Mengapa Indonesia Butuh Sistem Juri: Pelajaran dari Kasus Korupsi yang Terlalu Mudah Dijadikan Pidana
Bayangkan Anda seorang direktur BUMN yang ditugaskan memperbaiki perusahaan pelat merah yang setiap tahu laporannya merugi. Anda mengambil keputusan berani, mungkin agak melanggar prosedur birokrasi yang kaku, demi menyelamatkan ribuan karyawan dan pelayanan publik. Tiba-tiba, Anda ditangkap oleh KPK, karena dituduh korupsi, lalu dijebloskan ke penjara bertahun-tahun meski tidak ada kerugian negara dan perusahaan justru untung besar. Itulah yang baru saja terjadi lagi pada Direktur Utama ASDP Indonesia Ferry (perseroan terbatas), Ira Puspadewi, yang divonis penjara karena kasus pengadaan kapal yang dianggap merugikan negara. Kasus-kasus semacam ini menjadi “kriminalisasi” yang membuat orang takut mengambil keputusan. Di sinilah kita sampai pada pertanyaan besar: apakah sistem peradilan pidana kita saat ini benar-benar mencerminkan rasa keadilan masyarakat?
Hakim Profesional vs Rasa Keadilan Rakyat
Seluruh perkara pidana di Indonesia, termasuk korupsi, diputus oleh hakim karier yang duduk sendirian atau bertiga. Mereka memang ahli hukum, tapi sering kali terlalu jauh dari realitas kehidupan sehari-hari masyarakat biasa. Akibatnya, putusan-putusan yang secara teknis benar menurut undang-undang bisa jadi terasa sangat tidak adil di mata Masyarakat umum.
Apa Itu Sistem Juri dan Mengapa Kita Butuh?
Sistem juri (jury system) bukan barang asing. Hampir di semua negara common law (Inggris, Amerika, Australia, bahkan India dan Singapura dalam bentuk tertentu) menggunakannya untuk kasus-kasus pidana berat. Intinya sederhana: 12 warga biasa yang dipilih secara acak, mendengarkan persidangan, lalu memutuskan bersalah atau tidak bersalah. Hakim tetap ada, tapi hanya mengatur jalannya sidang dan menjatuhkan vonis jika terbukti bersalah.
Keunggulan utamanya:
- Membawa rasa keadilan masyarakat ke dalam ruang sidang
Juri tidak terpaku pada pasal semata. Mereka menilai dari sudut pandang orang awam: “Apakah perbuatan ini benar-benar layak dipidana?” Hal ini dapat mencegah kriminalisasi berlebihan. - Mengurangi tekanan politik terhadap hakim
Hakim karier di Indonesia sering menghadapi tekanan luar biasa, baik dari kekuatan politik, media, maupun opini publik yang gaduh. Juri yang hanya bertugas satu kali di dalam persidangan jauh lebih sulit untuk “ditekan” atau “diintervensi”. - Meningkatkan partisipasi dan kepercayaan masyarakat
Ketika rakyat merasa ikut serta dalam menentukan putusan pengadilan, maka kepercayaan terhadap sistem peradilan menjadi naik drastis. Di negara-negara dengan sistem juri tingkat kepuasan publik terhadap putusan pidana jauh lebih tinggi daripada negara dengan sitem civil law tanpa juri.
Bisa Tidak Sistem Juri Diterapkan di Indonesia?
Banyak yang bilang “Indonesia belum siap”. Alasannya sangat klasik: karena tingkat pendidikan rendah, mudah dipengaruhi, rawan suap, dan sebagainya. Tapi alasan itu sebenarnya sudah usang. Mari kita lihat perbandingannya di berbagai negara:
- India, negara dengan tingkat melek huruf lebih rendah dari Indonesia, tetap memakai juri selama puluhan tahun (meski sekarang mulai dikurangi).
- Malaysia dan Singapura pernah memakainya.
- Jepang memperkenalkan sistem saiban-in (semacam juri campuran) sejak 2009 dan berjalan sangat baik; tingkat keyakinan bersalah turun dari 99,9% menjadi sekitar 95%, artinya banyak terdakwa yang seharusnya tidak dipidana akhirnya dibebaskan.
Kita tidak perlu langsung meniru Amerika dengan 12 juri penuh. Kita bisa memulainya dengan model campuran seperti Jepang: 3 hakim profesional + 6 warga biasa, dengan voting mayoritas. Atau mulai dari kasus-kasus tertentu saja: korupsi pejabat publik, malpraktik pejabat, atau kasus-kasus yang berpotensi jadi kriminalisasi kebijakan.
Bayangkan Jika Kasus ASDP Diputus Juri
Kalau kasus Direktur ASDP diputus oleh 9 orang warga biasa (misalnya 3 pedagang, 2 guru, 1 sopir angkot, 1 ibu rumah tangga, 1 pensiunan, 1 mahasiswa), kemungkinan besar hasilnya akan berbeda. Mereka akan mempertanyakan hal-hal yang tidak selalu muncul di benak hakim karier, misalnya:
“Perusahaan untung ratusan miliar, kapal baru beroperasi lancar, tidak ada yang dirugikan, kok bisa dipenjara 4,5 tahun?”
“Apakah kita ingin direktur BUMN berikutnya menjadi takut dalam pengambilan keputusan yang bersifat cepat untuk kepentingan rakyat?”
Juri tidak akan dengan mudah menjawab “bersalah” hanya karena jaksa penuntut bilang ada “kerugian negara”. Mereka akan melihat konteks, niat, dan dampak nyata.
Menuju Peradilan yang Lebih Manusiawi
Pembaharuan KUHP yang baru saja disahkan memang langkah maju, tetapi masih sangat prosedural dan teknis. Yang kita butuhkan sekarang adalah pembaharuan yang lebih berani: membawa suara rakyat langsung ke dalam ruang sidang.
Sistem juri bukan obat mujarab, tapi setidaknya ia adalah rem darurat terhadap kecenderungan negara yang terlalu gampang mengkriminalisasi warganya. Ia adalah pengingat bahwa hukum pidana bukan hanya milik jaksa dan hakim, tapi juga milik kita semua.
Kalau kita terus membiarkan pejabat dan pengambil kebijakan terbaik dipenjara hanya karena “salah prosedur” sementara koruptor kakap masih berkeliaran, maka jangan salahkan kalau suatu saat tidak ada lagi yang mau mengabdi pada negara ini.
Sudah waktunya kita berani bereksperimen dengan sistem juri, setidaknya pada kasus-kasus strategis.
Perbandingan dan Perkembangan Terkini di Eropa Kontinental: Dari Resistensi ke Reformasi yang Lebih Inklusif
Di Eropa Kontinental yang berbasis civil law dengan hakim profesional sebagai tulang punggungnya, kritik serupa pernah bergaung kencang. Tapi justru dari sana, kita dapat melihat sebuah evolusi yang menarik: negara-negara seperti Prancis, Belgia, dan Spanyol mulai mengadopsi varian sistem juri sejak era Revolusi Prancis (akhir abad 18), di mana juri dipandang sebagai cara membawa “suara rakyat” ke pengadilan untuk melawan otoritarianisme monarki.
Sejak saat itu, sistem juri ini berevolusi menjadi model campuran (mixed court), di mana warga biasa duduk bersama hakim profesional, bukan lagi juri murni seperti di common law.
Eropa Kontinental dulu skeptis terhadap juri penuh ala Inggris—mereka khawatir warga awam kurang kompeten soal hukum rumit. Tapi tekanan dari hak asasi manusia, terutama Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (ECHR), mendorong perubahan. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) sering menekan negara anggota agar putusan lebih transparan dan akuntabel, termasuk dengan melibatkan masyarakat.
Beberapa perkembangan yang penting:
- Prancis: Sejak tahun 1941, Cour d’Assises (pengadilan tinggi untuk kejahatan berat) sudah menggunakan mixed jury, yaitu: 9 warga biasa plus 3 hakim profesional. Tapi reformasi pada tahun 2016 menjadi tonggak besar—sekarang, kejahatan serius bisa “direklasifikasi” menjadi kasus ringan yang ditangani pengadilan biasa dengan campuran 3 hakim dan 6 warga, sehingga mengurangi beban juri tetapi tetap melibatkan masyarakat. Hal ini lahir dari kritik bahwa juri penuh terlalu mahal dan panjang, tapi tetap mempertahankan esensi partisipasi rakyat untuk rasa keadilan yang lebih manusiawi.
Hasilnya? Tingkat kepercayaan publik naik, karena warga merasa punya andil dalam memperoleh akses keadilan.
- Belgia: Mirip Prancis, Cour d’Assises menggunakan 12 juri plus 3 hakim untuk kasus berat seperti pembunuhan atau genosida. Perkembangan baru: sejak 2010-an, mereka wajib memberikan “alasan putusan” (reasoned verdict) agar sesuai standar ECHR—sebelumnya, juri hanya menyebutkan “bersalah” tanpa penjelasan, tetapi sekarang juri harus memberikan alasan yang menjelaskan mengapa bersalah. Ini merupakan jawaban atas kasus Taxquet v. Belgium (2010) di ECtHR, yang banyak dikritik karena kurangnya transparansi.
Dampaknya? Putusan lebih adil, dan partisipasi warga naik karena mereka merasa suaranya dihargai secara intelektual.
- Spanyol: Diadopsi 1995 untuk pengadilan tinggi, dengan 9 juri yang memutuskan fakta, sementara hakim mengurus hukum. Reformasi pasca-ECHR mendorong juri memberikan alasan singkat, hal ini mirip Belgia. Ini merupakan bagian dari tren Eropa yang lebih luas: dari 1990-an, Spanyol dan Rusia (meski Rusia campur aduk) mengadopsi sistem juri untuk mengurangi bias hakim dan meningkatkan legitimasi.
Negara
lainnya: Austria dan Jerman menggunakan lay judges (penasihat warga) di mixed court untuk kasus serius; Rusia memperkenalkan ulang juri 1993 dan memperluasnya di tahun 2009.
Bahkan di era digital, seperti di Hungaria, ada percobaan virtual trial dengan elemen lay participation untuk efisiensi pasca-pandemi.
Di sini kita dapat melihat bahwa Eropa Kontinental tidak lagi menolak sistem juri mentah-mentah. Mereka mengadaptasinya sehingga menjadi sistem yang hybrid: warga memutuskan fakta dan rasa keadilan, hakim mengurus urusan teknis. Hasilnya? Penurunan kasus “over-criminalization”, partisipasi masyarakat naik 20-30% di negara reformis, dan kepercayaan publik terhadap pengadilan meningkat tajam. Hal ini membuktikan bahwa civil law bisa berevolusi tanpa kehilangan akarnya.
Apa Itu Sistem Juri dan Mengapa Kita Butuh? Inspirasi dari Eropa
Inti dari sistem juri adalah: warga biasa (yang dipilih acak atau sukarela) ikut memutuskan bersalah atau tidak, membantu membawa rasa keadilan di masyarakat melalui sidang. Di Eropa, ini bukanlah merupakan impor yang kaku, tetapi adaptasi: mixed court mengurangi risiko bias warga sambil mempertahankan esensi demokrasi di dalam peradilan.
Keunggulan sistem juri, terbukti di Eropa:
- Rasa Keadilan yang Lebih Dekat dengan Rakyat
Juri menilai konteks, bukan cuma pasal. Di Prancis, ini mencegah pidana berlebihan pada kasus “kebijakan darurat”. - Megurangi Tekanan Politik
Warga yang menjadi juri sulit untuk “ditekan”, seperti yang terjadi di Belgia pasca-reformasi. - Partisipasi dan Kepercayaan Naik
Di Spanyol, tingkat sukarela lay judges tinggi karena merasa berarti.
Bisa Tidak Diterapkan di Indonesia? Belajar dari Pengalaman Eropa
Alasan “Indonesia belum siap” sudah usang—karena ternyata Eropa dulu juga berpendapat begitu, tetapi reformasi ECHR membuktikan sebaliknya. Kita bisa mulai dengan sistem hybrid ala Prancis, yaitu: 3 hakim + 6 warga untuk kasus korupsi atau pidana yang dilakukan oleh pejabat. Bisa dimulai sebagai pilot di pengadilan tinggi, seperti Cour d’Assises.
Rusia memperluas juri pada tahun 2009 meski ada tantangan ekonomi; kita bisa meniru dengan training sederhana untuk warga.
Bayangkan Jika Kasus ASDP Diputus Melalui Sistem Juri ala Eropa
Di dalam mixed court seperti Belgia, 9 warga (pedagang, guru, sopir) plus 3 hakim akan mempertanyakan:
“Untung ratusan miliar, kapal lancar, tidak ada kerugian negara, apakah layak dipenjara 4,5 tahun?” Kemungkinan besar, putusan lebih ringan atau bebas, dengan alasan tertulis untuk transparansi.
Menuju Peradilan yang Lebih Manusiawi: Saatnya Reformasi
KUHP baru kita telah ada, akan tetapi masih membutuh tambahan, yaitu: hybrid juri untuk kasus strategis. Melalui berbagai pengalaman yang terjadi di Eropa, hal ini bukanlah sebuah mimpi—tetapi ini realitas yang dapat meningkatkan partisipasi Masyarakat dan dapat mencegah kriminalisasi.
Perbandingan Bayaran untuk Para Juri di Berbagai Negara: Antara Kewajiban Sipil dan Kompensasi Minimal
Sistem juri, baik dalam bentuk juri murni (seperti di negara common law) maupun mixed court dengan lay judges (seperti di Eropa Kontinental), sering kali menempatkan beban finansial pada warga yang terpanggil. Bayaran untuk juri biasanya bersifat simbolis—bukan upah penuh—karena dianggap sebagai kewajiban sipil. Namun, variasi besaran bayarannya berbeda antar negara, yaitu dari nol rupiah (hanya reimbursement) hingga kompensasi harian yang lebih layak, plus dukungan dari pemberi kerja. Berikut perbandingan berdasarkan data terkini dari berbagai sumber, difokuskan pada negara-negara dengan sistem juri yang relevan. Misalnya kita lihat negara common law (AS, UK, Australia, Kanada, India) dan Eropa Kontinental (Prancis, Jerman, Belgia) untuk kontras yang jelas.
| Negara | Tipe Sistem Juri | Bayaran Harian (Kira-kira dalam USD, 2025) | Detail Tambahan |
| Amerika Serikat | Juri murni untuk pidana & perdata (federal/state) | $5–$60/hari (rata-rata $15–$50; federal $50/hari, naik ke $60 setelah 10 hari) | Varian per negara bagian; reimbursement transportasi & parkir. Beberapa negara bagian (misalnya California) tidak wajib bayar dari pemberi kerja, tapi banyak perusahaan bayar gaji penuh. Tidak cukup untuk biaya hidup, sering dianggap “token pay”. |
| Inggris Raya (UK) | Juri murni untuk kasus serius | £64.95–£139/hari (sekitar $85–$180; £64.95 untuk hari pertama, naik untuk hari berikutnya) | Kompensasi dari pengadilan; pemberi kerja tidak wajib bayar, tapi harus beri cuti. Bisa klaim hardship untuk tambahan jika kehilangan pendapatan. Lebih tinggi daripada AS, tapi masih di bawah upah minimum untuk pekerjaan paruh waktu. |
| Australia | Juri murni untuk pidana serius | AUD 30–120/hari (sekitar $20–$80; varian per negara bagian) | Pengadilan bayar dasar; pemberi kerja wajib “make-up pay” (gaji normal dikurangi bayaran pengadilan) untuk 10 hari pertama (lebih lama di Victoria, Queensland, WA). Reimbursement transportasi. Dirancang untuk kurangi beban finansial. |
| Kanada | Juri murni untuk pidana serius | CAD 20–100/hari (sekitar $15–$75; varian per provinsi, misalnya Ontario CAD 100 setelah hari pertama) | Pengadilan bayar; cuti tidak dibayar secara federal, tapi provinsi seperti Ontario memberi allowance tetap. Pemberi kerja tidak wajib bayar, tapi melindungi pekerjaan. Rendah untuk kota besar, sering dikritik karena “tidak cukup”. |
| India | Juri murni (jarang digunakan sejak 1960) | Tidak ada bayaran tetap (hanya reimbursement minimal) | Sistem juri dihapus untuk sebagian besar kasus; saat digunakan (jarang, seperti kasus teror), tidak ada kompensasi signifikan. Dianggap kewajiban sipil tanpa insentif finansial, mirip era kolonial. |
| Prancis | Mixed court (Cour d’Assises: 9 juri + 3 hakim) | €50–€100/hari (sekitar $55–$110; untuk partisipasi warga) | Wajib ikut, kompensasi dari negara termasuk transportasi & makan. Pemberi kerja memberi cuti dibayar; reformasi 2016 kurangi beban tapi pertahankan insentif. Lebih fokus pada partisipasi daripada upah. |
| Jerman | Mixed court (Schöffen: lay judges + hakim profesional) | €25–€50/hari (sekitar $27–$55; plus reimbursement) | Lay judges (dipilih secara acak) dapat kompensasi harian rendah; reimbursement perjalanan & kehilangan pendapatan parsial. Dianggap tugas sipil, bukan pekerjaan; pemberi kerja melindungi tapi tidak wajib bayar penuh. |
| Belgia | Mixed court (Cour d’Assises: 12 juri + 3 hakim) | €50–€80/hari (sekitar $55–$90; untuk juri) | Kompensasi dari pengadilan, termasuk hari persiapan; cuti dibayar dari pemberi kerja. Reformasi pasca-2010 tingkatkan transparansi, tapi bayaran tetap minimal untuk cegah absen. |
Apa yang Bisa Dipelajari dari Perbandingan Ini?
- Common Law vs. Civil Law: Di negara common law seperti AS dan Kanada, bayaran rendah ($15–$50/hari) mencerminkan “civic duty” murni, dengan varian besar antar yurisdiksi. Eropa Kontinental (Prancis, Jerman) lebih stabil tapi tetap simbolis (€25–€100), karena lay judges seringnya merupakan semi-voluntary atau politik. Australia dan UK lebih progresif dengan dukungan dari pemberi kerja.
- Tantangan Umum: Di mana-mana, bayaran untuk juri tersebut jarang yang bisa untuk menutupi biaya hidup—terutama bagi pekerja dengan penghasilan rendah. Beberapa negara (Australia, Prancis) mengatasinya dengan make-up pay, sementara AS sering bergantung pada kebijakan perusahaan.
- Implikasi untuk Indonesia: Jika kita mengadopsi hybrid seperti di Eropa, maka bayaran minimal (mirip Jerman) bisa kita mulai dari Rp 200.000–500.000/hari plus reimbursement, untuk mendorong partisipasi masyarakat tanpa beban berat. Ini bisa menjadi langkah awal reformasi, agar menjadi juri bukan sebuah “hukuman” tetapi hak sipil yang wajib dihargai.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa meski tujuannya sama—yaitu keadilan partisipatif—bayaran untuk para juri masih menjadi titik lemah secara global. Meski demikian, negara yang sukses menerapkannya seperti Australia membuktikan bahwa: kompensasi yang adil akan meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat.
Sumber:
Chesterman, Michael. Criminal Trial Juries in Australia: From Penal Colonies to a Federal Democracy. Law and Contemporary Problems, Vol. 62: No. 2, 1999.
Gorphe, Francois. Reform of the Jury System in European Countries: England, 27 Am. Inst. Crim. L. & Criminology 17 (1936-1937).
G. Szabó, Dániel: Paying Judges Properly: CJEU’s Criteria on Judicial Remuneration in Hungary, VerfBlog, 2025/3/07, https://verfassungsblog.de/judicial-remunerations/, DOI: 10.59704/b85e0a8dd922d7cd.
Hans, Valerie P. Jury Systems Around the World (2008). Cornell Law Faculty Publications. Paper 305.
http://scholarship.law.cornell.edu/facpub/305
Jackson, J. D. (2021). The Case for a Hybrid Jury in Europe. In S. K. Ivković, S. S. Diamond, V. P. Hans, & N. S. Marder (Eds.), Juries, Lay Judges, and Mixed Courts: A Global Perspective (pp. 304–322). chapter, Cambridge: Cambridge University Press.
Jury Duty Pay by State 2025. World Population Review. Retrieved November 23, 2025, from https://worldpopulationreview.com/state-rankings/jury-duty-pay-by-state
Langbein, John H. Mixed Court and Jury Court: Could the Continental Alternative Fill the American Need? American Bar Foundation Research Journal 195, 1981 (245-268).
Langbein, John H. The English Criminal Trial Jury on the Eve of the French Revolution. . The Trial Jury
in England, France, Germany 1700-1900. Duncker & Humblot Berlin, 1987 (13-39).
Nancy S. Marder, An Introduction to Comparative Jury Systems, 86 Chi.-Kent L. Rev. 453 (2011).
Available at: https://scholarship.kentlaw.iit.edu/cklawreview/vol86/iss2/3
Thaman, Stephen C. “Europe’s New Jury Systems: The Cases of Spain and Russia.” Law and Contemporary Problems, vol. 62, no. 2, 1999, pp. 233–59. JSTOR, https://doi.org/10.2307/1192258. Accessed 22 Nov. 2025.
AI: Grok


Post Comment