Reformasi Sistem Pengungsi Inggris: Langkah Berani Pemerintahan Buruh untuk Mengendalikan Arus Migran

Reformasi Sistem Pengungsi Inggris: Langkah Berani Pemerintahan Buruh untuk Mengendalikan Arus Migran

Pemerintah Inggris di bawah Menteri Dalam Negeri Shabana Mahmood hari ini mengumumkan reformasi terbesar dalam kebijakan pengungsi sejak era modern, yang dirancang untuk mengakhiri apa yang disebut sebagai sistem yang “tidak terkendali” dan memicu perpecahan sosial. Pengumuman ini, yang disampaikan melalui dokumen kebijakan berjudul Restoring Order and Control, menandai pergeseran signifikan dari tradisi perlindungan permanen bagi pengungsi, dengan mengadopsi model sementara yang terinspirasi dari Denmark. Tujuannya adalah mengurangi daya tarik Inggris bagi migran ilegal, mempercepat deportasi, dan memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem imigrasi di tengah tekanan politik dari partai sayap kanan Reform UK.

Reformasi ini mencakup beberapa perubahan mendasar. Pertama, status pengungsi tidak lagi bersifat permanen; hak tinggal diberikan secara sementara selama 30 bulan, dengan tinjauan ulang setiap dua setengah tahun. Jika negara asal pengungsi dinilai aman—seperti Suriah atau Ukraina—mereka diwajibkan kembali, menghindari apa yang disebut sebagai “tiket emas” untuk tinggal selamanya. Kedua, masa tunggu untuk mengajukan residensi permanen atau kewarganegaraan diperpanjang menjadi 20 tahun dari sebelumnya lima tahun, khususnya bagi mereka yang tiba melalui perahu kecil atau truk ilegal. Ketiga, kewajiban hukum pemerintah untuk memberikan dukungan otomatis seperti perumahan dan tunjangan mingguan dicabut, diganti dengan bantuan diskresioner yang bisa ditolak jika pengungsi mampu bekerja, memiliki aset seperti mobil atau sepeda listrik, atau terlibat dalam pelanggaran seperti kriminalitas atau penolakan deportasi.

Selain itu, pemerintah berencana memperketat proses banding pengadilan, membatasi pengungsi untuk mengajukan argumen hanya dalam satu kesempatan banding tunggal, dengan deportasi segera jika gagal. Sanksi visa akan diterapkan terhadap negara-negara yang menolak menerima warganya kembali, termasuk Angola dan Republik Demokratik Kongo. Untuk mengimbangi, rute aman dan legal baru akan dibuka dengan kuota terbatas, melibatkan sponsor komunitas mirip skema Homes for Ukraine, yang memungkinkan pengungsi terampil atau pelajar masuk lebih cepat ke jalur kewarganegaraan jika berkontribusi melalui pekerjaan atau studi.

Latar belakang reformasi ini muncul dari krisis arus migran yang mencapai rekor 111.000 permohonan suaka hingga Juni 2025, naik 17% dari tahun sebelumnya, meskipun lebih rendah dibandingkan Jerman atau Prancis. Penyeberangan perahu kecil dari Prancis mencapai 39.000 kasus tahun ini, memicu protes di hotel-hotel pengungsian dan meningkatkan dukungan untuk Reform UK, yang memimpin jajak pendapat dengan janji menghentikan suaka bagi pendatang ilegal. Pemerintahan Buruh, yang baru berkuasa empat bulan, mengklaim telah meningkatkan deportasi sebesar 23% menjadi 48.560 orang sejak Juli, tetapi backlog kasus banding mencapai 50.000 dengan waktu tunggu rata-rata 54 minggu. Mahmood menekankan bahwa kebijakan ini tidak menutup pintu bagi yang melarikan diri dari bahaya, melainkan memastikan sistem adil bagi warga Inggris yang merasa terbebani oleh tekanan komunitas.

Meskipun diumumkan sebagai langkah restoratif, reformasi ini langsung memicu perdebatan sengit di kalangan politik dan masyarakat. Di dalam Partai Buruh sendiri, sekitar 20 anggota parlemen menyuarakan penolakan, menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang melindungi korban trauma perang dan penyiksaan. Mereka khawatir kebijakan sementara akan menciptakan limbo abadi bagi pengungsi, mendorong kemiskinan dan ketidakstabilan mental, serta biaya tambahan hingga £872 juta dalam 10 tahun untuk tinjauan status berulang. Kelompok hak asasi manusia seperti Refugee Council dan Freedom from Torture memperingatkan bahwa pendekatan ini tidak akan menghalangi migran yang melarikan diri dari kekerasan, melainkan memperburuk penderitaan keluarga yang terpisah dan mendorong narasi rasisme serta xenofobia yang merugikan komunitas imigran.

Di sisi lain, oposisi seperti Reform UK dan Konservatif menyambut baik arahnya, meskipun mengkritiknya sebagai “tipuan kecil” yang tidak cukup radikal. Mereka menyoroti kegagalan rencana Rwanda sebelumnya yang menghabiskan £700 juta tanpa hasil signifikan, dan menuntut keluar dari Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) untuk memblokir banding pengadilan. Pendukung reformasi berargumen bahwa model Denmark—yang menurunkan klaim suaka ke level terendah 40 tahun sambil tetap dalam ECHR—bukti bahwa kebijakan ketat bisa mengurangi “belanja suaka” di Eropa, di mana klaim Inggris naik sementara negara lain turun. Analis politik melihat ini sebagai upaya Labour untuk merebut agenda imigrasi dari sayap kanan, tetapi berisiko kehilangan basis progresif yang mungkin beralih ke Liberal Demokrat atau Partai Hijau.

Secara keseluruhan, reformasi ini mencerminkan dilema global: bagaimana menyeimbangkan kewajiban internasional dengan tekanan domestik. Dengan backlog kasus menurun 47% sejak puncaknya, pemerintah yakin implementasi cepat akan mengurangi penyeberangan perahu dan membangun konsensus publik. Namun, tantangan praktis seperti resistensi pengadilan dan koordinasi dengan Prancis tetap menjadi penghalang. Hingga akhir 2025, pengamat memperkirakan dampaknya akan terlihat dalam angka deportasi, yang kini naik 10% dibandingkan tahun lalu.

Antara Kontrol yang Diperlukan dan Kemanusiaan yang Terpinggirkan

Reformasi pengungsi Inggris di bawah Shabana Mahmood bukan sekadar penyesuaian administratif, melainkan respons strategis terhadap krisis identitas nasional yang dipicu oleh globalisasi dan populisme. Pada intinya, kebijakan ini mewakili pergeseran paradigma dari model “perlindungan abadi” pasca-Perang Dunia II menuju pendekatan kondisional yang menekankan integrasi dan pengembalian, mirip dengan Denmark yang berhasil menekan klaim suaka melalui “branding negatif” tanpa meninggalkan ECHR. Keberhasilan Denmark—dengan 95% deportasi penolak suaka—menjadi blueprint yang menjanjikan, terutama karena Inggris menghadapi tekanan serupa: arus migran dari Pakistan, Suriah, dan Afghanistan yang membebani sumber daya lokal, seperti hotel pengungsian yang memicu protes musim panas lalu.

Dari perspektif keamanan dan ekonomi, reformasi ini logis. Sistem lama, dengan dukungan otomatis yang lebih murah hati daripada warga miskin Inggris, menciptakan insentif “pull factor” yang membuat Inggris lebih menarik daripada tetangga Eropa. Perpanjangan 20 tahun untuk residensi permanen, dikombinasikan dengan penolakan dukungan bagi yang mampu bekerja, mendorong kontribusi ekonomi—seperti pembelajaran bahasa Inggris tingkat tinggi—dan mengurangi beban fiskal sebesar £872 juta yang diproyeksikan untuk tinjauan status. Kuota rute legal baru juga inovatif, memberdayakan komunitas melalui sponsor sukarela, yang bisa mengurangi ketergantungan pada penyelundupan dan membangun narasi inklusif. Dalam konteks politik, ini adalah manuver cerdas Buruh untuk menetralkan Reform UK, yang memimpin jajak pendapat dengan 38% dukungan pada isu imigrasi, dengan mengadopsi elemen kebijakan mereka tanpa sepenuhnya menyerah pada retorika ekstrem.

Namun, biaya kemanusiaannya tidak bisa diabaikan. Dengan membatasi banding menjadi satu kesempatan dan mengizinkan deportasi keluarga ke negara “aman” yang seringkali masih bergejolak, reformasi ini berisiko menciptakan kelas pengungsi “limbo” yang rentan terhadap eksploitasi dan kesehatan mental yang memburuk. Kritik dari dalam Labour—seperti kekhawatiran atas “kejam dan tidak manusiawi”—menyoroti kontradiksi: bagaimana sebuah partai yang dibangun atas warisan hak buruh dan anti-rasisme kini mengadopsi nada yang mirip sayap kanan, berpotensi memicu peningkatan kebencian rasial di komunitas. Organisasi seperti Migrant Democracy Project melihat ini sebagai pembagian “pengungsi baik vs buruk”, yang mengabaikan realitas trauma dan justru memperpanjang penderitaan, bukan menyelesaikannya. Selain itu, efektivitasnya diragukan: studi menunjukkan deteren seperti ini jarang menghentikan migran yang didorong oleh perang atau kemiskinan, malah mungkin mendorong rute lebih berbahaya.

Pada akhirnya, reformasi ini adalah taruhan berisiko bagi Labour: sukses bisa memulihkan kepercayaan publik dan menurunkan angka kedatangan, tapi kegagalan—akibat tantangan hukum ECHR atau pemberontakan internal—bisa mempercepat erosi basis pemilih progresif. Sebagai negara yang pernah menjadi mercusuar kemanusiaan, Inggris kini berada di persimpangan: apakah prioritas kontrol akan mengorbankan jiwa dari sistem yang adil, atau justru memperkuatnya melalui keseimbangan yang lebih ketat? Jawabannya akan terungkap dalam implementasi tahun depan, di mana angka deportasi dan sentimen sosial menjadi ukuran utama.

Post Comment