Dunia Butuh “Kiamat” yang Indah: Penulis Hungaria László Krasznahorkai Raih Nobel Sastra 2025
Akademi Swedia mengumumkan László Krasznahorkai, novelis Hungaria berusia 71 tahun, sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra 2025. Penghargaan bergengsi ini diberikan “atas karyanya yang memikat dan visioner, yang, di tengah teror apokaliptik, menegaskan kembali kekuatan seni.” Krasznahorkai, yang dikenal sebagai “master of apocalypse” karena tema-tema akhir dunia dan absurditas modernnya, menjadi orang Hungaria kedua yang meraih Nobel Sastra setelah Imre Kertész pada 2002. Pengumuman ini disambut dengan sorak-sorai di kalangan sastra Eropa Timur, meski pasar buku global sudah ramai sejak berita bocor kemarin.
Krasznahorkai menerima kabar baik melalui telepon saat berada di Frankfurt, Jerman, di mana ia sedang menghadiri festival sastra. “Saya benar-benar terkejut. Ini hari pertama saya sebagai pemenang Nobel,” ujarnya kepada Sveriges Radio dengan suara gemetar, menambahkan bahwa ia merasa “bahagia, tenang, dan gugup sekaligus.” Penulis pemalu ini, yang menghabiskan hari-harinya di bukit sunyi Szentlászló di Hungaria, jarang tampil di depan umum dan menganggap menulis sebagai “tindakan pribadi yang memalukan jika dibicarakan.” Reaksinya yang rendah hati kontras dengan euforia Perdana Menteri Hungaria Viktor Orbán, yang memuji Krasznahorkai sebagai “kebanggaan Hungaria dari Gyula,” kota kecil di mana ia lahir.
Penghargaan ini datang di tengah tahun Nobel yang penuh gejolak, dengan pengumuman dimulai 6 Oktober untuk kategori kedokteran hingga ekonomi pada 13 Oktober. Krasznahorkai akan menerima medali emas, diploma, dan hadiah tunai sekitar 11 juta kronor Swedia (Rp 19,4 miliar) dari Raja Carl XVI Gustaf pada 10 Desember di Stockholm. Upacara tersebut juga mengharuskan pemenang menyampaikan kuliah Nobel, meski Krasznahorkai—seperti Bob Dylan dulu—mungkin enggan berbicara panjang lebar.
Kemenangan Krasznahorkai telah lama diramalkan oleh bandar taruhan dan kritikus, yang menempatkannya di daftar favorit sejak dekade lalu bersama nama seperti Haruki Murakami dan César Aira. Di media sosial X, tagar #Nobel2025 mendominasi, dengan pengguna seperti @LitHub memposting: “Krasznahorkai bukan untuk yang lemah hati—kalimatnya seperti banjir kiamat, tapi itulah yang kita butuhkan sekarang.” Penjualan buku-bukunya melonjak 500% di Amazon sejak pengumuman, terutama novel debutnya Sátántangó (1985), yang diadaptasi menjadi film oleh sutradara Béla Tarr.
Akademi Swedia, melalui Sekretaris Mats Malm, menyoroti bagaimana karya Krasznahorkai—dengan kalimat panjang yang mengalir seperti sungai banjir—mewarisi tradisi Kafka dan Thomas Bernhard, penuh absurdisme dan grotesk. “Ia adalah penulis epik besar Eropa Tengah yang menggambarkan kehancuran dunia modern sambil menawarkan harapan melalui seni,” kata Malm.
Krasznahorkai, yang juga penulis skenario untuk film Tarr seperti Werckmeister Harmonies (2000), telah memenangkan banyak penghargaan sebelumnya, termasuk Man Booker International 2015 dan National Book Award for Translated Literature 2019. Kemenangannya dilihat sebagai dukungan terhadap sastra “serius dan intelektual” di era distraksi digital, seperti yang dicatat The Conversation. Namun, beberapa kritikus seperti Tanjil Rashid dari The Guardian menyebut karyanya “kelam dari awal hingga akhir,” memperingatkan pembaca pemula untuk bersiap mental.
Dengan ini, Nobel Sastra 2025 melanjutkan tren menghargai penulis non-Barat, setelah Han Kang dari Korea Selatan tahun lalu. Apakah Krasznahorkai akan muncul di Stockholm atau tetap bersembunyi di bukitnya? Dunia sastra menanti.
Karya Utama László Krasznahorkai: Seni yang Bertahan di Tengah Kiamat
László Krasznahorkai bukanlah penulis untuk santai—karyanya seperti badai verbal yang menenggelamkan pembaca dalam lautan kalimat tak berujung, penuh kegelapan eksistensial dan satir pedas terhadap masyarakat modern. Sebagai pemenang Nobel 2025, ia diakui atas kemampuannya menggambarkan “teror apokaliptik” sambil menegaskan kekuatan seni sebagai penyelamat. Berikut ulasan singkat atas tiga karya ikoniknya yang layak dibaca untuk memahami visi dystopian-nya.
Sátántangó (1985) – Debut yang Mengguncang, Sensasi Hungaria
Novel ini, yang diterjemahkan sebagai Tari Setan, adalah terobosan Krasznahorkai di era komunis Hungaria. Berlatar desa terpencil yang membusuk, cerita mengikuti sekelompok warga miskin yang terjebak dalam skema penipuan absurd setelah mendengar kabar pemimpin lama mereka bangkit dari kematian—sebuah alegori kiamat yang lucu sekaligus mengerikan. Kalimatnya yang panjang (beberapa halaman tanpa titik!) menciptakan ritme hipnotis, seperti tarian setan yang tak berhenti.
Ulasan: 4.5/5. Ini bukan bacaan ringan; seperti The Sound and the Fury Faulkner bertemu Kafka, tapi dengan sentuhan folklor Eropa Timur. Adaptasi film Béla Tarr (2012) memenangkan banyak penghargaan, membuktikan kekuatannya visual. Cocok untuk penggemar sastra eksperimental yang ingin merasakan kehampaan pasca-komunis. Kekurangan: Bisa melelahkan bagi pemula, tapi akhirnya membebaskan—seperti seni yang selamat dari kehancuran.
The Melancholy of Resistance (1989) – Melankoli Kiamat Global
Diterjemahkan sebagai Melankoli Perlawanan, novel ini menggambarkan invasi gajah raksasa ke kota pelabuhan Hungaria yang kacau, dipicu oleh kultus sayuran pemimpin karismatik. Di balik absurditasnya, Krasznahorkai menyindir naiknya fasisme dan kehancuran moral pasca-Perang Dingin. Kalimatnya yang bergulir seperti gelombang tsunami mencerminkan kekacauan dunia, dengan elemen grotesk seperti mayat bergelung.
Ulasan: 5/5. Karya masterpiece yang relevan hari ini—bayangkan Blindness Saramago dicampur 1984 Orwell, tapi lebih poetis. Adaptasi film Tarr Werckmeister Harmonies (2000) adalah visual feast. Kekuatannya ada pada bagaimana ia ubah melankoli jadi perlawanan seni; pembaca keluar dengan rasa harapan rapuh. Minus: Terjemahannya kadang rumit, tapi itu bagian dari pesonanya. Wajib baca di era populisme global.
Seiobo There Below (2008) – Eksplorasi Seni di Tengah Kekacauan
Kumpulan cerita non-linear ini, diterjemahkan sebagai Seiobo di Bawah Sana, melompat dari seni Jepang kuno hingga festival modern, mengeksplorasi bagaimana keindahan bertahan di dunia yang runtuh. Dari pemahat Buddha yang gagal hingga turis Eropa di China, setiap bagian adalah puisi prosa yang visioner.
Ulasan: 4/5. Lebih ringan dari novel-novelnya, tapi tetap dalam—seperti meditasasi Beckett dengan sentuhan Zen. Ini yang paling “menguatkan seni” seperti kutipan Nobel, menunjukkan Krasznahorkai bukan sekadar pesimis. Cocok untuk yang suka esai fiksi. Kekurangan: Strukturnya fragmentaris bisa membingungkan, tapi itulah poinnya: Seni tak linear di kiamat.
Secara keseluruhan, oeuvre Krasznahorkai adalah peringatan dan obat: Di tengah teror modern (dari perang dagang hingga AI), seninya mengingatkan kita untuk bertahan. Mulai dari Sátántangó jika Anda berani; ia akan ubah cara Anda lihat dunia. Nobel ini tepat waktu—dunia butuh lebih banyak “kiamat” yang indah.
AI: Grok
Post Comment