Klarifikasi Dea Lipa Soal Tuduhan Julukan “Sister Hong Lombok”
Seorang make-up artist (MUA) asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, yang dikenal dengan nama panggilan Dea Lipa, akhirnya angkat bicara terkait kontroversi yang menimpanya belakangan ini. Pemuda berusia 23 tahun dengan nama asli Deni Apriadi Rahman ini menjadi sorotan publik setelah identitasnya terbongkar sebagai pria yang kerap berpenampilan feminin, termasuk mengenakan hijab saat bekerja.
Kejadian ini bermula awal November 2025, ketika sebuah akun media sosial mengunggah foto-foto Dea Lipa yang menampilkan riasan wajah glowing dan penampilan berhijab. Unggahan tersebut segera viral dan memicu julukan “Sister Hong Lombok” di kalangan warganet, merujuk pada kasus serupa di masa lalu yang melibatkan sosok dengan penampilan menyerupai perempuan. Julukan itu dengan cepat menyebar, disertai berbagai tuduhan negatif yang membuat Dea Lipa mengalami tekanan mental berat.
Dalam konferensi pers yang digelar di sebuah kafe di Kota Mataram pada Sabtu lalu, Dea Lipa hadir untuk menjelaskan latar belakang dirinya. Ia mengungkapkan bahwa sejak kecil, ia tumbuh di lingkungan yang penuh tantangan, termasuk keterbatasan pendengaran yang membuatnya menjadi penyintas disabilitas. Latar belakang broken home dan pengalaman perundungan di masa kecil turut membentuk pilihan gaya berpakaiannya, yang ia pilih sebagai bentuk ekspresi diri tanpa niat menyesatkan orang lain.
Dea Lipa menegaskan bahwa semua tuduhan yang beredar di media sosial tidak berdasar. Ia membantah keras narasi yang menyebutnya sebagai penista agama, terlibat dalam hubungan sesama jenis, atau melakukan perilaku menyimpang lainnya. Ia juga menyangkal isu kesehatan seperti dugaan mengidap HIV/AIDS, dengan menyatakan telah menjalani tes medis yang hasilnya negatif. Selain itu, cerita tentang pertunangan atau hubungan romantis dengan pria lain dinyatakan sebagai fitnah semata.
Tekanan dari sorotan publik membuat Dea Lipa mengalami depresi parah, hingga sempat mencoba mengakhiri hidupnya. Namun, dukungan dari keluarga dan teman-teman terdekat membantunya bangkit. Ia menekankan bahwa pekerjaannya sebagai MUA bertujuan untuk menghibur klien, terutama pengantin, dan tidak pernah bermaksud melanggar norma sosial atau agama yang dianut masyarakat Lombok.
Kasus ini memicu diskusi luas di media sosial tentang isu identitas gender, bullying online, dan pentingnya verifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Beberapa tokoh masyarakat setempat menyatakan kekhawatiran atas dampak narasi negatif yang bisa memicu keresahan sosial. Hingga kini, akun media sosial Dea Lipa tetap aktif, meski ia memilih untuk sementara mengurangi interaksi publik guna memulihkan kondisi mentalnya. Dea Lipa berharap klarifikasinya dapat meredam gosip dan membuka ruang bagi pemahaman yang lebih inklusif terhadap keragaman ekspresi individu di masyarakat.
Gambar: Google
AI: Grok


Post Comment