Elon Musk: Kemiskinan sebagai Masalah Rekayasa yang Dapat Diselesaikan dengan AI dan Robotik

Elon Musk: Kemiskinan sebagai Masalah Rekayasa yang Dapat Diselesaikan dengan AI dan Robotik

Elon Musk, sebagai figur sentral di balik perusahaan seperti Tesla, SpaceX, dan xAI, baru-baru ini kembali menegaskan pandangannya yang radikal tentang kemiskinan. Dalam konteks terkini, ia memandang kemiskinan bukan sebagai isu sosial-politik yang tak terpecahkan atau hasil dari ketidakadilan struktural semata, melainkan sebagai tantangan rekayasa (engineering problem) murni. Menurutnya, akar kemiskinan terletak pada kelangkaan sumber daya dan produktivitas manusia yang terbatas. Dengan kemajuan pesat di bidang kecerdasan buatan (AI) dan robotik humanoid—seperti proyek Optimus dari Tesla—masalah ini bisa diatasi secara fundamental, menciptakan era “abundance” atau kelimpahan berkelanjutan di mana barang dan jasa menjadi hampir gratis, pekerjaan manusia menjadi opsional, dan kemiskinan secara statistik menjadi tidak relevan.

Pandangan ini mencerminkan filsafat Musk yang konsisten: optimisme teknologi ekstrem (techno-optimism). Bagi Musk, sejarah manusia adalah cerita tentang penguasaan alam melalui inovasi rekayasa—dari revolusi industri hingga era digital. Kemiskinan, dalam kerangka ini, bukan takdir atau kutukan moral, tapi hambatan teknis yang bisa dihilangkan seperti kita menghilangkan kelaparan massal di negara maju melalui mekanisasi pertanian atau mengurangi mortalitas melalui vaksin dan antibiotik. Ia membayangkan robot humanoid yang bisa bekerja 24 jam tanpa lelah, belajar secara mandiri melalui AI, dan memproduksi segala sesuatu mulai dari makanan, rumah, hingga layanan medis dengan biaya marjinal mendekati nol. Hasilnya adalah ekonomi post-scarcity, di mana nilai uang sendiri bisa menjadi tidak relevan karena tidak ada lagi persaingan atas sumber daya dasar.

Secara implisit, argumen Musk berpijak pada prinsip eksponensial teknologi. Hukum Moore di bidang komputasi, dikombinasikan dengan kemajuan di deep learning dan robotik, akan menciptakan lompatan produktivitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Manusia saat ini terbatas oleh waktu biologis (hanya 8-10 jam kerja efektif per hari), kebutuhan istirahat, dan kesalahan. Robot dengan AI bisa menggantikan itu semua, memperbesar output global berkali-kali lipat. Ini bukan sekadar efisiensi, tapi transformasi ontologis: dari ekonomi berbasis kelangkaan (scarcity) ke kelimpahan (abundance). Dalam visi ini, universal basic income atau high income bukan lagi bantuan sosial, tapi konsekuensi alami dari surplus produksi yang tak terbatas.

Namun, pandangan ini juga membawa lapisan filosofis yang mendalam tentang makna hidup manusia. Musk sering menyentuh bahwa di dunia di mana kerja bukan lagi keharusan untuk bertahan hidup, manusia akan dihadapkan pada pertanyaan eksistensial: apa tujuan hidup jika bukan bekerja? Ia membandingkannya dengan hobi—seperti bermain video game atau olahraga—yang dilakukan untuk kepuasan pribadi, bukan kelangsungan hidup. Ini menggemakan pemikiran filsuf seperti Aristotle tentang eudaimonia (kehidupan yang baik) atau Nietzsche tentang übermensch yang menciptakan nilai sendiri di luar norma tradisional. Di sisi positif, ini bisa membebaskan umat manusia untuk mengejar seni, sains, eksplorasi ruang angkasa, atau hubungan interpersonal yang lebih dalam. Tapi di sisi gelap, ada risiko hilangnya struktur sosial yang selama ribuan tahun dibangun di atas kerja sebagai sumber identitas dan status.

Kritik terhadap visi ini tak kalah kuat dan patut dipertimbangkan secara mendalam. Pertama, dari perspektif ekonomi-politik: siapa yang mengendalikan robot dan AI tersebut? Jika teknologi ini dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa atau individu superkaya, kelimpahan bisa jadi hanya untuk yang berkuasa, memperlebar jurang ketidaksetaraan alih-alih menghapus kemiskinan. Distribusi surplus—apakah melalui pajak, regulasi, atau mekanisme lain—adalah masalah politik, bukan rekayasa murni. Sejarah menunjukkan bahwa inovasi besar seperti mesin uap atau komputer tidak otomatis mendistribusikan kekayaan secara merata; sering kali justru menciptakan monopoli baru.

Kedua, aspek transisi: jalan menuju abundance akan penuh “trauma dan disrupsi”. Jutaan pekerjaan hilang dalam waktu singkat bisa memicu pengangguran massal, ketidakstabilan sosial, bahkan konflik. Musk sendiri mengakui ini, tapi solusinya cenderung teknologi-sentris, kurang membahas intervensi sosial seperti pendidikan ulang massal atau jaring pengaman yang kuat.

Ketiga, batas fisika dan lingkungan: meski energi terbarukan bisa mendukung robot, sumber daya material (rare earth metals untuk baterai, misalnya) tetap terbatas. Kelimpahan tak terbatas bisa bertabrakan dengan batas planet, kecuali kita ekspansi ke luar angkasa—yang lagi-lagi sesuai visi Musk tentang multi-planetary species.

Keempat, risiko AI itu sendiri: jika AI begitu kuat hingga menghapus kemiskinan, ia juga bisa membawa ancaman eksistensial jika tidak aligned dengan nilai manusia. Musk, yang mendirikan xAI justru untuk mengatasi ini, sering menyebut probabilitas positif jauh lebih besar, tapi tetap ada ketegangan internal dalam narasinya.

Secara keseluruhan, pernyataan Musk ini bukan sekadar prediksi bisnis, tapi manifesto tentang masa depan peradaban. Ia menantang pandangan konvensional yang melihat kemiskinan sebagai isu hak asasi, korupsi, atau kolonialisme, dan memposisikannya sebagai bug dalam sistem produksi manusia yang bisa di-patch melalui rekayasa. Bagi pendukungnya, ini inspiratif dan memotivasi akselerasi teknologi. Bagi kritikus, ini naif, reduksionis, dan berpotensi berbahaya karena mengabaikan dimensi manusiawi. Yang pasti, dalam satu dekade mendatang—seperti yang Musk prediksi—kita akan melihat apakah visi ini menjadi kenyataan transformatif atau hanya utopia teknokratis yang gagal mempertimbangkan kompleksitas sosial manusia.

Sumber: Business Inseder, Fox Business, Times of India, X

AI: Grok

Post Comment