Menyensor Pameran Seni hanya Membuat Karya Seni itu Viral
Jika seni adalah bahasa perlawanan, maka sensor adalah tanda seru di akhir kalimatnya. Dalam dunia yang penuh ironi ini, pembredelan sebuah karya seni sering kali lebih efektif menyampaikan pesannya daripada memamerkannya secara tenang di sudut galeri. Kasus pembredelan pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional pertengahan bulan ini adalah bukti terbaru dari paradoks tersebut. Apa yang tadinya hanya ingin dihapus, justru menjelma menjadi fenomena viral. Seni yang terancam lenyap malah muncul dengan keberanian baru di dunia maya. Demikian organik.

Bayangkan sebuah pameran eksklusif yang mungkin hanya menarik perhatian segelintir penikmat seni, tiba-tiba menjadi sorotan nasional. Orang-orang yang sebelumnya tak pernah peduli pada seni rupa kini mencari tahu, membicarakan, bahkan memperdebatkan makna di balik karya-karya yang dilarang itu. Pembredelan, meski dilakukan dengan tangan besi, ternyata memiliki kelemahan: ia justru memberi spotlight tak terduga pada objek yang ingin dihapus.
Ini seperti mencoba membungkam seseorang yang sedang berteriak, tetapi malah memancing kerumunan yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dunia digital tidak membiarkan apa pun terhapus sepenuhnya. Lukisan yang dilarang itu akhirnya menemukan hidup baru di unggahan Instagram, diskusi Twitter, dan bahkan meme politik. Alih-alih menghilang, karya itu menyebar lebih luas dengan pesan yang semakin berani.

Fenomena ini mengingatkan kita pada gagasan Jacques Derrida tentang trace. Menurut Derrida, sesuatu yang dihapus tidak pernah sepenuhnya hilang, melainkan meninggalkan jejak yang justru menguat dalam ketidakhadirannya. Dalam kasus Yos Suprapto, lukisan yang tak diizinkan tampil di ruang galeri kini menghiasi ruang-ruang diskusi publik dengan skala yang jauh lebih besar. Pelarangan bukanlah penghapusan; ia adalah amplifikasi.
Jika ada satu pelajaran dari kasus ini, maka itu adalah: pembredelan bisa menjadi alat pemasaran terbaik. Seni yang dibiarkan diam di galeri mungkin hanya menyentuh segelintir orang. Tetapi seni yang diberedel memiliki daya ledak yang mampu menembus batas-batas ruang fisik dan menjangkau audiens global. Sensor, entah disadari atau tidak, justru memberi kehidupan baru bagi karya seni.
Konsep trace dalam karya Derrida menyatakan bahwa sesuatu yang tidak hadir tetap memiliki dampak. Lukisan yang tidak dipamerkan di galeri tetap hadir dalam ingatan kolektif masyarakat, terutama setelah tindakan pembredelan. Ketidakhadirannya justru memperbesar rasa ingin tahu dan membuka ruang interpretasi yang lebih luas. Inilah paradoks dari upaya menghapus: apa yang hilang selalu mencari cara untuk kembali.

Dalam kasus Yos Suprapto, jejak yang tertinggal justru lebih berisik daripada karya itu sendiri. Ketika ruang galeri ditutup untuk lukisannya, dunia digital terbuka lebar. Orang-orang yang sebelumnya tidak peduli pada seni kini sibuk mendokumentasikan dan membagikan gambar-gambar karya yang “dilarang.” Jejak ini menjadi lebih hidup dan lebih kuat dibandingkan kehadiran fisiknya di galeri. Fenomena ini menunjukkan bahwa sensor adalah bagian dari narasi seni itu sendiri. Seni yang diberedel membawa beban kisah baru: kisah perlawanan, ketakutan, dan upaya untuk mengontrol. Lukisan bukan lagi sekadar objek visual; ia menjadi simbol dari pertarungan antara kebebasan dan kekuasaan. Derrida akan menyebut ini sebagai transformasi makna melalui jejak.
Dalam analisis Derrida, jejak juga mengacu pada keberlanjutan waktu. Ketika karya seni disensor, ia melampaui momen saat itu dan menemukan kehidupan baru di masa depan. Karya yang diberedel hari ini mungkin akan dikenang sebagai simbol perlawanan dalam sejarah. Dengan kata lain, sensor hanya menunda, bukan menghapus. Konsep ini relevan dalam konteks seni rupa modern, di mana ruang digital mempercepat penyebaran jejak. Jika dulu sebuah lukisan yang dilarang hanya bisa ditemukan di tempat-tempat tersembunyi, kini ia bisa diakses dalam hitungan detik melalui internet. Jejak yang ditinggalkan menjadi lebih luas, lebih cair, dan lebih sulit untuk dikontrol.
Sensor juga membuka ruang ironi yang tajam. Mereka yang membredel sering kali berpikir bahwa mereka mengendalikan narasi, tetapi sebenarnya mereka sedang memberdayakan seni untuk berbicara lebih keras. Seni yang tidak diizinkan muncul di galeri justru menjadi suara yang lebih lantang di ruang publik.

Derrida juga membahas tentang bagaimana jejak membawa ambiguitas. Ketika seni kehilangan konteks asalnya, ia sering kali direduksi menjadi simbol yang lebih sederhana atau bahkan dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Lukisan Yos Suprapto, misalnya, bisa menjadi meme lucu bagi sebagian orang atau simbol perjuangan bagi yang lain. Maknanya berubah sesuai dengan ruang di mana ia berada. Namun, ambiguitas ini juga menjadi kekuatan seni. Ia mampu beradaptasi dengan konteks baru dan tetap relevan meski berada di luar kerangka asalnya. Seni yang diberedel tidak lagi milik sang seniman; ia menjadi milik masyarakat yang menafsirkannya sesuai kebutuhan mereka.
Sensor, dalam konteks ini, bukan hanya tindakan politik, tetapi juga tindakan estetis. Ia menciptakan drama, konflik, dan narasi baru yang memperkuat daya tarik seni itu sendiri. Derrida mungkin akan melihat ini sebagai permainan antara yang hadir dan yang tidak hadir, antara yang nyata dan yang simbolis. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa kekuasaan yang mencoba mengendalikan seni sering kali terlalu cemas. Mereka melihat seni sebagai ancaman, bukan sebagai refleksi. Padahal, seni yang dilarang justru mencerminkan ketidakamanan dan kelemahan kekuasaan itu sendiri.
Derrida sering menyebut bahwa setiap penghapusan membawa bekas yang tak terhapuskan. Dalam konteks seni, bekas ini adalah diskusi, debat, dan emosi yang muncul setelah sensor dilakukan. Dengan kata lain, sensor bukanlah akhir dari cerita, melainkan awal dari babak baru.

Dalam konteks seni modern, ruang digital mempercepat proses ini. Lukisan yang dilarang tidak lagi terbatas pada ruang galeri; ia hidup di media sosial, forum online, dan diskusi virtual. Sensor menjadi katalisator yang memperluas jangkauan seni ke audiens yang lebih luas. Kita juga bisa melihat fenomena ini sebagai bentuk resistensi seni terhadap otoritas. Derrida akan menyebut ini sebagai dekonstruksi: seni membongkar kekuasaan melalui kehadirannya yang tak bisa dikendalikan. Sensor, dalam arti ini, adalah bagian dari narasi dekonstruksi itu sendiri.
Dalam setiap upaya untuk menghapus seni, ada pengakuan diam-diam tentang kekuatannya. Kekuasaan yang mencoba membungkam seni sebenarnya sedang memperlihatkan ketakutannya. Derrida mungkin akan menyebut ini sebagai bentuk kehadiran melalui ketidakhadiran. Analisis ini menunjukkan bahwa seni yang diberedel tidak pernah benar-benar kalah. Ia hanya menemukan cara baru untuk muncul, dengan suara yang lebih lantang dan makna yang lebih luas. Dalam konteks ini, sensor menjadi alat yang memperkuat, bukan melemahkan.
Derrida juga mengingatkan bahwa jejak selalu membawa elemen masa depan. Seni yang dilarang hari ini mungkin akan dikenang sebagai simbol kebebasan di masa depan. Jejak ini adalah pengingat bahwa seni selalu melampaui batas-batas waktu dan ruang. Pembredelan seni adalah bukti bahwa seni memiliki kekuatan yang tidak bisa diabaikan. Ia adalah cermin dari ketakutan dan ketidakamanan kekuasaan, sekaligus simbol dari keberanian dan kebebasan. Dalam dunia yang penuh jejak, seni selalu menemukan cara untuk hidup.
Deri Hudaya. Tulisan-tulisannya terdokumentasikan di HumaNiniNora.
2 comments