Peran Intelektual dalam Perubahan Sosial

Peran Intelektual dalam Perubahan Sosial

Secara etimologi, kata “intelektual” berasal dari bahasa Latin “intellectus,” yang berarti “pemahaman” atau “pengertian.” Kata ini sendiri berakar dari kata kerja “intelligere,” yang berarti “memahami” atau “menyadari.” “Intelligere” adalah gabungan dari dua kata: “inter” (antara) dan “legere” (memilih atau membaca), yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “memilih di antara” atau “membaca di antara”—dalam konteks ini berarti kemampuan untuk membedakan, menganalisis, dan memahami.

Dari perspektif ini, “intelektual” mengacu pada kemampuan atau kualitas seseorang untuk menggunakan akal atau pikiran untuk memahami, menganalisis, dan merenungkan konsep-konsep yang kompleks. Ini sering dikaitkan dengan kegiatan mental yang melibatkan pemikiran kritis, refleksi, dan penalaran, dan bukan hanya pengetahuan atau keterampilan teknis semata.

Foto Louis Althusser

Organik dan Tradisional

Konsep “intelektual” menurut filsuf Prancis, Louis Althusser, sangat terkait dengan analisis struktur sosial dan ideologi. Althusser melihat intelektual sebagai individu atau kelompok yang memainkan peran penting dalam reproduksi ideologi dominan dalam masyarakat.

Menurut Althusser, intelektual tidak hanya berfungsi sebagai produsen ide, tetapi juga sebagai agen yang memperkuat dan menyebarkan ideologi mendukung status quo. Dalam pandangannya, sekolah, media, dan institusi budaya lainnya adalah “aparat ideologis negara” yang dikendalikan oleh intelektual untuk menanamkan nilai-nilai dan norma yang melayani kepentingan kelas penguasa.

Namun, Althusser juga mengakui adanya intelektual yang kritis, yang menentang ideologi dominan dan mencoba mengubah struktur sosial yang ada. Intelektual semacam ini berusaha untuk mengungkap mekanisme kekuasaan dan ideologi, dan bekerja untuk menciptakan kesadaran kritis di kalangan masyarakat.

Jadi, dalam pandangan Althusser, intelektual memiliki peran ganda: di satu sisi, mereka dapat menjadi penopang sistem ideologis yang ada, tetapi di sisi lain, mereka juga memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan sosial yang radikal.

Dalam pandangan Louis Althusser, intelektual kritis sering disebut sebagai “intelektual organik,” sebuah konsep yang awalnya dipopulerkan oleh Antonio Gramsci. Intelektual organik adalah mereka yang terlibat secara aktif dalam proses sosial dan politik, serta bekerja untuk memperjuangkan perubahan sosial dengan mendekonstruksi ideologi dominan dan mempromosikan kesadaran kritis di masyarakat.

Lawan dari intelektual kritis atau organik ini adalah “intelektual tradisional.” Intelektual tradisional adalah mereka yang cenderung memelihara status quo dan ideologi dominan, serta bekerja dalam kapasitas mereka untuk mereproduksi struktur sosial yang ada tanpa mempertanyakan atau menentangnya. Intelektual tradisional sering kali dipandang sebagai agen dari aparatus ideologis negara yang mendukung dan mempertahankan sistem kekuasaan yang ada. Jadi, lupakanlah kelompok ini.

Foto Louis Althusser

Peran Intelektual Organik

Peran intelektual organik dalam demonstrasi di era digital menjadi semakin signifikan dan kompleks karena adanya perubahan dalam cara informasi disebarkan, diakses, dan dimobilisasi. Intelektual organik di era digital sering berfungsi sebagai penghubung antara teori dan aksi massa. Mereka menggunakan platform digital untuk menyebarkan pemikiran kritis, analisis sosial, dan strategi perlawanan yang dapat diakses oleh khalayak luas. Ini memungkinkan ide-ide yang mungkin sebelumnya terbatas pada lingkaran akademik untuk menjangkau publik yang lebih luas dan mendorong tindakan kolektif.

Platform digital memungkinkan intelektual organik untuk membantu mengorganisir dan mengkoordinasikan demonstrasi secara lebih efektif. Mereka dapat menggunakan media sosial, blog, dan saluran komunikasi digital lainnya untuk menggalang dukungan, menyebarkan informasi tentang waktu dan tempat demonstrasi, serta memberikan panduan tentang cara-cara aman untuk berpartisipasi.

Intelektual organik juga memiliki peran dalam menyebarkan kesadaran dan propaganda yang menantang narasi dominan. Mereka dapat menggunakan internet untuk mempublikasikan analisis kritis, menggugah kesadaran sosial, dan mengajak masyarakat untuk melihat masalah dari perspektif yang berbeda. Hal ini penting dalam membangun kesadaran kolektif yang kritis terhadap isu-isu sosial, politik, dan ekonomi.

Selain itu, intelektual organik sering kali bertindak sebagai pembuat kontra-narasi yang menentang laporan dan framing dari media arus utama. Mereka menggunakan platform digital untuk memberikan pandangan alternatif, mengkritik bias media, dan mengungkap fakta-fakta yang mungkin diabaikan atau diputarbalikkan oleh media yang pro-status quo.

Dalam konteks demonstrasi, intelektual organik juga dapat menggunakan pengetahuan mereka tentang teknologi untuk membantu melindungi demonstran dari pengawasan atau represasi pemerintah. Ini bisa termasuk pendidikan tentang enkripsi, penggunaan VPN, atau aplikasi komunikasi yang aman, serta strategi untuk menghindari pelacakan digital.

Secara keseluruhan, peran intelektual organik bisa sangat berpengaruh dalam mengarahkan, membentuk, dan memobilisasi gerakan sosial dan demonstrasi. Mereka tidak hanya menyediakan kerangka berpikir kritis, tetapi juga memanfaatkan teknologi untuk menciptakan perubahan nyata di masyarakat.

Sementara intelektual organik dengan segala cara akan begitu larut dalam perubahan sosial, intelektual tradisional cenderung diam karena ia memiliki ikatan yang rekat dengan kekuasaan. Ia tampak lebih sebagai properti bagi kekuasaan. Ia cenderung bersikap sopan terhadap kekuasaan dan tak ingin mengambil resiko. Selebihnya, ia menjadi pengamat keadaan, dan jika kondisi sosial berubah, ia paling tahu dalam mencari celah untuk menjadi bagian dari kekuasaan baru tersebut. Sampah, memang!

Singajaya, 24 Agustus 2024

Deri Hudaya. Buku terakhirnya berjudul Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya. Selain menulis, ia juga mengajar di salah satu kampus swasta di Garut dan bertani. Saat ini, bersama Poesual Art tengah menyiapkan film art-dokumenter berjudul Sebuah Cerita dari Lawang Angin. Arsip tulisannya dapat diakses di blog HumaNiniNora.

Post Comment