Global Citizenship of Indonesia (GCI): Terobosan Imigrasi yang Menjembatani Diaspora dengan Tanah Air
Di era globalisasi di mana perbatasan negara semakin kabur, jutaan orang keturunan Indonesia tersebar di seluruh dunia—dari Belanda yang menyimpan jejak kolonial, hingga Australia yang menjadi rumah bagi gelombang migran pasca-reformasi. Banyak di antara mereka merindukan ikatan emosional dengan tanah leluhur, tapi terbentur tembok kewarganegaraan tunggal yang ketat di Indonesia. Bayangkan seorang cucu mantan TKI di Timur Tengah yang ingin mewariskan cerita nenek moyangnya kepada anak cucunya, atau pasangan campuran yang ingin membesarkan keluarga di Bali tanpa khawatir visa kedaluwarsa. Inilah realitas yang selama ini membuat banyak diaspora merasa terpisah, meski hati mereka tetap merah putih.
Global Citizenship of Indonesia (GCI) adalah kabijakan yang baru saja diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi) di bawah Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) pada 19 November 2025. Diumumkan secara resmi oleh Menteri Agus Andrianto saat Tasyakuran Hari Bakti Imigrasi dan Pemasyarakatan ke-1 di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, Jakarta, GCI bukan sekadar visa baru—ia adalah jembatan hukum yang cerdas, menjawab tuntutan kewarganegaraan ganda tanpa mengubah fondasi konstitusi Indonesia. Kebijakan ini, yang terinspirasi dari Overseas Citizenship of India (OCI), menawarkan izin tinggal tetap tanpa batas waktu bagi warga negara asing (WNA) yang punya “ikatan kuat” dengan Indonesia. Bukan kewarganegaraan kedua, tapi hak residensi abadi yang memungkinkan mereka datang dan pergi sesuka hati, sambil tetap setia pada paspor asal.
GCI lahir dari pemahaman mendalam bahwa Indonesia bukan lagi negara statis. Dengan lebih dari 6 juta diaspora di luar negeri—sebagian besar di Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika—potensi remittance, investasi, dan transfer pengetahuan sangat besar. Tahun lalu saja, remitansi diaspora mencapai Rp 257 triliun, setara 1,3% PDB nasional. Namun, tanpa kebijakan seperti GCI, banyak dari mereka terjebak dalam limbo visa: KITAS (Izin Tinggal Terbatas) yang ribet diperpanjang, atau KITAP (Izin Tinggal Tetap) yang terbatas 5 tahun. GCI mengubah itu semua menjadi “rumah kedua” yang legal, aman, dan tanpa akhir.
Apa Sebenarnya GCI? Lebih dari Sekadar Visa, Ini Hak untuk Kembali Pulang
Pada intinya, GCI adalah bentuk residensi permanen tak terbatas yang terintegrasi: mulai dari penerbitan visa tinggal terbatas, konversi ke izin tinggal tetap, perpanjangan tak terbatas, hingga izin re-entry berkali-kali tanpa batas. Pemohon tidak perlu melepaskan kewarganegaraan asal mereka—Indonesia tetap teguh pada prinsip single citizenship sesuai Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Ini berarti GCI holder tidak mendapat paspor Indonesia, hak pilih, atau jabatan publik strategis, tapi mereka bisa tinggal, bekerja, belajar, dan berinvestasi di Indonesia seumur hidup.
Prosesnya dirancang user-friendly, sepenuhnya daring melalui portal evisa.imigrasi.go.id—platform yang sudah terbukti efisien untuk e-visa turis dan bisnis. Mulai dari pendaftaran, upload dokumen (seperti akta kelahiran, surat keterangan ikatan darah, atau bukti pernikahan), verifikasi biometrik, hingga persetujuan, semuanya digital. Estimasi waktu proses? Kurang dari 30 hari untuk kasus sederhana, dengan biaya administrasi yang kompetitif (sekitar Rp 2-5 juta, tergantung kategori, meski detail final masih disempurnakan). Ini kontras tajam dengan birokrasi lama yang sering memakan waktu berbulan-bulan dan bolak-balik kantor imigrasi.
Yang membuat GCI istimewa adalah fleksibilitasnya. Holder bisa membeli properti, membuka usaha, mengakses layanan kesehatan dan pendidikan seperti warga lokal (dengan penyesuaian), bahkan berpartisipasi dalam program diaspora seperti Bakat Nusantara untuk transfer skill. Bayangkan: seorang insinyur keturunan Indonesia di Silicon Valley bisa pulang, mendirikan startup di Jakarta, dan tetap terhubung dengan keluarga tanpa drama visa.
Siapa yang Berhak? Ikatan Darah dan Hati yang Menentukan
Tidak sembarang WNA bisa apply—GCI dirancang eksklusif untuk mereka yang punya “hubungan kuat” dengan Indonesia, baik biologis, historis, maupun emosional. Kategori utamanya meliputi:
| Kategori Pemohon | Deskripsi Singkat | Contoh Kasus |
| Warga Negara Mantan Indonesia | Eks-WNI yang telah berganti kewarganegaraan, tapi ingin kembali. | Seorang eks-TKI di Korea yang naturalisasi, kini pensiun dan ingin pensiun di kampung halaman. |
| Keturunan Mantan WNI (Hingga Generasi Kedua) | Anak atau cucu eks-WNI, termasuk dari pernikahan campuran legal. | Cucu perempuan Belanda-Indonesia yang lahir di Amsterdam, ingin belajar di UI sambil riset akar budaya. |
| Anak dari Pernikahan Campuran Legal | Anak di bawah umur dari pasangan WNI-WNA. | Anak dari pernikahan Singapura-Indonesia yang lahir di luar negeri, untuk akses sekolah internasional di Jakarta. |
Tapi ada pengecualian ketat untuk jaga keamanan nasional: Tidak berlaku bagi WNA dari wilayah bekas Indonesia (seperti Timor Leste), yang terlibat separatisme, atau punya latar belakang militer/intelijen asing. Ini menunjukkan keseimbangan antara keterbukaan dan kedaulatan—Indonesia terbuka tapi waspada terhadap risiko.
Inspirasi Global: Belajar dari India
GCI adalah adaptasi cerdas dari model sukses dunia. Yang paling mirip adalah OCI India, diluncurkan 2005, yang memberi residensi seumur hidup bagi diaspora India (sekitar 18 juta orang). OCI holder bisa tinggal, bekerja, dan belajar di India tanpa visa, tapi tidak diperbolehkan untuk vote atau miliki tanah pertanian—mirip GCI. Hasilnya? Remitansi India melonjak 20% pasca-OCI, dan investasi diaspora capai US$ 100 miliar per tahun.
Negara lain punya varian: Person of Indian Origin (PIO) di India (digabung ke OCI), atau Permanent Residency untuk diaspora di Portugal (Golden Visa). Bahkan AS punya EB-5 untuk investor imigran. Di Indonesia, ini selaras dengan RUU Kewarganegaraan yang sedang dibahas DPR, yang mungkin buka celah kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak diaspora.
Dampak Ekonomi dan Sosial: Dari Remitansi ke Identitas Budaya
Secara ekonomi, GCI berpotensi jadi booster. Diaspora Indonesia, mayoritas di Malaysia (2 juta), Arab Saudi (1,5 juta), dan Belanda (500 ribu), bisa jadi sumber FDI (Foreign Direct Investment). Bayangkan: Mereka investasi di pariwisata Bali atau tech hub Bandung, ciptakan ribuan lapangan kerja. Sosialnya? GCI perkuat identitas nasional—bukan dengan paksaan, tapi undangan pulang. Anak diaspora bisa belajar bahasa Indonesia di sekolah lokal, ikut upacara 17 Agustus, atau bantu pelestarian budaya di kampung halaman. Ini juga menjawab isu “brain drain”: Banyak profesional keturunan Indonesia pulang, kemudian membawa skill dari luar.
Tapi tantangannya nyata. Bagaimana verifikasi “ikatan kuat” tanpa nepotisme? Apakah infrastruktur digital evisa siap tangani lonjakan aplikasi? Dan bagaimana integrasi holder GCI ke masyarakat, agar tak jadi “tamu abadi” yang terisolasi? Pemerintah janji monitoring ketat, termasuk audit tahunan dan kolaborasi dengan KBRI di luar negeri untuk sosialisasi.
Menuju Masa Depan: GCI sebagai Langkah Awal Reformasi Imigrasi
Peluncuran GCI di 2025 ini bukan akhir, tapi awal. Seperti kata Menteri Agus, “Imigrasi Indonesia bukan statis, tapi transformasional—menjawab tantangan global sambil jaga kedaulatan.”
Dengan dukungan digital dan kolaborasi internasional, kebijakan ini bisa jadi model bagi negara berkembang lain. Bagi diaspora, GCI adalah panggilan pulang: Bukan sebagai orang asing, tapi sebagai bagian dari keluarga besar Indonesia.
AI: Grok


Post Comment