Demonstrasi dan Gen Z
Demonstrasi dan Gen Z
Demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Indonesia hari-hari ini dipicu oleh keputusan parlemen untuk mengubah undang-undang pemilihan yang kontroversial. Keputusan ini dianggap sebagai upaya untuk memperkuat pengaruh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sedang menjabat. Perubahan tersebut termasuk menurunkan batas usia minimum untuk calon gubernur menjadi 30 tahun, yang akan memungkinkan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, yang berusia 29 tahun, untuk mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur mendatang.
Protes terjadi di berbagai kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Makassar, dengan para demonstran menuduh pemerintah melemahkan demokrasi dan memicu kekhawatiran akan krisis konstitusional. Di Jakarta, ribuan orang berkumpul di depan gedung DPR dan terjadi bentrokan dengan polisi yang merespons dengan tembakan gas air mata. Situasi ini mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap potensi dinasti politik dan pelanggaran terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi yang seharusnya final dan mengikat.
Demonstrasi kali ini di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran Gen Z. Gen Z yang didominasi oleh pelajar, mahasiswa dan aktivis muda, membawa semangat baru dalam gerakan protes, terutama karena mereka memiliki akses mudah ke informasi dan mampu menggunakan media sosial untuk mengorganisir aksi dan menyebarkan pesan secara cepat dan luas. Mereka memanfaatkan platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok untuk menggalang dukungan, menyebarkan kesadaran, dan melaporkan perkembangan demonstrasi secara real-time.
Di tengah demonstrasi saat ini, banyak dari Gen Z yang menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap upaya yang dianggap melemahkan demokrasi dan mendukung dinasti politik. Mereka tidak hanya aktif dalam aksi jalanan tetapi juga dalam mengarahkan narasi publik melalui konten digital yang kreatif dan mudah diterima oleh generasi sebaya mereka.

Gen Z di Bangladesh telah mencapai keberhasilan besar dalam demonstrasi yang dikenal sebagai “Revolusi Gen Z” yang terjadi beberapa minggu lalu. Generasi muda ini berhasil menggulingkan Perdana Menteri Sheikh Hasina, yang telah berkuasa selama 15 tahun. Keberhasilan ini tidak hanya menginspirasi negara mereka sendiri tetapi juga menarik perhatian global, menunjukkan bagaimana kekuatan generasi muda dapat mengubah lanskap politik.
Demonstrasi ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpuasan terhadap pasar kerja yang terbatas, inflasi yang meningkat, dan ketidakadilan politik yang dirasakan oleh kaum muda. Penggunaan media sosial, terutama Facebook, sangat penting dalam mengoordinasikan protes dan menyebarkan kesadaran tentang tujuan mereka. Meskipun pemerintah mencoba memadamkan gerakan ini dengan melakukan pemadaman internet, para demonstran menemukan cara inovatif untuk tetap terhubung dan melanjutkan perjuangan mereka.
Selain menggulingkan pemerintahan, Gen Z di Bangladesh juga membuka jalan bagi perubahan politik lebih lanjut. Mereka berupaya mengakhiri dominasi partai politik lama yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Dengan dukungan dari sosok seperti Muhammad Yunus, seorang peraih Nobel yang kini memimpin pemerintahan sementara, ada harapan bahwa Bangladesh dapat memasuki era baru yang lebih inklusif dan adil, terutama dalam hal kebijakan ekonomi dan sosial.
Keberhasilan ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh generasi muda dalam mendorong perubahan, tidak hanya di Bangladesh tetapi juga sebagai inspirasi bagi gerakan serupa di berbagai belahan dunia.

Tidak ada indikasi bahwa Gen Z di Indonesia secara eksplisit berupaya untuk mengkudeta rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti yang terjadi di Bangladesh. Meskipun ada ketidakpuasan yang cukup besar di kalangan anak muda terhadap beberapa kebijakan pemerintah, aksi-aksi protes yang dilakukan oleh Gen Z lebih berfokus pada menuntut reformasi, transparansi, dan keadilan, daripada secara langsung berupaya untuk menggulingkan pemerintahan.
Protes yang melibatkan Gen Z di Indonesia cenderung terkait dengan isu-isu spesifik, seperti penolakan terhadap undang-undang yang kontroversial, perlindungan hak-hak digital, keadilan lingkungan, dan isu sosial lainnya. Misalnya, demonstrasi yang baru-baru ini terjadi di Indonesia sebagian besar dipicu oleh ketidakpuasan terhadap perubahan undang-undang pemilihan yang dianggap dapat memperkuat dinasti politik.
Tapi dalam demonstrasi, apapun bisa terjadi. Gen Z di Bangladesh pada mulanya hanya mengkritisi kebijakan pemerintah tentang peluang PNS yang hanya menguntungkan keluarga-keluarga veteran saja. Pada akhirnya narasi berubah dan terang-terangan menganggap bahwa sumber dari masalah sosial adalah Perdana Menteri, dan penggulingan rezim pun terjadi.
Apakah hal yang sama akan terjadi dalam demonstrasi Gen Z di Indonesia? Apa pun bisa terjadi, sebab demonstrasi besar mengandung pertarungan narasi.
Singajaya, 24 Agustus 2024
Deri Hudaya. Buku terakhirnya berjudul Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya. Selain menulis, ia juga mengajar di salah satu kampus swasta di Garut dan bertani. Saat ini, bersama Poesual Art tengah menyiapkan film art-dokumenter berjudul Sebuah Cerita dari Lawang Angin. Arsip tulisannya dapat diakses di blog HumaNiniNora.
Post Comment