Sanae Takaichi, Perdana Menteri Perempuan Pertama Jepang

Sanae Takaichi, Perdana Menteri Perempuan Pertama Jepang

Krisis politik Jepang memasuki babak baru hari ini ketika koalisi penguasa Liberal Democratic Party (LDP) mengalami perpecahan dramatis. Partai mitra koalisi Komeito mengumumkan keluar dari aliansi dengan LDP di bawah pimpinan Sanae Takaichi, menimbulkan keraguan besar atas peluang Takaichi untuk terpilih sebagai Perdana Menteri (PM) Jepang perempuan yang pertama. Pemungutan suara di parlemen dijadwalkan pada paruh kedua Oktober, tetapi tanpa dukungan Komeito, Takaichi harus mencari mitra baru untuk menjaga kekuasaan LDP di tengah ketidakstabilan ekonomi dan tekanan eksternal dari AS.

Pengumuman Komeito datang hanya seminggu setelah Takaichi, seorang konservatif garis keras berusia 64 tahun, terpilih sebagai ketua LDP pada 4 Oktober 2025. Ia mengalahkan Menteri Pertanian Shinjiro Koizumi dalam putaran kedua pemilihan internal partai, dengan visi yang lebih radikal untuk mengatasi krisis ekonomi dan ancaman keamanan regional. Pasar saham Tokyo merespons dengan kenaikan sementara, yen melemah, dan investor khawatir atas prospek kenaikan suku bunga yang tertunda akibat ketidakpastian politik.

Analis memperingatkan bahwa perpecahan ini bisa memicu pemilu dini, memperburuk situasi di mana LDP-Komeito telah kehilangan mayoritas di kedua kamar parlemen sejak kekalahan telak pada pemilu Juli 2025. Sebelumnya, mantan PM Shigeru Ishiba mengundurkan diri pada 7 September 2025 setelah kurang dari setahun menjabat, menanggung tanggung jawab atas kekalahan pemilu yang menghapus mayoritas koalisi. Ishiba, yang terpilih pada Oktober 2024, berjanji “membuat Jepang tersenyum lagi” dengan fokus pada revitalisasi pedesaan dan keamanan, tetapi gagal mengatasi inflasi, kekurangan beras, dan negosiasi tarif dengan AS di bawah Presiden Donald Trump.

Pengunduran dirinya memicu pemilihan LDP yang dimenangkan Takaichi, yang kini harus menghadapi tantangan serupa sambil membangun aliansi baru—mungkin dengan Partai Demokrat Rakyat (CDP) atau Ishin no Kai. Takaichi dijadwalkan menghadiri KTT ASEAN di Malaysia akhir bulan ini, diikuti kunjungan Presiden Trump ke Jepang, yang bisa menjadi ujian pertama baginya dalam diplomasi.

Di X (sebelumnya Twitter), sentimen campur aduk: Banyak pengguna memuji Takaichi sebagai “penerus Shinzo Abe” yang tegas, sementara yang lain khawatir atas pandangannya yang hawkish terhadap China bisa memicu ketegangan regional.

Biografi Sanae Takaichi

Sanae Takaichi lahir pada 8 Juni 1961 di Nara, Jepang, dari keluarga berlatar belakang politik. Ia lulus dari Universitas Seijo dengan gelar sastra Inggris dan memulai karier sebagai pegawai negeri di Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri (sekarang METI) pada 1984. Terinspirasi oleh mantan PM Inggris Margaret Thatcher—yang ia anggap sebagai pahlawan—Takaichi beralih ke politik pada 2002, terpilih ke DPR (House of Representatives) mewakili distrik Mie ke-5 sebagai anggota LDP.

Karier politiknya melejit sebagai protege Shinzo Abe, mantan PM yang memimpin visi konservatif LDP. Takaichi menjabat sebagai Menteri Urusan Internal dan Komunikasi (2014–2016), Menteri Perencanaan Ekonomi (2016–2017), dan Menteri Keamanan Ekonomi pada 2023–2024. Ia rutin mengunjungi Kuil Yasukuni—simbol militerisme Jepang era Perang Dunia II—yang membuatnya dikritik oleh tetangga Asia seperti China dan Korea Selatan.

Pada 2024, ia hampir memenangkan pemilihan ketua LDP sebelum kalah tipis dari Ishiba, menjadikannya kandidat kuat untuk comeback. Takaichi dikenal sebagai pembaca berat dan pengagum Thatcher, dengan fokus pada reformasi ekonomi ala “Abenomics”. Ia belum menikah dan sering disebut sebagai “wanita besi” Jepang, meskipun menghadapi kritik atas pandangan tradisionalnya terhadap isu gender.

Kecenderungan Langkah Politik Sanae Takaichi: Konservatif Keras dengan Fokus Keamanan dan Ekonomi

Sebagai ultrakonservatif, Takaichi cenderung mengambil langkah tegas dalam kebijakan luar negeri, terutama hawkish terhadap China—mendukung penguatan aliansi dengan AS, India, dan Korea Selatan untuk melawan ekspansi Beijing. Ia mendukung peningkatan anggaran pertahanan Jepang hingga 2% PDB dan revisi konstitusi untuk memperkuat Pasukan Bela Diri (SDF), melanjutkan warisan Abe.

Di dalam negeri, Takaichi pro-stimulus ekonomi untuk mengatasi inflasi dan krisis biaya hidup, termasuk kelanjutan Abenomics dengan penekanan pada keamanan ekonomi (seperti rantai pasok domestik). Namun, ia kritis terhadap imigrasi massal dan mendukung kebijakan anti-migrasi untuk melindungi pekerja Jepang. Pada isu sosial, ia konservatif: Menentang pengakuan pernikahan sesama jenis dan mendukung nilai tradisional keluarga, meskipun mendukung pemberdayaan wanita di politik.

Kecenderungannya yang disruptif—seperti kunjungan Yasukuni—bisa memicu ketegangan dengan Asia, tapi juga memobilisasi basis konservatif LDP yang kecewa dengan Ishiba yang lebih sentris. Takaichi berpotensi menjadi katalisator perubahan, tapi juga risiko instabilitas lebih lanjut di tengah negosiasi tarif AS dan pemulihan pasca-bencana. Jepang kini berada di persimpangan: Apakah Takaichi bisa menyatukan koalisi baru dan memulihkan kepercayaan publik?

Sumber: Reuters, Politico, Washington Post

AI Grok

Post Comment