Mengapa Inggris (dan Barat Maju Lainnya) Semakin Anti-Work, Sementara Indonesia dan Negara Berkembang Tetap Menganggap Pekerjaan sebagai Inti Kehidupan
Perbedaan sikap terhadap kerja antara masyarakat Inggris (serta Eropa Barat dan Amerika Utara secara umum) dengan masyarakat Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya bukan sekadar selera pribadi, melainkan cerminan dari tahap perkembangan ekonomi, struktur sosial, dan narasi budaya yang sangat berbeda. Fenomena ini bisa dijelaskan melalui empat lapisan utama: kepastian ekonomi, evolusi nilai pasca-kemakmuran, warisan budaya-kolektif, serta makna eksistensial dari kerja itu sendiri.
1. Kepastian Ekonomi dan Jaring Pengaman Sosial
Di Inggris, sistem welfare state yang matang—meskipun terus dikritik dan dipangkas—tetap memberikan lantai dasar yang relatif aman: tunjangan pengangguran (Universal Credit), layanan kesehatan gratis (NHS), perumahan sosial, dan pensiun negara. Seseorang bisa memilih tidak bekerja penuh waktu tanpa langsung jatuh ke jurang kemiskinan absolut atau kelaparan. Di Indonesia, Malaysia, Vietnam, atau Filipina, absennya jaring pengaman yang serupa membuat pekerjaan bukan pilihan, melainkan keharusan biologis. Tanpa gaji, tagihan listrik, sekolah anak, dan makan sehari-hari langsung terancam. Di sini kerja bukan ideologi, tapi mekanisme bertahan hidup.
2. Post-Materialism dan Hierarki Kebutuhan Maslow yang Sudah Terpenuhi
Setelah beberapa dekade kemakmuran pasca-Perang Dunia II, masyarakat Barat kini berada di puncak piramida Maslow: kebutuhan fisiologis dan keamanan sudah terpenuhi secara massal. Yang tersisa adalah kebutuhan akan makna, otonomi, dan self-actualization. Banyak anak muda Inggris melihat pekerjaan korporat 9-to-5 sebagai penghalang bagi hal-hal yang mereka anggap lebih bermakna: kreativitas, hubungan sosial, kesehatan mental, traveling, atau sekadar “hidup”. Gerakan “quiet quitting”, “lying flat”, hingga “anti-work” di Reddit adalah ekspresi dari masyarakat yang sudah kenyang secara material, sehingga berani menuntut keseimbangan hidup. Sebaliknya, di Indonesia dan negara berkembang, mayoritas penduduk masih berada di lapis bawah piramida Maslow: makanan, tempat tinggal, pendidikan anak. Ketika perut masih sering lapar, konsep “work-life balance” terasa seperti kemewahan kelas menengah atas di Jakarta atau Surabaya, bukan realitas buruh pabrik di Tangerang atau petani di Jawa Tengah.
3. Individualisme vs Kolektivisme Budaya
Budaya Inggris (dan Barat secara umum) sangat individualistis: kesuksesan dan kebahagiaan diukur dari kepuasan pribadi. Jika pekerjaan membuat stres dan tidak memberi makna, maka meninggalkannya adalah tindakan rasional dan bahkan heroik dalam narasi modern. Di Indonesia, budaya kolektivis yang kuat—dipengaruhi nilai kekeluargaan, gotong royong, dan agama—membuat pekerjaan bukan hanya tentang diri sendiri, tapi tentang martabat keluarga, status sosial, dan kewajiban moral. Banyak orang Indonesia tetap bekerja keras meskipun gaji kecil karena “malu sama tetangga”, “biar anak bisa sekolah”, atau “supaya orang tua tidak susah”. Kerja keras adalah bukti cinta dan tanggung jawab, bukan sekadar kontrak ekonomi.
4. Narasi Historis dan Identitas Kelas Pekerja
Inggris memiliki sejarah panjang gerakan buruh yang berhasil memperpendek jam kerja (dari 16 jam menjadi 8 jam sehari), cuti berbayar, dan akhir pekan. Kini, generasi muda melihat kerja keras ekstrem sebagai bentuk eksploitasi yang sudah tidak perlu lagi. Sebaliknya, di Indonesia dan banyak negara berkembang, industrialisasi masih relatif baru (baru 2-3 generasi). Kerja keras masih dilihat sebagai jalan keluar dari kemiskinan generasional—orang tua yang dulu petani miskin kini bangga anaknya jadi karyawan kantor meskipun gajinya pas-pasan. Narasi “sukses karena kerja keras” masih sangat kuat dan emosional, karena masih terbukti secara nyata di lapangan.
5. Dampak Teknologi dan Ekspektasi Generasional
Di Inggris, otomatisasi dan AI mulai mengancam pekerjaan kelas menengah, sementara biaya hidup (terutama perumahan di London dan Tenggara) melonjak. Banyak yang menyadari bahwa “bekerja keras seumur hidup” tidak lagi menjamin rumah sendiri atau pensiun nyaman. Hal ini mempercepat sikap sinis terhadap budaya hustle. Di Indonesia, teknologi justru membuka peluang baru: driver ojek online, content creator, UMKM di e-commerce. Bagi banyak anak muda di luar Jawa, memiliki pekerjaan tetap—meskipun capek—masih terasa seperti privilege dibandingkan menganggur di desa.
Bukan Kemalasan vs Ketekunan, Tapi Tahap Peradaban yang Berbeda
Orang Inggris yang memilih kerja 4 hari seminggu, resign demi kesehatan mental, atau hidup minimalis bukan karena “malas”, melainkan karena mereka sudah berada di fase di mana kerja bukan lagi satu-satunya sumber makna hidup. Sebaliknya, orang Indonesia dan negara berkembang yang tetap memuja kerja keras bukan karena “bodoh” atau “budak kapitalisme”, melainkan karena bagi mereka kerja masih menjadi alat paling efektif untuk keluar dari kemiskinan, menjaga martabat keluarga, dan membangun masa depan anak-cucu.
Pada akhirnya, ketika negara-negara berkembang semakin makmur—seperti yang terjadi pada Korea Selatan atau China generasi sekarang—sikap terhadap kerja juga akan bergeser. Kita mungkin akan melihat fenomena “tangping” (lying flat) atau “quiet quitting” versi Indonesia 20-30 tahun lagi, ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi dan generasi baru mulai bertanya: “Kalau bukan untuk makan, untuk apa aku capek-capek setiap hari?” Saat itu, perdebatan ini akan terasa nostalgia, seperti kita sekarang melihat foto orang tua yang dulu bangga bekerja 12 jam sehari demi anaknya bisa sekolah.
AI: Grok



Post Comment