Ruang Sidang sebagai Panggung Soft Power: Evolusi Courtroom K-Drama & Dampaknya bagi Citra Hukum Korea Selatan

Ruang Sidang sebagai Panggung Soft Power: Evolusi Courtroom K-Drama & Dampaknya bagi Citra Hukum Korea Selatan

Ada masa ketika drama hukum Korea Selatan hanya menjadi bumbu di tengah crime-thriller. Lalu satu per satu judul lahir dan menata “ruang sidang” sebagai panggung utama: Remember: War of the Son (2015–2016), Witch at Court (2017), Stranger/Secret Forest (2017–2020), Law School (2021), The Devil Judge (2021), Juvenile Justice (2022), Extraordinary Attorney Woo (2022), hingga Beyond the Bar (2025). Di lintasan ini, genre courtroom Korea Selatan bertransformasi—dari melodrama hukum menjadi cultural export yang memperkenalkan anatomi peradilan Korea Selatan kepada penonton global.

Gelombang pertama: kasus, memori, dan “rasa hukum”

Peralihan dimulai dari bumbu di tengah crime-thrillermenjadi “ruang sidang” sebagai panggung utama adalah melalui drama Remember, dengan narasi kisah yang memadukan thriller dengan motif memori—hipertimesia vs Alzheimer’s—untuk menyoal salah vonis dan korupsi yang “membengkokkan” proses hukum. Narasi ini memperkenalkan ke khalayak luas hukum rasa Korea Selatan: jaksa yang sangat kuat, sidang cepat, dan etos pembuktian yang sering bertumpu pada dokumen interogasi kejaksaan. Ia bukan dokumenter, tapi memantik rasa ingin tahu penonton global: bagaimana sebenarnya peran jaksa dan hakim di Korea Selatan?

Pada drama Witch at Court yang datang dengan sudut pandang berbeda: seorang jaksa perempuan di unit sex crimes—taktis, agresif, dan problematis—yang mengangkat isu korban & pembuktian kasus kekerasan seksual. Serial ini populer, memperlihatkan bagaimana televisi Korea Selatan berani menyajikan penyidikan sensitif sekaligus memberi ruang bagi kritik etis terhadap “kemenangan perkara” yang mengorbankan integritas proses.

Gelombang kedua: institusi sebagai karakter

Stranger (Secret Forest) menandai “dewasa”-nya genre ini: prosecutorial thriller yang meraih pujian kritikus karena membedah relasi polisi–jaksa, kartel politik–bisnis, dan institutional capture. Banyak media dan daftar kurasi menempatkannya sebagai essential viewing bagi penggemar legal-crime. Di gelombang ini, institusi bukan latar—ia menjadi karakter.

Law School melompat ke legal education: kelas criminal law menjadi arena etik dan privilese, sementara kampus hukum didramatisasi sebagai mesin produksi aparat hukum masa depan. Meski bertokoh fiksi, serial ini memperkenalkan penonton global pada pipeline profesi hukum Korea Selatan (profesor eks-jaksa, mooters, klinik hukum, dan ethos ujian) sembari menggambarkan sidang yang dipimpin panel hakim.

The Devil Judge menawarkan tafsir distopia: pengadilan sebagai reality show dengan public vote. Ini bukan panduan sistem Korea Selatan, tetapi alegori tentang populisme penegakan hukum—berguna untuk menunjukkan beda: di dunia nyata Korea Seatan, juri (bila ada) bersifat partisipatif dan nasihat, bukan penentu akhir; hakim tetap memegang palu.

Gelombang ketiga: global breakout—isu sosial dan soft power hukum

Ledakan global datang lewat Juvenile Justice, Extraordinary Attorney Woo, dan Beyond the Bar. Juvenile Justice menguliti Juvenile Act—perdebatan antara rehabilitation vs retribution—dengan mengambil kasus-kasus yang diinspirasi peristiwa nyata. Bagi penonton internasional, serial ini berfungsi sebagai civic primer tentang juvenile court Korea Selatan: hakim kolegial, fokus rehabilitasi, dan dilema kebijakan publik.

Sementara Woo Young-woo menjadi fenomena global: masuk jajaran 10 besar non-Inggris Netflix lintas pekan, dan memantulkan sensasi “legal drama yang humanis”—menyajikan case-of-the-week yang menyentuh isu disabilitas, diskriminasi kerja, konflik masyarakat pesisir, sampai chaebol governance. Di luar layar, serial ini “mengajar” penonton soal tata ruang sidang Korea Selatan: tiga hakim untuk perkara serius, peran clerk, dan dinamika firma hukum dengan kultur hierarkis.

Apa yang “dipelajari” dunia tentang hukum Korea Selatan lewat drama?

  1. Juri ada, tapi berbeda dari AS. Sejak 2008 Korea Selatan memperkenalkan citizen-participation trials. Namun putusan juri bersifat nasihat, putusan akhir tetap pada hakim. Ini sering “terlihat” di drama—panel hakim dominan—dan membuat penonton global paham bahwa model Korea Selatan bukan jury-centric.
  2. Panel hakim & kecepatan proses. Perkara serius kerap diputus panel tiga hakim di pengadilan negeri; perkara lain oleh hakim tunggal. Tempo perkara—setidaknya di layar—tampak cepat dan judge-driven, memberi kesan sistem yang prosedural dan teknokratis.
  3. Kuatnya peran kejaksaan & reformasi. Drama institutional (Stranger, Law School) merefleksikan diskursus nyata: dari prosecution reform, pembentukan CIO (Corruption Investigation Office for High-Ranking Officials), hingga tarik-ul urn kewenangan penyidikan-penuntutan. Perdebatan ini bukan fiksi—ia hidup di berita dan kebijakan.
  4. Isu-isu kebijakan sebagai plot engine. Juvenile Justice menyalakan debat publik tentang juvenile sentencing; The Devil Judge menggugat trial by spectacle; Woo menormalisasi disability inclusion di profesi hukum—semuanya memperluas minat publik global untuk “meng-Google” regulasi Korea Selatan.

Catat baik-baik: drama bukan dokumen hukum

Tidak semua yang tampil di layar adalah SOP. The Devil Judge misalnya jelas alegori. Namun exposure konsisten pada ruang sidang, hakim panel, jaksa dominan, dan perkara publik menghasilkan “literasi dasar” tentang ekosistem peradilan Korea Selatan. Itu cara soft power bekerja: narratives first, details later. (Dan belakangan, “later” itu diisi oleh jurnalisme, explainers, dan policy brief).

Mengapa genre ini “meledak” global?

  • Titik temu emosi–institusi. Kasus-kasus menyentuh (keluarga, korban, underdog) bertemu kritik sistemik (korupsi, privilese, due process). Drama lain banyak memiliki yang satu; courtroom K-drama menggabungkan keduanya.
  • Format yang ramah global. Case-of-the-week + season arc memudahkan penonton lintas budaya: nilai universal (keadilan, empati) menjadi pintu masuk; detail hukum Korea Selatan menjadi bumbu pengetahuan.
  • Netflix effect. 2022 menandai lompatan reach drama Korea Selatan di luar Asia; Woo dan Juvenile Justice menunggang gelombang itu dan membuktikan legal drama pun bisa menembus Top 10 global non-Inggris.

Dampak balik ke citra sistem hukum Korea Selatan

  1. Transparansi & partisipasi publik naik daun. Ketika jutaan penonton menyadari “oh, di Korea Selatan juri itu non-binding”, diskusi akademik–kebijakan tentang civil participation mendapat panggung. Kajian dan policy papers menunjukkan tujuan awal: legitimasi demokratis & kepercayaan publik.
  2. Isu reforma ke kejaksaan masuk arus utama. Narasi “jaksa terlalu kuat?” yang dulu niscaya, kini mudah dipahami. Pembentukan CIO, tarik-ulur kewenangan, dan wacana pemisahan fungsi investigasi–penuntutan menjadi bahan perbincangan lintas negara—muncul di laporan kebijakan hingga media internasional.
  3. Ekspektasi etika & akses keadilan. Serial tentang sex crimes dan juvenile court menuntut due care bagi korban sekaligus due process bagi terdakwa. Ini memperkuat citra Korea Selatan sebagai sistem yang—meski keras pada kejahatan—berusaha menyeimbangkan rehabilitasi dan akuntabilitas.

Garis bawah: apa yang membedakan K-courtroom dari Barat?

  • Praktik sidang “judge-centric”. Hakim aktif menggali, panel tiga hakim lazim; juri (bila ada) tidak mengikat. Ini berbeda dari jury-centric trials di AS/UK.
  • Kultur kejaksaan yang kuat & sedang direformasi. Tafsir “state capacity” lewat jaksa kuat tampak di layar; realitanya, ada arus reformasi yang terus bernegosiasi dengan politik.
  • Daya pikat social issue. Alih-alih pure courtroom theatrics, K-drama gemar menjadikan undang-undang sebagai konflik moral—dari juvenile sentencing sampai corporate governance.

Ruang Sidang sebagai Panggung Soft Power

Korea Selatan tidak menjual “manual hukum” lewat drama. Mereka menjual kisah—tentang hakim yang letih menjaga pagar keadilan, jaksa yang harus memilih antara karier dan nurani, pengacara muda yang mencari bahasa empati di balik pasal. Stories first, systems follow. Hasilnya, dunia mulai “mengenal” hukum Korea Selatan: bukan melalui white paper, melainkan lewat kasus fiksi yang mengajak kita merasakan struktur, etika, dan tarik-ulur kekuasaan di baliknya.

Dan ya—ketika Extraordinary Attorney Woo bisa menjadi salah satu serial non-Inggris paling populer di Netflix dan kemudian diikuti oleh Beyond the Bar, ini tentunya bukan hanya kemenangan narasi; ini adalah diplomasi budaya yang membuat orang di berbagai negara tiba-tiba paham bedanya juri di pengadilan yang bertugas memberikan “nasihat” dan palu hakim, tiba-tiba paham bedanya plea bargain ala Amerika dan judge-driven trial ala Korea Selatan. Dari ruang sidang fiksi itu, kemudian reputasi sistem hukum Korea Selatan menyeberang batas.

AI: Chat GPT

Post Comment