Politik Uang yang Menyengsengsyarakan
Oleh: Deri Hudaya
Politik uang merujuk pada praktik menggunakan uang atau sumber daya finansial untuk mempengaruhi atau memanipulasi proses politik, terutama dalam pemilihan umum atau kampanye politik. Praktik ini mencakup berbagai tindakan yang bertujuan untuk memperoleh dukungan politik dan memenangkan pemilihan dengan mengandalkan sumber daya uang.
Pembelian suara adalah praktik politik uang yang paling mencolok. Praktiknya dilakukan melalui pemberian uang atau hadiah kepada pemilih dengan harapan bahwa mereka akan memberikan dukungan atau memilih kandidat tertentu. Praktik pembelian suara secara tak langsung telah mendudukkan orang per orang–calon pemilih–sebagai komoditas ekonomi semata: suara pemilih tak lain adalah dagangan.
Politik uang juga bisa menyasar tokoh otoritatif dengan modus pemberian hadiah dan tunjangan. Dalam hal ini, pelaku akan memberikan hadiah atau tunjangan kepada pejabat pemerintah, tokoh budaya, tokoh agama, tokoh medsos, atau tokoh otoritatif lainnya. Dalam transaksi ini, tokoh terkait diminta memberi dukungan atau pengaruh yang diharapkan. Di lingkungan feodal yang masyarakatnya terlampau senang menokohkan orang, cara seperti ini lebih praktis dibanding membeli suara dari orang per orang–meski belum tentu lebih murah. Transaksi dengan satu tokoh otoritatif bisa mendapat suara pemilih yang berlimpah.
Cara kolektif lainnya, politik uang bisa juga dilakukan lewat pembiayaan proyek pembangunan. Para pelaku mengarahkan dana atau sumber daya ke proyek-proyek pembangunan di suatu wilayah atau komunitas dengan tujuan memperoleh dukungan politik dari warga setempat. Pelaku menginvestasikan besi, semen, aspal, cat, hingga paku dengan perjanjian jumlah suara dari daerah yang bersangkutan. Cara semacam ini efektif diterapkan di lingkungan yang haus akan fasilitas publik, yang tidak begitu terjamah oleh dana infrasturktur negara.
Dalam tataran yang lebih sublim, ada pembiayaan kampanye yang tidak jelas sebagai praktik politik uang. Dengan sengaja, pelakunya menyembunyikan asal-usul dana kampanye untuk menghindari pengawasan atau regulasi. Perusahaan-perusahaan gelap, yang kesulitan mendapat izin menjalankan roda usahanya, kerap berkelindan di balik praktik semacam ini. Membiayai kampanye seorang bakal calon tak lain adalah upaya memproses izin legal perusahaannya, meski belum tentu berhasil dan mahal. Baginya, pertarungan politik bisa hadir sebagai arena judi.
Di samping praktik-praktik tersebut, di era informasi, politik uang pun melibatkan media massa. Pelaku menginvestasikan uang dalam kampanye media atau propaganda untuk membentuk opini publik dan mempengaruhi persepsi. Praktik ini jadi politik uang paling kompleks karena bisa menggabungkan berbagai cara sekaligus. Jelata yang mendapat santunan bisa ditampilkan hisetris di sebuah tayangan. Tokoh terpandang-prabayar lalu mengomentarinya lewat ceramah atau diskusi, atau lewat gimik tertentu. Sementara itu, pengusaha gelap mulai memainkan skenario judi di balik tayangan.
Bagaimanapun praktiknya, politik uang merugikan sistem demokrasi karena dapat merusak integritas pemilihan dan menghilangkan hak suara masyarakat. Setiap negara demokratis memiliki undang-undang dan regulasi yang dirancang untuk mencegah dan menghukum praktik politik uang. Namun, selama ekonomi dijalankan secara kapitalistik, politik uang sepertinya sulit disingkirkan. Ada ungkapan yang makin sering terdengar di tahun politik: ada uang, ada kemenangan.
Mungkin saja ada politikus terpilih yang selamat dari politik uang. Ia hanya mengandalkan kecerdasan, ketulusan, dan kerja keras untuk mendapat kemenangan, tetapi jumlahnya entah sedikit, entah segelintir saja. Di daerah-daerah yang bukan pusat, di kawasan kumuh yang belum dibangun, di gubuk-gubuk bau pesing, di antara orang-orang lapar dan sakit yang menganggur, yang jumlahnya tidaklah sedikit, seorang bakal calon bisa menawarkan dua hal: sekeresek beras dan satu makalah berisi gagasan baru tentang perbaikan sosial. Makalah itu bisa saja disambut hangat, didiskusikan dengan semarak, jika, apabila di bawahnya ditempelkan amplop.
Gambaran salah satu praktik dari penerapan politik uang tersebut tidak dimaksudkan untuk menghina selera masyarakat dari lapisan ekonomi kelas bawah. Mungkin perlu ditegaskan, jika masalah ekonomi masyarakat tak pernah diatasi dengan serius, pemerintah tidak pernah berhasil memberikan solusi, sama artinya dengan membiarkan politik uang memeperpanjang sejarah. Ekonomi kapitalistik hari ini membuat uang selayaknya candu, terutama di tahun pemilu.
Lalu, jika politik uang yang mengandalkan distribusi uang terus dijalankan, apakah angka kemiskinan bisa menurun? Tentu saja bisa. Kemiskinan generasi pertama bisa diturunkan pada generasi kedua, diturunkan lagi pada generasi ketiga, dan seterusnya. Itu terjadi karena mereka yang terpilih, tak akan punya sikap antusias untuk memperbaiki nasib masyarakat pemilihnya. Begitu terpilih, ia akan langsung dihadapkan pada kerumitan dari masalah finansial dalam dirinya sendiri: limpahan uang yang telah dikeluarkan, mesti kembali; lalu, datang tagihan perjanjian dari pengusaha yang izinnya selalu macet terhalang regulasi; dan entah kesuliatan apa lagi. Dengan demikian, politik uang secara sistemik memposisikan pemilih dan bakal calonnya sama-sama menjadi korban.
Korban ketiga adalah sistem demokrasi. Semakin hari, sistem demokrasi semakin tak dipercaya ideal lagi. Padahal demokrasi yang diselenggarakan bukan demokrasi yang sebenarnya. Ia hanya simulasi, hanya topeng dari politik uang yang untuk para pihak terlibat: mengsengsarakan, atau mesengsengsarakan, atau mesengsarakan, atau menyengsengsyarakan. Mohon maaf, saking rumitnya, saya jadi ingat kerumitan profesor Mahfud MD, salah satu calon wakil presidan 2024, saat suatu hari pernah ingin mengucapkan kosa kata yang rumit itu.
Singajaya, 20 Desember 2024