Pengenalan Teknologi Pemantauan Imigran oleh DHS AS: Fokus pada Identifikasi dan Surveillance Mobile
Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (DHS) baru-baru ini memperluas kemampuan pengawasannya terhadap non-warga negara melalui adopsi serangkaian teknologi canggih yang dirancang untuk memudahkan identifikasi dan pelacakan individu selama proses imigrasi. Inisiatif ini, yang mulai diterapkan secara luas pada akhir 2025, melibatkan agen Immigration and Customs Enforcement (ICE) yang kini dilengkapi dengan aplikasi smartphone khusus untuk melakukan pemindaian wajah secara real-time di lapangan. Teknologi ini memungkinkan petugas untuk memverifikasi identitas dan status imigrasi seseorang hanya dengan mengambil foto menggunakan perangkat mobile, tanpa memerlukan persetujuan dari subjek yang dipindai. Foto-foto tersebut secara otomatis dibandingkan dengan database DHS yang luas, termasuk sistem verifikasi perjalanan dari Customs and Border Protection (CBP), yang menyimpan data biometrik dari jutaan orang yang memasuki AS.
Aplikasi utama yang digunakan adalah Mobile Fortify, sebuah alat yang dikembangkan secara bersama oleh ICE dan CBP. Dokumen internal DHS mengungkapkan bahwa sistem ini tidak memberikan opsi penolakan bagi individu yang ditemui petugas, sehingga pemindaian dapat dilakukan secara sepihak selama interaksi rutin, seperti pemeriksaan perbatasan atau operasi penegakan hukum. Setiap foto yang diambil disimpan dalam arsip pemerintah selama 15 tahun, termasuk milik warga negara AS yang kebetulan terlibat, meskipun tujuannya utama adalah untuk mendeteksi perintah deportasi, kewarganegaraan, atau catatan pelanggaran imigrasi. Selain itu, DHS juga mengintegrasikan perangkat lunak spyware dari penyedia seperti Paragon Solutions, yang memungkinkan akses ke data lokasi ponsel dan pesan terenkripsi hanya melalui pengiriman pesan sederhana ke nomor target. Kontrak dengan Paragon, yang nilainya belum diungkapkan secara publik, menjadi bagian dari upaya lebih luas untuk memantau hingga satu juta individu potensial, termasuk melalui pembelian data lokasi seluler dari pihak ketiga tanpa memerlukan surat perintah pengadilan.
Latar belakang pengenalan teknologi ini terkait erat dengan kebijakan imigrasi pemerintahan Trump yang menekankan deportasi massal dan pengawasan ketat terhadap imigran tidak berdokumen. Pada November 2025, DHS menerbitkan aturan usulan yang memperluas pengumpulan data biometrik, menghapus batasan usia untuk anak-anak non-warga negara, dan bahkan melibatkan kerabat warga AS yang mengajukan manfaat imigrasi seperti kartu hijau atau kewarganegaraan. Ini mencakup jenis biometrik baru seperti pemindaian iris dan analisis data media sosial, yang sebelumnya terbatas pada perbatasan. Sebelumnya, pada awal 2025, ICE telah membeli alat-alat seperti perangkat lunak PenLink untuk memantau ratusan juta ponsel secara simultan, meskipun pembelian data lokasi sempat dihentikan sementara oleh pemerintahan Biden karena pelanggaran pedoman privasi. Kini, dengan dukungan platform seperti ImmigrationOS dari Palantir, agen dapat memprediksi perilaku kriminal atau penipuan imigrasi melalui analisis data prediktif, termasuk pelacakan “self-deportation” atau operasi penghapusan paksa.
Dampak dari inovasi ini sangat signifikan bagi komunitas imigran, yang kini menghadapi risiko pengawasan yang lebih invasif dan konstan. Teknologi seperti facial recognition telah dikritik karena ketidakakuratan yang tinggi terhadap orang berkulit gelap atau etnis minoritas, yang dapat menyebabkan kesalahan identifikasi dan penahanan yang tidak adil. Selain itu, penggunaan spyware seperti Graphite dari Paragon—yang pernah digunakan di Eropa untuk menargetkan jurnalis dan aktivis—meningkatkan kekhawatiran tentang penyalahgunaan terhadap pembangkang politik atau demonstran, terutama di tengah ketegangan pasca-pemilu. Kelompok hak sipil dan Demokrat di Kongres telah menyoroti potensi “pemaksaan” teknologi ini terhadap siapa pun yang dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah, sementara laporan inspektur jenderal DHS pada 2023 menemukan bahwa agen gagal mematuhi hukum federal dalam penggunaan data lokasi sebelumnya.
Secara keseluruhan, langkah DHS ini menandai eskalasi dalam penggunaan AI dan big data untuk penegakan imigrasi, yang diharapkan dapat mempercepat deportasi hingga ratusan ribu kasus per tahun. Namun, hal ini juga memicu tuntutan hukum dari organisasi seperti ACLU dan Electronic Frontier Foundation, yang menuntut transparansi lebih besar mengenai kontrak teknologi dan dampaknya terhadap hak privasi. Di tengah perdebatan ini, DHS menegaskan bahwa semua alat tersebut digunakan sesuai otoritas hukum untuk melindungi keamanan nasional, meskipun kritik terus bergulir bahwa regulasi belum mengejar kemajuan teknologi yang begitu cepat.
AI : Grok



Post Comment