Kontroversi Pernyataan Wakil Ketua DPR Kepada Ahli Gizi Indonesia
Gelombang kekecewaan melanda komunitas ahli gizi di Indonesia setelah pernyataan kontroversial dari Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal memicu perdebatan nasional. Pernyataan itu, yang disampaikan dalam sebuah forum konsolidasi di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menimbulkan tuduhan bahwa peran profesional ahli gizi diremehkan dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), inisiatif pemerintah untuk mengatasi stunting pada anak sekolah. Meskipun Cucun telah menyampaikan permintaan maaf, dampaknya terus bergaung, memicu diskusi mendalam tentang nilai profesi kesehatan di tengah anggaran negara yang terbatas.
Polemik bermula dari Rapat Konsolidasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) se-Kabupaten Bandung awal pekan lalu. Saat membahas tantangan Badan Gizi Nasional (BGN) dalam merekrut tenaga ahli gizi, seorang peserta menyampaikan kekhawatiran bahwa tanpa profesional yang kompeten, menu makanan dalam program MBG berisiko tidak memenuhi standar nutrisi mikro dan makro yang dibutuhkan anak-anak. Mereka menyarankan kerjasama dengan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) dan organisasi terkait untuk memastikan kualitas. Namun, respons yang muncul justru mengejutkan: saran untuk mengganti istilah “ahli gizi” dengan “tim quality control” atau “pengawas makanan bergizi”, serta klaim bahwa lulusan SMA yang cerdas bisa dilatih hanya dalam tiga bulan untuk mengambil alih tugas tersebut, tanpa memerlukan gelar sarjana gizi.
Pernyataan ini dengan cepat viral melalui video pendek di media sosial, di mana tagar seperti #PrayForAhliGiziIndonesia dan #HargaiProfesiGizi menyebar luas. Ribuan unggahan dari praktisi gizi, akademisi, dan masyarakat umum menyoroti risiko nyata dari pendekatan semacam itu. Mereka menekankan bahwa program MBG, yang menargetkan jutaan anak usia dini hingga remaja, memerlukan pemahaman mendalam tentang pola konsumsi, kebutuhan gizi spesifik berdasarkan usia dan kondisi kesehatan, serta pencegahan defisiensi yang bisa berdampak jangka panjang seperti gangguan pertumbuhan atau penyakit kronis. Tanpa ahli gizi yang terlatih, dikhawatirkan program ini malah memperburuk masalah stunting yang masih menjangkiti 21% anak Indonesia, menurut data Kementerian Kesehatan terbaru.
Kekecewaan terbesar datang dari kalangan Persagi, yang mewakili ribuan anggota di seluruh negeri. Mereka merasa profesi yang telah diakui secara hukum melalui Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan kini direndahkan, seolah-olah sertifikasi singkat bisa setara dengan pendidikan delapan semester plus pelatihan klinis. Seorang perwakilan dari komunitas gizi di Jawa Barat menggambarkan situasi ini sebagai “pukulan telak bagi upaya nasional membangun SDM unggul”, karena hal itu bisa mengurangi minat generasi muda memilih jurusan gizi di perguruan tinggi. Selain itu, Kepala BGN turun tangan dengan menjelaskan bahwa meskipun rekrutmen sedang difokuskan pada lulusan bidang terkait seperti kesehatan masyarakat atau teknologi pangan untuk mengisi kekosongan, standar kompetensi tetap harus dijaga. Mereka menolak gagasan perubahan diksi secara sepihak, menyebutnya sebagai wacana yang belum matang dan berpotensi membingungkan implementasi di lapangan.
Hingga Selasa malam, Cucun telah menggelar pertemuan darurat dengan pimpinan Persagi di kompleks parlemen, di mana ia mengakui kesalahan dalam pemilihan kata dan menegaskan kembali pentingnya ahli gizi sebagai tulang punggung program MBG. Langkah ini disambut positif oleh sebagian pihak, tetapi tidak sepenuhnya meredam api kritik. Beberapa anggota DPR dari fraksi lain menyatakan kekhawatiran bahwa pernyataan semacam ini bisa melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif, terutama saat program MBG—dengan anggaran mencapai triliunan rupiah—sedang dalam tahap sosialisasi awal. Analis politik melihat ini sebagai contoh ketegangan antara efisiensi anggaran dan kualitas layanan, di mana upaya menghemat biaya rekrutmen justru berisiko merugikan kesehatan generasi mendatang.
Kasus ini juga memicu seruan lebih luas untuk reformasi dalam pengelolaan program sosial. Komunitas gizi menuntut alokasi anggaran khusus untuk pelatihan dan sertifikasi, serta integrasi teknologi seperti aplikasi pemantau nutrisi untuk mendukung tenaga ahli di daerah terpencil. Sementara itu, media sosial terus ramai dengan cerita pribadi dari ahli gizi yang merasa “tidak dihargai”, termasuk tantangan upah rendah dan beban kerja berat di tengah pandemi pasca-stunting. Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, diharapkan segera merespons dengan pedoman resmi yang menegaskan peran ahli gizi, agar kejadian serupa tidak terulang dan program MBG benar-benar menjadi investasi jangka panjang bagi bangsa.



Post Comment