Antropologi, Musik, dan Jalan Terjal Proses Dekolonisasi di Asia Tenggara

Antropologi, Musik, dan Jalan Terjal Proses Dekolonisasi di Asia Tenggara

Antropologi dan Upaya Dekolonisasi

Selalu menarik menyigi wacana dekolonisasi dalam ilmu antropologi. Dekolonisasi dalam ranah ilmu ini merupakan suatu proses yang kompleks dan berkelanjutan yang melibatkan penanganan akar sejarah disiplin dalam kolonialisme, imperialisme, sampai Eurosentrisme. Pasa Perang Dunia II para antropolog kembali merumuskan bagaimana ilmu antropologi semestinya bekerja untuk melayani masyarakat yang terpinggirkan, atau narasi-narasi minoritas yang selama ini jarang terdengar.

Tak bisa dipungkiri antropologi muncul dalam konteks kolonialisme Eropa, imperialisme, dan praktisi awal yang sering berpartisipasi dalam eksploitasi dan penaklukan masyarakat terjajah. Para Antropolog mungkin dapat mengakui sejarah ini dan mereka berupaya bekerja untuk mengatasi efeknya yang berkelanjutan, seperti kurangnya representasi suara non-Barat dalam disiplin kajiannya.

Dalam esainya tentang hubungan antara kolonialisme dan antropologi, Pels (1997) mengidentifikasi tiga pendekatan berbeda terhadap kolonialisme, yaitu proyek yang dicirikan oleh dominasi dan eksploitasi; oleh kemajuan dan modernisasi; dan/atau dengan perjuangan dan negosiasi. Seringkali kombinasi dari ketiganya diterapkan pada analisis luas tentang pemerintahan kolonial, yang penting untuk kritik kebijakan dan praktik yang beralasan. Seiring berjalannya waktu, pendekatan ketiga memegang pengaruh di kalangan ilmuwan sosial, sehingga memperluas perdebatan tentang kolonialisme. Selama tiga setengah dekade terakhir, panggilan untuk refleksi diri dari disiplin ilmu telah diartikulasikan dengan baik oleh para cendikiawan yang bekerja secara eksplisit pada kritik terhadap hubungan antara antropologi dan kolonialisme (Asad 1973; Stocking 1990, 1995).

Seiring berkembangnya zaman, antropologi dapat bekerja menuju dekolonisasi dengan memusatkan suara dan perspektif komunitas yang terpinggirkan, baik dalam penelitian maupun dalam pengajaran. Ini berarti terlibat dengan epistemologi non-Barat dan cara mengetahui, dan berkolaborasi dengan anggota masyarakat untuk bersama-sama merumuskan pertanyaan dan metode penelitian.

Antropologi secara historis didominasi oleh perspektif dan asumsi Eurosentris, sedangkan Peran antropologi dalam wacana dekolonisasi kerap menentang asumsi tersebut. Tujuannya tentu saja untuk mengakui keragaman pengalaman dan pengetahuan manusia tanpa membeda-bedakannya. Dalam proses evaluasi dan etika penelitian, para antropolog memiliki tanggung jawab untuk melakukan penelitian dengan cara yang etis dan terhormat, terutama ketika bekerja dengan komunitas yang secara historis terpinggirkan atau tertindas. Dekolonisasi antropologi melibatkan evaluasi ulang etika penelitian dan memprioritaskan kesejahteraan dan agensi peserta penelitian.

Dalam peristiwa yang paling mutakhir, antropologi dapat bekerja menuju dekolonisasi dengan menggunakan penelitian dan advokasinya untuk mendukung keadilan sosial dan perubahan politik. Ini berarti menantang struktur kekuasaan dan ketidaksetaraan, dan mengadvokasi hak dan pemberdayaan komunitas yang terpinggirkan.

Seperti yang diuraikan oleh Talal Asad dalam Anthropology and the Colonial Encounter yang mengeksplorasi hubungan antara kolonialisme dan antropologi. Asad menantang pandangan konvensional tentang antropologi sebagai disiplin yang murni objektif dan ilmiah, dengan alasan bahwa hal itu terkait erat dengan kolonialisme dan imperialisme.

Asad berpendapat bahwa antropologi memainkan peran penting dalam perjumpaan kolonial dengan memberikan pengetahuan tentang orang-orang terjajah dan budaya mereka. Pengetahuan ini digunakan untuk membenarkan kolonialisme dan mempertahankan struktur kekuasaan kolonial. Antropolog sering dipekerjakan oleh administrasi kolonial untuk memberikan informasi tentang orang-orang yang mereka kuasai, dan pekerjaan mereka digunakan untuk membenarkan kebijakan kolonial.

Secara bernas Asad pun mengkaji cara-cara di mana pengetahuan antropologi diproduksi dan bagaimana pengetahuan ini dibentuk oleh konteks kolonial di mana pengetahuan itu diproduksi. Ia berpendapat bahwa antropologi bukanlah disiplin yang netral atau objektif tetapi dibentuk oleh kepentingan dan bias para antropolog itu sendiri.

Selayang  Pandang Proses Dekolonisasi  di Asia Tenggara

Proses dekolonisasi di Asia Tenggara merujuk pada upaya dan perjuangan bangsa-bangsa di wilayah ini untuk mendapatkan kemerdekaan dan membebaskan diri dari penjajahan kolonial yang mereka alami, entah itu penjajahan secara fisik maupun non-fisik seperti kebudayaan dan lain sebagainya. Proses ini terutama terjadi pada periode setelah berakhirnya Perang Dunia II dan pada tahun 1950-an hingga 1970-an.

Sebagai contoh, Indonesia memiliki pengalaman proses dekolonisasi yang cukup signifikan. Setelah sekian lama dijajah oleh Belanda, Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dari upaya penjajahan kembali Belanda berlangsung hingga 1949, ketika Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia. Selama periode tersebut Indonesia terus berupaya untuk menyingkirkan puing-puing kolonial, salah satunya melalui seni.

Kemudian Vietnam adalah negara lain yang mengalami proses dekolonisasi yang panjang dan berjuang untuk merdeka dari penjajahan Prancis. Perjuangan Vietnam melawan Prancis mencapai puncaknya dalam Perang Indochina, yang berlangsung dari tahun 1946 hingga 1954. Akhirnya, pada tahun 1954, Perjanjian Jenewa mengakui kemerdekaan Vietnam Utara, sementara Vietnam Selatan tetap di bawah pengaruh kolonial Prancis. Vietnam akhirnya bersatu setelah Perang Vietnam berakhir pada tahun 1975.

Sedangkan proses dekolonisasi di Malaysia terjadi secara bertahap. Setelah Perang Dunia II, perjuangan untuk kemerdekaan dari penjajahan Inggris semakin meningkat. Pada tahun 1957, Federasi Malaya memperoleh kemerdekaannya sebagai negara merdeka dan kemudian bergabung dengan Sabah, Sarawak, dan Singapura untuk membentuk Malaysia pada tahun 1963. Namun, Singapura memisahkan diri dari Malaysia pada tahun 1965 dan menjadi negara yang terpisah.

Kemudian Filipina juga mengalami proses dekolonisasi dari Amerika Serikat. Pada tahun 1946, setelah hampir lima puluh tahun di bawah kekuasaan Amerika Serikat, Filipina mendapatkan kemerdekaannya. Meskipun demikian, proses dekolonisasi tidak sepenuhnya berakhir, dan terdapat perjuangan lanjutan untuk mengatasi pengaruh kolonialisme budaya, ekonomi, dan politik yang masih ada.

Terakhir adalah Singapura yang mencapai kemerdekaannya pada tahun 1965 setelah memisahkan diri dari Malaysia. Sebagai negara yang baru merdeka, Singapura menghadapi tantangan dalam membangun negara dan mengatasi peninggalan kolonial serta menciptakan identitas nasional yang kuat.

Musik dalam Arena Dekolonisasi

Musik dan seni secara keseluruhan kerap menjadi arena pertemuan antara ideologi dan identitas yang dipengaruhi semua aspek, terutama motivasi politik. Di Asia Tenggara, seni turut menjadi bagian dari proses dekolonisasi.  Dekolonisasi musik di Asia Tenggara merupakan proses pembebasan dan pengembangan musik dari pengaruh kolonial yang telah ada selama be rabad-abad. Setelah berbagai negara di Asia Tenggara meraih kemerdekaan mereka dari penjajahan barat pada abad ke-20, masyarakat mulai berusaha mengembangkan identitas budaya mereka sendiri, termasuk dalam bidang musik.

Salah satu cara dekolonisasi musik di Asia Tenggara adalah dengan menghidupkan kembali dan mempromosikan musik lokal yang telah terpinggirkan selama masa penjajahan. Musisi dan kelompok musik mulai menggali kembali warisan musik tradisional mereka dan mengintegrasikannya dengan elemen-elemen modern untuk menciptakan karya-karya baru yang mencerminkan identitas budaya mereka.

Di Indonesia sendiri, musik memiliki peran tersendiri dalam proses dekolonisasi. Hal tersebut bisa kita lacak  sedari masa kepemimpinan Presiden Soekarno, di mana pada periode tersebut terjadi berbagai upaya dekolonisasi melalui musik. Salah satu upaya tersebut ditandai dengan munculnya berbagai inisiatif, salahsatunya adalah Pembentukan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Pada tahun 1950, LEKRA didirikan sebagai lembaga budaya yang bertujuan untuk memperkuat identitas nasional dan menghadapi kolonialisme budaya. LEKRA mempromosikan musik tradisional Indonesia, seperti gamelan dan angklung, sebagai simbol identitas bangsa yang kuat. Mereka juga menciptakan lagu-lagu dengan lirik yang mengangkat semangat perjuangan rakyat dan kecintaan terhadap tanah air. Namun pasca tragedi 65, kelompok ini diburu oleh militer karena dianggap terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa perburuan tersebut secara tidak langsung negara (dengan kepemimpinan yang baru) telah memutus proses dekolonisasi pada periode tersebut. 

Lekra was founded in 1950 due to an awareness of the essence of the August 1945 Revolution and of the connection between the Revolution and culture. An awareness that the Revolution has great significance for culture and, at the same time, on the other hand, culture has great significance for the August Revolution. (Harian Rakjat, 31-1-1959).

Selain pembentukan berbagai lembaga kebudayaan, pada masa Soekarno proses dekolonisasi pun bisa dilacak dengan gencarnya penggunaan musik tradisional sebagai alat diplomasi budaya. Presiden Soekarno menggunakan seni dan budaya sebagai alat diplomasi untuk menjalin hubungan internasional. Dalam kunjungannya ke negara-negara asing, dia kerap menyajikan pertunjukan musik dan tarian tradisional Indonesia untuk memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia kepada dunia dan memperkuat posisi Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berbudaya. Salah satu bentuk musik sebagai sarana solidaritas dan diplomasi adalah lagu “Solidaritas Asia Afrika” ciptaan Kondar Sibarani. Lagu tersebut diciptakan untuk menyambut konferensi Asia-Afrika pertama yang dilaksanakan di Bandung. Berikut adalah cuplikan lirik lagunya:

Satu hati satu

Rakjat Asia dan Afrika

Kita lawan kita kikis penindas dan pendjadjahan

Kita bangkitkan semangat berlawan

untuk kemerdekaan

Hidup abadi

Setia kawan Asia dan Africa

Selain itu pada periode tersebut penciptaan lagu-lagu nasional gencar dilakukan. Pada masa ini, banyak lagu nasional yang tercipta dan menjadi simbol perjuangan dan kebangsaan. Contohnya adalah lagu “Indonesia Pusaka” yang diciptakan oleh Ismail Marzuki dan menjadi salah satu lagu nasional Indonesia. Secara simbolis lagu ini menggambarkan semangat cinta tanah air dan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan.

Proses dekolonisasi juga terjadi di Vietnam. Seperti di Indonesia,  musik di Vietnam juga mencerminkan perjuangan bangsanya untuk membebaskan diri dari penjajahan asing, terutama selama periode penjajahan Prancis dan Perang Vietnam. Pada periode tersebut musik menjadi sarana ekspresi dan perlawanan yang kuat dalam memperjuangkan kemerdekaan dan menguatkan identitas nasional Vietnam.

Sebagai contoh adalah musik Nhạc Đỏ (Red Music). “Nhạc Đỏ” merupakan genre musik yang muncul selama Perang Vietnam sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan komunisme Vietnam Utara. Musik ini dianggap sebagai alat propaganda yang digunakan untuk memperkuat semangat perlawanan dan kebangkitan nasional. Lirik lagu-lagu Nhạc Đỏ sering kali menggambarkan semangat patriotik, persatuan, dan perjuangan melawan penjajahan. Kemudian musik Nhạc Trữ Tình (Musik Tradisional). Nhạc Trữ Tình adalah genre musik tradisional Vietnam yang memainkan peran penting dalam dekolonisasi di Vietnam. Dalam lagu-lagu Nhạc Trữ Tình, sang musisi seringkali mengangkat isu-isu sosial, politik, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Vietnam. Musik ini memperkuat identitas budaya Vietnam dan memberikan wadah untuk mengungkapkan pengalaman dan perasaan lokal.

Selain genre musik, materi lagu pun menjadi suatu yang cukup memberikan dampak. Salah satunya adalah lagu Sài Gòn Ơi (Ho Chi Minh City, Oh My). Lagu tersebut menjadi simbol dekolonisasi musik di Vietnam. Lagu ini ditulis oleh Trần Tiến pada tahun 1971 selama Perang Vietnam dan menjadi sangat populer di kalangan tentara dan masyarakat Vietnam. “Sài Gòn Ơi” mencerminkan semangat perlawanan dan kebangkitan melawan penjajahan serta kerinduan terhadap persatuan dan kebebasan Vietnam.

Seiring dengan perkembangan zaman, era baru pun lahir. Dalam musik, era ini ditandai dengan kemunculan Tân Nhạc (Musik Baru). Setelah Perang Vietnam, Vietnam mengalami perubahan sosial dan budaya yang signifikan. Genre musik Tân Nhạc muncul sebagai bentuk dekolonisasi musik yang mencerminkan modernisasi dan pengaruh global dalam musik Vietnam. Tân Nhạc menggabungkan unsur-unsur musik Barat seperti rock, pop, dan jazz dengan unsur musik tradisional Vietnam. Ini mencerminkan adaptasi dan reinterpretasi musik Vietnam dalam konteks modern yang bebas dari pengaruh kolonial.

Kemudian yang terakhir adalah Tự Do Hát (Lagu Kemerdekaan):. Setelah kemerdekaan Vietnam, musik juga berperan dalam membangun identitas nasional dan semangat patriotik. Lagu-lagu Tự Do Hát atau Lagu Kemerdekaan diproduksi untuk merayakan kemerdekaan dan memperkuat persatuan rakyat Vietnam. Musik ini sering kali menampilkan semangat perjuangan, keberanian, dan nasionalisme Vietnam.

Contoh lain yang tak kalah menarik adalah proses dekolonisasi di Filipina. Salah satu gerakan daro proses dekolonisasi ini “Himig ng Paglaya” (Suara Pembebasan). Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap dominasi budaya dan pemikiran kolonial yang masih terasa di Filipina. Gerakan ini memiliki agenda untuk mengeksplorasi musik tradisional dengan mendorong pemuda Filipina untuk menggali kembali dan memperkuat musik tradisional mereka. Hal ini dilakukan dengan menghidupkan kembali alat musik tradisional, seperti kulintang (alat musik gendang tradisional), rondalla (ensemble musik dawai), dan kudyapi (alat musik senar). Melalui eksplorasi kembali dan peningkatan pemahaman tentang musik tradisional, gerakan ini membantu membangun kembali kebanggaan terhadap warisan budaya Filipina yang khas.

Musik dalam gerakan “Himig ng Paglaya” sering kali menyampaikan pesan-pesan politik dan sosial yang mengkritik ketidakadilan dan penindasan. Lirik lagu sering kali mengangkat isu-isu seperti hak-hak asasi manusia, kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan perjuangan masyarakat Filipina. Musik menjadi alat untuk membangkitkan kesadaran kritis di kalangan pendengarnya dan mendorong aksi positif untuk perubahan sosial yang lebih adil. Selain itu musik dalam gerakan “Himig ng Paglaya” sering kali menceritakan kisah lokal dan pengalaman masyarakat Filipina. Lagu-lagu tersebut menjadi sarana untuk memperjuangkan narasi lokal dan menghadirkan perspektif Filipina tentang sejarah, identitas, dan kehidupan sehari-hari.

Gerakan ini juga memberikan tempat yang penting bagi bahasa lokal dalam lirik dan ekspresi musik. Dalam upaya untuk memperkuat identitas budaya Filipina, gerakan ini menggunakan bahasa-bahasa lokal dalam musik mereka. Ini membantu mempertahankan keberadaan dan pentingnya bahasa-bahasa tersebut di tengah pengaruh bahasa asing yang dominan.

Pada periode itu juga para musisi kerap berkolaborasi dengan musisi dari berbagai latar belakang budaya. Melalui kolaborasi ini, musisi Filipina dapat memperkaya musik mereka dengan unsur-unsur budaya lain, seperti memadukan musik tradisional Filipina dengan musik etnis dari daerah lain di Asia Tenggara atau dengan musik kontemporer. Kolaborasi ini menghasilkan suara baru yang kaya dan memperkaya pemahaman tentang keberagaman budaya di Filipina.

Suatu Refleksi: Musik Keroncong dan Proses Dekolonisasi di Indonesia

Musik keroncong memiliki hubungan yang menarik dengan proses dekolonisasi di Indonesia. Keroncong adalah genre musik yang cukup populer pada masa Hindia Belanda. Pada saat itu, keroncong menjadi populer di kalangan masyarakat pribumi, terutama di Jawa. Meskipun diadopsi dari musik Eropa, keroncong mengalami transformasi dan penyesuaian dalam konteks budaya Indonesia, dengan menggunakan instrumen tradisional dan konten lirik yang menggambarkan kehidupan sosial di Indonesia.

Selama periode dekolonisasi, keroncong menjadi semacam simbol perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Lagu-lagu keroncong, dengan lirik-lirik yang sering berbicara tentang kehidupan sehari-hari, cinta, dan perjuangan, menjadi sarana ekspresi untuk menyampaikan aspirasi kemerdekaan dan identitas nasional.

Dalam konteks dekolonisasi, musik keroncong memainkan peran penting dalam memperkuat rasa nasionalisme dan kebangsaan Indonesia. Lagu-lagu keroncong menjadi media untuk mengartikulasikan perasaan solidaritas dan semangat perlawanan terhadap kolonialisme. Beberapa lagu diantaranya mungkin bisa kita temukan dalam karya-karya Prohar Sudharnoto yang juga pentolan LEKRA, atau karya Kusibini juga Ismail Marzuki.

Lagu “Tanah Pusaka” versi keroncong yang dibawakan oleh Sam Saimun bisa menjadi salah satu contoh bagaimana musik dapat bekerja dalam proses-proses dekolonisasi. Atau mungkin lagu populer “Bengawan Solo” dan “Jembatan Merah” ciptaan maestro keroncong, Gesang, yang di dalam lagunya terselip semangat rasa kebangsaan.

Menyigi uraian di atas kita sudah bisa menerka jika musik keroncong menjadi sarana untuk mempertahankan dan menghidupkan tradisi dan budaya lokal di tengah arus globalisasi budaya. Meskipun terpengaruh oleh pengaruh asing, keroncong berhasil bertahan dan terus berkembang dalam konteks budaya Indonesia.

Pada zaman sekarang, keroncong terus hidup dan berkembang sebagai bagian dari warisan budaya. Banyak musisi dan kelompok musik yang berdedikasi untuk melestarikan dan mempromosikan keroncong, baik di dalam negeri maupun di kancah internasional. Contoh kekinian kita bisa menilik semangat bermusik Keroncong Toegoe. Memiliki darah bangsa Portugis tak serta merta membuat Krontjong Toegoe lupa akan tanah kelahirannya, yaitu Indonesia. Hal ini tergambar dengan jelas dalam album terbarunya yang bertajuk “Madah Nusantara.” Dalam albumnya ini, Krontjong Toegoe berupaya mengangkat kekayaan musik asli Indonesia, dalam hal ini adalah lagu-lagu daerah. Setidaknya ada 10 materi lagu daerah yang terhimpun pada album ini. diantaranya Yamko Rambe Yamko (Papua), Kole-Kole (Maluku/Ambon), Benggong (NTB/Manggarai), Sipatokaan (Sulawesi Utara/Minahasa), Ampar Ampar Pisang (Kalimantan Selatan), Tanjung Perak (Jawa Timur), Lir Ilir (Jawa Tengah), Kicir Kicir (Jakarta), Tanah Tugu (Jakarta/Kampung Tugu), dan Bungong Jeumpa (Aceh).

Dalam konteks dekolonisasi, upaya untuk menghidupkan kembali dan menghormati akar tradisional keroncong, serta memperluas narasi dan representasi dalam genre ini, dapat dianggap sebagai bagian dari proses dekolonisasi budaya. Ini melibatkan pembebasan dari dominasi budaya asing dan penciptaan ruang bagi keberagaman dan otonomi budaya lokal.

Secara keseluruhan, musik keroncong di Indonesia memberikan contoh yang menarik tentang bagaimana musik dan seni secara aktif terlibat dalam proses dekolonisasi, mengangkat suara lokal, dan memperkuat identitas budaya dalam konteks pasca-kolonial.

Referensi:

Asad, Talal, ed. (1975). Anthropology and the Colonial Encounter. London: Ithaca Press.

Asad, Talal (2004) ‘Where Are the Margins of the State?’, In Veena Das and Deborah Poole (eds) Anthropology in the Margins of the State, pp. 279–88. Santa Fe, NM: School of American Research Press.

Djakababa , Yosef. (2010). “Reviewed Work(s): Connecting Histories: Decolonization and the Cold War in Southeast Asia, 1945-1962” by Christopher E. Goscha and Christian F. Ostermann. The Journal of Asian Studies , Vol. 69, No. 4. pp. 1300-1302

Foulcher, Keith (1986). Social commitment in literature and the arts; The Indonesian ‘Institute of People’s Culture’ 1950-1965. Clayton: Southeast Asian Studies, Monash University.

Ganap, V. (2020). Krontjong Toegoe: Asal Usul Musik Keroncong. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

King, V.T & Wilder, W.D. (2003). Antropologi Modern Asia Tenggara. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Lockard, Craig. (1996). Popular Musics and Politics in Modern Southeast Asia: A Comparative Analysis. Asian Music , Spring – Summer, 1996, Vol. 27, No. 2. pp. 149-199

Oliver Lovesey (2017) Decolonizing the Ear: Introduction to “Popular Music and the Postcolonial”, Popular Music and Society, 40:1, pp.1-4

Pels, Peter. (1997). The Anthropology of Colonialism: Culture, History, and the Emergence of Western Governmentality. Annual Review of Anthropology

Rhoma Dwi Aria Yuliantri & Muhidin M. Dahlan (eds). (2008). Lekra tak membakar buku; Suara senyap lembar kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965. Yogyakarta: Merakesumba

Tagliacozzo, E. et. al. (2015). Asia Inside Out: Connected Places. Cambridge & Massachusetts: Harvard University Press.

Taylor, Timothy D. “Thirty Years of World Music.” JWPM: Journal of World Popular Music 1.2 (2014): 192–200.

Dicki Lukmana. Sedang menempuh studi Antropologi di salah satu kampus di Depok. Di tengah jeda perkuliahannya, saat ini ia menjadi juru program di RuangRiung Baceprot sambil sesekali menulis, menggambar, juga bermusik. Arsip tulisannya dapat diakes di Blog pribadi dklukmana.

Post Comment