Penurunan Kebiasaan Membaca di Kalangan Siswa Jepang: Survei Terbaru Soroti Krisis Literasi yang Makin Parah
Survei terbaru yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Tokyo menyoroti masalah serius dalam kebiasaan membaca siswa Jepang, di mana sekitar dua dari sepuluh mahasiswa perguruan tinggi tidak secara rutin membaca buku, koran, atau majalah. Angka ini mencerminkan peningkatan signifikan dibandingkan dekade sebelumnya, dengan tren yang menunjukkan lonjakan sekitar 1,5 kali lipat dalam proporsi siswa yang sepenuhnya menghindari aktivitas membaca. Penelitian ini, yang melibatkan lebih dari 1.000 responden berusia 18 hingga 29 tahun dari berbagai tingkat pendidikan tinggi, juga mengungkapkan korelasi kuat antara kebiasaan membaca yang rendah dengan penurunan kemampuan pemahaman bacaan dan berpikir logis. Siswa yang jarang membaca cenderung kesulitan dalam memproses teks panjang atau kompleks, yang berdampak langsung pada performa akademik mereka, termasuk dalam ujian nasional dan tes kemampuan bahasa.Penurunan ini bukan fenomena baru, tetapi telah memburuk sejak awal 2010-an, didorong oleh pergeseran gaya hidup digital di kalangan generasi muda. Data dari Badan Urusan Budaya Jepang menunjukkan bahwa lebih dari enam dari sepuluh orang dewasa, termasuk remaja akhir, tidak membaca satu pun buku dalam sebulan, dengan angka ini melonjak 15 persen dalam lima tahun terakhir saja. Untuk siswa sekolah menengah atas, proporsi yang tidak membaca buku sama sekali mencapai hampir separuh, naik dari sekitar 30 persen pada survei sebelumnya. Survei sekolah nasional pada 2024, yang menargetkan ribuan siswa dari tingkat dasar hingga menengah atas, menemukan bahwa siswa kelas enam SD hanya membaca rata-rata satu hingga dua buku per bulan, sementara siswa SMA jarang melebihi satu judul. Peningkatan 1,5 kali lipat ini terlihat jelas dalam perbandingan data 2015 dengan 2025, di mana waktu yang dihabiskan untuk membaca turun drastis, digantikan oleh konsumsi konten pendek di platform digital.
Penyebab utama di balik tren ini adalah dominasi perangkat pintar, yang mengonsumsi sebagian besar waktu luang siswa. Sekitar empat dari sepuluh siswa mengakui bahwa smartphone dan tablet menjadi alasan utama mereka membaca lebih sedikit, karena konten video dan media sosial menawarkan hiburan instan tanpa tuntutan kognitif yang sama seperti buku. Bagi siswa berusia 10 hingga 29 tahun, faktor ini semakin dominan, mengalahkan alasan tradisional seperti kesibukan sekolah atau pekerjaan. Di sekolah menengah, di mana jadwal belajar dan kegiatan ekstrakurikuler semakin padat, hanya empat dari sepuluh institusi yang masih menerapkan sesi membaca pagi secara rutin, dibandingkan hampir seluruh sekolah dasar. Pandemi juga memperburuk situasi, dengan akses terbatas ke perpustakaan dan peningkatan ketergantungan pada pembelajaran online, yang mengurangi paparan terhadap teks naratif panjang. Selain itu, survei menunjukkan bahwa siswa dari keluarga berpenghasilan rendah atau di daerah pedesaan lebih rentan, karena kurangnya akses ke buku fisik atau program dukungan literasi.
Dampaknya terhadap literasi pemuda Jepang sangat mengkhawatirkan, karena membaca tidak hanya membangun kosakata dan kemampuan analisis, tetapi juga mendukung prestasi di bidang lain seperti matematika dan sains. Analisis dari tes kemampuan nasional 2025 mengungkapkan bahwa siswa dengan kebiasaan membaca lebih dari tiga jam seminggu memiliki tingkat keberhasilan 20-30 persen lebih tinggi dalam soal-soal yang memerlukan penalaran berbasis teks, termasuk pemecahan masalah kompleks. Sebaliknya, kelompok yang jarang membaca menunjukkan penurunan skor rata-rata hingga 50 poin dalam pengukuran literasi, yang setara dengan kesenjangan satu tingkat pendidikan. Ini berkontribusi pada penurunan peringkat Jepang dalam survei internasional seperti PISA, di mana kemampuan membaca siswa 15 tahun turun dari peringkat atas menjadi menengah dalam beberapa tahun terakhir. Lebih luas lagi, tren ini mengancam kualitas tenaga kerja masa depan, karena literasi rendah dikaitkan dengan kesulitan dalam adaptasi terhadap pekerjaan yang menuntut pemrosesan informasi mendalam, serta peningkatan risiko isolasi sosial akibat kurangnya empati yang dibangun melalui narasi buku.
Pemerintah dan pendidik Jepang merespons dengan berbagai inisiatif untuk membalikkan tren ini. Mulai April 2025, dana pendukung tahunan senilai sekitar 118.000 yen diberikan secara merata untuk siswa SMA, termasuk biaya perpustakaan dan akses e-book, tanpa memandang latar belakang ekonomi. Kementerian Pendidikan mendorong integrasi “membaca untuk kesenangan” ke dalam kurikulum, dengan penekanan pada buku yang terkait minat siswa seperti film atau hobi, yang terbukti meningkatkan motivasi hingga 30 persen. Sekitar delapan dari sepuluh sekolah dasar dan menengah kini menerapkan program membaca pagi, yang telah menurunkan tingkat tidak membaca dari 15 persen menjadi 5 persen di tingkat dasar sejak 2010. Upaya lain termasuk kolaborasi dengan penerbit untuk menyediakan konten digital gratis dan pelatihan guru dalam mendorong diskusi berbasis buku. Meski demikian, tantangan tetap ada, karena hanya 18 persen siswa usia 8-18 tahun yang membaca harian, angka terendah dalam dua dekade. Pakar neurosains bahasa menekankan bahwa membaca rutin sejak dini dapat membangun jalur saraf untuk pemahaman mendalam, menyarankan orang tua dan sekolah untuk membatasi waktu layar dan mempromosikan buku sebagai hiburan keluarga.
Secara keseluruhan, krisis literasi ini menjadi panggilan bagi masyarakat Jepang untuk merevitalisasi budaya membaca, mengingatkan bahwa di tengah kemajuan teknologi, kemampuan memahami dunia melalui kata-kata tetap menjadi fondasi pendidikan yang kuat. Tanpa intervensi berkelanjutan, generasi muda berisiko kehilangan alat esensial untuk inovasi dan empati, meskipun upaya terkini menjanjikan perubahan positif jika diterapkan secara konsisten.
AI: Grok



Post Comment