Memasuki Ruang Riung Baceprot

Memasuki Ruang Riung Baceprot

Voice of Baceprot

 Oleh: Deri Hudaya

Di Ruang-Riung Baceprot (RRB), mataku langsung diserbu oleh visual berupa teks, foto, ilustrasi lagu, juga poster. Dinding-dinding ruangan itu penuh—rasanya mirip dengan impresi yang aku alami saat masuk ruang virtual di mesin pencarian Google. Di sana tidak ada alur naratif, lebih serupa dengan puzzle acak dengan tajuk “Menyelamatkan Masa Depan, Mencari Jalan Pulang.” Aku masih ngotot mencari-cari alur, dari mana awal dan ke mana akhir. Apakah karena Voice of Baceprot (VoB) masih ke sana-kemari mencari jalan pulang sehingga alur itu memang tidak perlu ada? Sejauh dan semelahkan apa perjalanan yang telah ditempuh sehingga jalan pulang itu jadi tajuk yang dipilih? Aku lelah dengan pikiran-pikiran yang melompat-lompat, tertumbuk-tumbuk, chaos.

Percobaan pertama memasuki RRB, mataku terjeda dengan satu foto yang menampakkan tiga wajah personal VoB dengan ukuran kecil-kecil, samar-agak jelas, ekspresi lempeng atau murung atau memendam amarah, dan wajah satu sama lain dibuat tidak sejati—maksudku agak susah dibedakan. Lebih terasa distorsinya, karena setiap wajah itu dimunculkan lebih dari satu kali, bahkan lebih dari tiga kali(?). Aku berusaha mencari wajah utama dari Virda, Widi, dan Siti, tapi konsentrasiku seperti tak berguna melawan arus kuat yang muncul dari warna hitam dominan dengan sedikit motif merah.

Foto yang penempatannya persis berhadap-hadapan dengan teks tajuk itu seperti antitesa dari semua foto dan poster di ruangan ini yang cenderung memperlihatkan pencapaian-pencapaian VoB. Kalau melakukan pencarian di internet, foto-foto dan poster-poster itu mudah sekali ditemukan. Arus budaya popular dan industri seringkali butuh sesuatu yang dibuat paripurna untuk ditampilkan ke publik, tapi beberapa karya seni menawarkan sudut pandang yang dengan sengaja tidak peduli. Pertentangan, perbedaan, intrupsi, sekecil apa pun ruang yang tersedia baginya, bisa memberi makna lengkap dan lebih manusiawi.

Barangkali bukan hanya di industri musik. Siapa pun ia, tampilan dari ujung kepala hingga ujung kaki tidak bisa apa adanya, selalu bersifat politis, disamarkan kesan, diburamkan keyakinan. Ada agresi dari sekian banyak tatapan mata yang tidak pernah berakhir. “Neraka adalah orang-orang lain,” kata Sartre dalam drama Pintu-Pintu Tertutup. Oleh karena itu, rasa sejati dan sepi bergantian di ruang-ruang privat saja, yang terpencil itu, dan akan tidak menarik jika terlalu diumbar. Hari-hari ini, meditasi menjadi trend, bahkan disarankan oleh sejumlah intelektual, bukan karena menemukan yang sejati dalam diri seseorang itu mudah, jutru karena kehilangan diri jadi masalah serius, perasaan aku-personal yang terbelah atau terbagi-bagi atau “nggak jelas” itu dipandang jadi sumber keresahan personal yang dialami secara masal. Aku tidak bertendensi untuk mengatakan bahwa para personel VoB mengalami masalah personal tertentu. Melalui foto ini—yang aku sendiri tidak tahu siapa fotografernya—aku hanya bisa menangkap sekilas pesan bahwa sehebat apa pun pencapaian-pencapaian mereka, mereka tetaplah manusia yang punya ruang privatnya sendiri.

Musik bisa saja dimiliki industri untuk dijual bebas dan dikonsumsi secara massal dan habis-habisan, tapi pembuat musik itu sendiri tidak. Mereka bisa sangat jauh berjarak dan tidak bisa dijamah atau sekadar dipahami, dengan meminjam serampangan salah satu judul lagu mereka: not public property. Kadang-kadang, industri kapitalis yang serakah dan budaya populer yang keterlaluan, mengaburkan batas antara yang publik dan yang privat dari manusia. Adalah pemerkosaan ketika ruang privat seseorang diakses orang-orang lain yang tak dikehendaki. Dari kematian Kurt Cobain hingga artis-artis K-Pop, privasi menjadi isu yang tidak bisa dipandang cetek.

Aku pikir kehadiran foto ini di RRB bukan hanya jeda, tapi penting, karena bisa langsung didebatkan dengan kepungan visualisasi VoB yang tendensinya amat sangat berbeda.

Percobaan kedua memasuki RRB, aku masih limbung karena visual yang penuh itu. Kali ini aku ditemani dua temanku, Rekki Subagja dan Alfi Fahroji yang lebih mengerti seni visual. Kami belok ke sudut sempit sebelah kiri yang agak minim cahaya. Di situ, kedua temanku termenung lama, tatapannya bolak-balik antara poster di Festival Glastonbury yang menempel di dinding dengan dram serta gitar lama VoB yang tergeletak di bawah. VoB dan Abah Ersa baru pulang dari Inggris mengikuti festival musik. Aku kira, jarak antara poster dengan alat musik yang mereknya entah-apa-itu tidak hanya dibedakan oleh dinding dan lantai. Relasi itu berelasi kuat dengan VoB saat mengawali proses kreatif di wilayah-tak-dikenal bernama Singajaya, dengan segala keterbatasannya, dengan segala masalahnya.

Aku menghirup udara dalam-dalam dan tercium bau anyir di pojok remang itu. Rasanya belum lama aku mendengar kabar rumah Virda dilempari orang tak dikenal. Rasanya belum lama Abah Ersa bolak-balik mengurus Siti, Virda, dan Widi karena DO beberapa kali dari sekolah. Rasanya belum lama VoB bolak-balik Singajaya-Garut untuk ikut festival musik kecil-kecilan. Rasanya belum lama VoB tampil di panggung pertamanya yang bukan di acara musik, tapi di gerakan literasi yang dibuat oleh Komunitas Ngéjah. Rasanya belum lama. Waktu begitu fana, kata penyair Sapardi:

Yang fana adalah watku. Kita abadi

memungut detik demi detik, merangkainya

seperti bunga sampai pada suatu hari 

kita lupa untuk apa

Di RRB, tiba-tiba saja mereka tampak begitu kelelahan setelah terlibat festival musik di Inggris, negara yang saat ini rusuh di mana-mana karena rasisme terhadap kaum Islam yang dilatarbelakangi urusan politik sayap kanan dan sayap kiri. Dalam hal ini jarak kekacauan tanah air dan negeri yang melahirkan pemikir-pemikir cultural studies dan menerapkan politik demokrasi sosial itu tak begitu jauh, sama-sama bisa dibakar dengan isu ras dan agama.

Percobaan ketiga memasuki RRB belum aku lakukan. Ruang publik yang dibuat di Cikajang itu belum selesai, memang. Agenda 3 Agustus 2024 kemarin yang dihadiri VoB, warga sekitar dan tamu-tamu undangan barulah prapembukaan. Entah nanti apakah visual-visual itu akan lebih penuh lagi, lebih kosong, apakah akan tetap tanpa alur dan narasi yang gampang ditebak. Aku tak mengharapkan apa pun. Mereka, maksudku pengelolanya, punya hak untuk berbuat apa pun. Sama seperti hak yang kita miliki, untuk menikmatinya atau tidak.

Beberapa hari sebelum prapembukaan, aku sempat melihat-lihat ke RRB. Yang aku perhatikan adalah teks-teks yang dibuat oleh Abah Ersa dan dipajang di antara visual-visual lainnya. Beberapa hurufnya kosong atau lepas—tidak lengkap. Di RRB, aku lebih bisa menikmati teks seperti itu ternyata. Penampakan teks tersebut lebih terus terang mengatakan bahwa bahasa tidak pernah sempurna menjadi tubuh dari gagasan. 

Lagi pula, sejauh ini, VoB yang identik dengan suara perlawanan, tidak selalu dinikmati dalam kesempurnaannya, tapi juga dari hal-hal yang mengganggu, yang kurang, tapi organik. Judul “School Revolution” yang kehilangan penghubung semacam “of”, misalnya, jadi lagu mereka yang paling monumental sekalipun itu mengandung distorsi terhadap gramatika bahasa Inggris. Lirik-lirik VoB pun kerap menggunakan bahasa Inggris yang cara berpikirnya bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris yang baik dan benar tentu saja lirik itu bisa disebut cacat, tapi dalam teori linguistik World English, itu adalah kepatutan. Dalam pikiranku, itulah pemberontakan terhadap bahasa yang secara struktural mengkoloni seluruh bahasa hari ini di dunia—entahlah di akhirat!

9 Agustus 2024 

Deri Hudaya. Buku terakhirnya berjudul Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya. Selain menulis, ia juga mengajar di salah satu kampus swasta di Garut dan bertani. Saat ini, bersama Poesual Art tengah menyiapkan film art-dokumenter berjudul Sebuah Cerita dari Lawang Angin. Arsip tulisannya dapat diakses di blog HumaNiniNora.

Post Comment