigran dapat memperdalam polarisasi sosial dan membahayakan demokrasi jika tidak dikendalikan.
Sanseito, dengan pendekatan populis dan kehadiran daring yang kuat, telah mengguncang politik Jepang, tetapi keberhasilannya juga memicu pertanyaan tentang masa depan kohesi sosial di negara yang secara historis homogen ini. Dengan pemilu lokal berikutnya pada 2026, perhatian tertuju pada apakah Sanseito dapat mempertahankan momentumnya atau hanya menjadi fenomena sementara.
Sumber: Reuters, BBC, The Guardian, The Asahi Shimbun, Wikipedia
AI: Grok
Post Comment