Erupsi Gunung Semeru: Status Level IV (Awas) dan Dampaknya terhadap Masy, Warga, serta Lingkungan
Gunung Semeru, gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian sekitar 3.676 meter di atas permukaan laut, kembali menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanik yang sangat signifikan pada 19 November 2025 sore hari. Aktivitas ini dimulai dengan guguran lava dan awan panas yang meluncur jauh, memicu kenaikan status secara bertahap dan cepat dari level sebelumnya hingga mencapai tingkat tertinggi, yaitu Level IV atau Awas, hanya dalam waktu singkat. Peningkatan ini mencerminkan potensi bahaya yang semakin tinggi, terutama berupa luncuran awan panas guguran (APG) yang dapat mencapai jarak puluhan kilometer, serta risiko lahar dingin yang mengancam lembah-lembah sungai di lereng gunung.
Proses erupsi bermula sekitar pukul 14.00-an WIB, ketika instrumen pemantauan mencatat getaran seismik yang kuat disertai luncuran material panas ke arah tenggara dan selatan. Awan panas yang meluncur mengikuti alur sungai utama, terutama Besuk Kobokan, Besuk Bang, Besuk Kembar, dan Besuk Sat, mencapai jarak antara 7 hingga 14 kilometer dari puncak kawah, bahkan sempat melintasi titik-titik kritis seperti Jembatan Gladak Perak yang menghubungkan wilayah Pronojiwo dan Candipuro. Kolom abu vulkanik menyembur tinggi hingga ribuan meter, menyebar ke arah utara dan barat laut tergantung hembusan angin, sehingga mempengaruhi kualitas udara di sejumlah desa sekitar. Meskipun erupsi utama dilaporkan mereda sekitar pukul 18.00-an WIB, aktivitas internal gunung tetap fluktuatif, dengan kemungkinan guguran lava pijar dan awan panas susulan yang masih mengintai.
Zona bahaya yang direkomendasikan pun diperluas secara drastis: radius 8 kilometer dari puncak kawah dikosongkan total dari segala aktivitas manusia karena rawan lontaran batu pijar dan ekspansi awan panas mendadak. Khusus di sektor selatan-tenggara, jarak aman ditetapkan hingga 20 kilometer dari puncak, mengingat alur Besuk Kobokan menjadi jalur favorit luncuran material vulkanik. Di luar itu, masyarakat dilarang mendekati tepi sungai dalam radius 500 meter karena potensi perluasan aliran lahar, terutama saat hujan deras yang dapat mencampur abu dan material vulkanik menjadi banjir bandang berbahaya. Semua ini membuat aktivitas ekonomi dan sosial di wilayah terdampak, seperti pertambangan pasir dan pertanian di lereng, terhenti sepenuhnya untuk sementara waktu.
Dampak langsung terhadap masyarakat cukup masif. Ratusan hingga hampir seribu warga dari desa-desa rawan seperti Supiturang, Oro-Oro Ombo, Penanggal, dan Pronojiwo terpaksa meninggalkan rumah mereka dalam waktu singkat. Evakuasi dilakukan secara mandiri maupun dibantu tim gabungan dari BPBD, BNPB, TNI, Polri, dan relawan, dengan pengungsi dialihkan ke balai desa, sekolah, atau posko darurat yang disiapkan. Pemerintah Kabupaten Lumajang segera menetapkan status tanggap darurat selama seminggu penuh untuk mempercepat koordinasi bantuan logistik, kesehatan, dan pemantauan. Akses jalan utama seperti jembatan penghubung antar-kecamatan ditutup total, sementara pendakian ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dilarang keras, termasuk bagi wisatawan yang mungkin masih berada di area seperti Ranu Kumbolo.
Secara lebih luas, erupsi ini mengingatkan pada pola aktivitas Semeru yang memang sangat aktif sejak puluhan tahun terakhir. Gunung ini dikenal dengan letusan strombolian yang hampir rutin, menghasilkan kubah lava yang tidak stabil dan sering runtuh menjadi awan panas. Faktor penyebab peningkatan kali ini diduga terkait tekanan magma di kedalaman dangkal yang terus meningkat sejak beberapa minggu sebelumnya, ditambah pengaruh musim hujan yang mulai intens sehingga memperbesar risiko lahar. Meski belum ada laporan korban jiwa hingga saat ini berkat respons cepat, ancaman kesehatan dari abu vulkanik—seperti gangguan pernapasan—menjadi perhatian tambahan, terutama bagi anak-anak dan lansia.
Hingga pagi hari ini (20 November 2025), kondisi visual gunung relatif lebih tenang dengan kabut yang menutupi puncak dan angin lemah, tetapi status Awas tetap dipertahankan karena potensi erupsi susulan masih tinggi. Pemantauan terus dilakukan secara intensif melalui seismograf, kamera CCTV, dan tim lapangan untuk mendeteksi tanda-tanda awal bahaya baru. Situasi ini menekankan pentingnya kesiapsiagaan masyarakat di Ring of Fire Indonesia, di mana gunung seperti Semeru tidak hanya menjadi ancaman tetapi juga bagian dari ekosistem yang membentuk kesuburan tanah di sekitarnya. Bagi warga terdampak, fase pemulihan akan memakan waktu, termasuk pembersihan material vulkanik dan rehabilitasi infrastruktur, sambil tetap waspada terhadap siklus alam yang tak terprediksi sepenuhnya.
Sumber: CNBC, Detik, Kompas, Viva
AI: Grok



Post Comment