Foto Junko Furuta Jadi Dekorasi Halloween Picu Persteruan Netizen Indonesia vs Jepang

Foto Junko Furuta Jadi Dekorasi Halloween Picu Persteruan Netizen Indonesia vs Jepang

YouTuber Indonesia Nessie Judge, yang dikenal dengan segmen horor #NERROR, kini menjadi pusat badai kontroversi internasional setelah memasang foto Junko Furuta – korban penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan brutal di Jepang pada 1988 – sebagai properti dekorasi latar belakang dalam video Halloween kolaborasinya dengan boyband K-Pop NCT Dream. Insiden yang dimulai sebagai konten ringan pada 2 November lalu kini meledak menjadi bentrokan sengit di media sosial, melibatkan netizen Indonesia dan Jepang, dengan tagar #NessieJudge dan #JunkoFuruta mencapai jutaan tayangan di X (sebelumnya Twitter). Banyak pihak menilai tindakan ini sebagai penghinaan terhadap memori korban, sementara Nessie membela diri dengan menyebutnya sebagai “homage” – yang justru memicu gelombang kritik lebih lanjut.

Kronologi Kontroversi: Dari Konten Seram ke Badai Global

Semuanya bermula dari video kolaborasi spesial Halloween yang diunggah Nessie di kanal YouTubenya pada 2 November 2025. Dalam segmen #NERROR – seri andalan Nessie sejak 2017 yang membahas misteri dan kisah horor – ia mengundang member NCT Dream seperti Jeno dan Jisung untuk berbagi cerita menyeramkan. Studio Nessie didekorasi ala Halloween: lilin, patung hantu, sarang laba-laba, dan berbagai foto korban kasus tragis sebagai “inspirasi”. Di antara itu, terselip foto hitam-putih Junko Furuta, gadis SMA berusia 17 tahun yang disekap selama 40 hari oleh empat remaja yakuza junior di Adachi, Tokyo, pada akhir 1980-an.

Kasus Junko Furuta adalah salah satu tragedi kriminal paling mengerikan dalam sejarah pascaperang Jepang. Menurut arsip pengadilan Tokyo yang dilaporkan NHK pada 1989, Junko mengalami pemerkosaan, pemukulan hingga tulang patah, pembakaran dengan rokok dan lilin, penyiksaan sadis seperti dimasukkan benda asing ke tubuhnya. Jenazahnya akhirnya ditemukan terkubur dalam drum beton di lahan kosong, memicu reformasi hukum remaja Jepang pada 1997. Kasus ini bahkan diadaptasi menjadi film layar lebar Concrete pada 2004, dan tetap menjadi luka mendalam bagi masyarakat Jepang, di mana foto korban dianggap tabu untuk dieksploitasi demi hiburan.

Video Nessie, yang kini sudah dihapus, menyebar cepat ke komunitas Jepang via TikTok dan X. Pada 4 November, akun @FurutaJustice_JP memposting thread yang di-retweet 50.000 kali: “Ini bukan hiburan, ini menghina arwah Junko dan keluarganya yang masih trauma.” Hujatan pun membanjiri akun Nessie, dengan netizen Jepang menuduhnya “tidak sensitif” dan “memanfaatkan tragedi untuk views”. Beberapa komentar ekstrem bahkan menyerang seluruh warga Indonesia, seperti postingan @kGG7CDO5i19684 yang menyatakan, “Indonesia’s low education level shows; multiculturalism isn’t for Japan – ban entry for such disrespectful people.”

Nessie merespons pada 5 November melalui Instagram dan X, mengklaim foto itu bukan “properti Halloween” melainkan “homage” karena kasus Junko paling sering diminta viewer di #NERROR. “Kami punya referensi sendiri, tidak sedangkal itu,” Respons ini justru dianggap defensif dan tidak ikhlas, memicu lebih banyak serangan. Hingga 7 November, Nessie akhirnya meminta maaf secara resmi: “Saya sadar ini menyakiti banyak orang. Maaf atas ketidaksensitifan saya.” Namun, permintaan maaf itu masih menuai kritik karena terkesan terlambat dan setengah hati.

Bentrokan Netizen: Dari Kritik Individu ke Generalisasi Nasional

Kontroversi ini dengan cepat berubah menjadi “perang netizen” antara Indonesia dan Jepang, memperburuk stereotip dan xenofobia online. Di sisi Jepang, ribuan postingan di X menyerang Nessie secara pribadi, tapi juga meluas ke generalisasi: “Orang Indonesia selalu seperti ini – tidak hormat pada korban,” tulis @japan_isback, yang mendapat 15.000 likes. Beberapa netizen Jepang bahkan menuntut pembatalan event Nessie di Jepang pada 23 November, dengan tagar #BoycottIndonesiaNessie trending di Tokyo.

Netizen Indonesia, meski banyak yang mengkritik Nessie – seperti @neverens yang berkata, “Nessie, kamu dulu respectful, tapi sekarang hilang empati demi uang” – @neverens justru marah atas generalisasi tersebut. Respons balasan sering kali defensif dan historis: “Kalian pernah jadi penjahat perang di Asia? Junko Furuta tidak ada apa-apanya dibanding kejahatan kalian,” tulis @UJmanik264, merujuk pada sejarah pendudukan Jepang di Indonesia selama Perang Dunia II. Akun @fluffeypie menambahkan, “Nessie salah, tapi Jepang menggeneralisasi seluruh Indonesia sebagai ignorant – kalian sendiri yang melakukan hal mengerikan di banyak negara.” Postingan seperti ini mendapat ribuan dukungan, tapi juga memperburuk polarisasi, dengan K-popers global ikut campur dan menuduh Nessie “merusak citra kolaborasi NCT”.

Menurut analisis X Analytics per 7 November, thread terkait mencapai 10 juta views, dengan 60% dari Jepang dan 30% dari Indonesia. LSM hak asasi manusia seperti Amnesty International cabang Asia-Pasifik mengutuk kedua belah pihak, menyebut insiden ini sebagai contoh bagaimana konten viral bisa memperkuat prasangka rasial.

Dampak dan Pelajaran: Sensitivitas Budaya di Era Konten Digital

Kontroversi ini bukan hanya blunder pribadi Nessie, tapi cerminan tantangan kreator konten di era global: bagaimana membahas topik sensitif seperti kekerasan tanpa mengeksploitasi korban. Di Jepang, kasus ini menggugah diskusi ulang tentang hukum remaja yang longgar – yang memungkinkan pelaku Junko lolos dengan hukuman ringan karena usia di bawah 18 tahun. Bagi masyarajat Jepang, tragedi seperti Junko adalah tabu nasional. Ini pelajaran bagi kreator Indonesia untuk riset mendalam sebelum kolaborasi internasional.

Sementara itu, netizen seperti @supppcultured menekankan, “Fokus pada pelanggaran etis Nessie, jangan biarkan ini jadi alasan xenofobia.”

Hingga kini, perseteruan masih berlanjut di X, dengan harapan permintaan maaf Nessie yang lebih tulus bisa meredam api perseteruan. Kasus ini mengingatkan bahwa: di balik hiburan digital, ada luka nyata yang tak boleh dijadikan gimmick.

AI: Grok

Post Comment