Jokowi, OCCRP, dan Joker: Sebuah Satire Tentang Orang Baik

Ilustrasi dibuat denganAI

Jokowi, OCCRP, dan Joker: Sebuah Satire Tentang Orang Baik

Jokowi pernah menjadi simbol harapan. Ia adalah “orang biasa” yang mendobrak elitisme politik. Dari seorang pengusaha furnitur menjadi wali kota, gubernur, hingga presiden. Wajahnya sederhana, gayanya membumi, dan narasinya tentang kerja nyata menggetarkan hati rakyat. Ia adalah antitesis dari para politikus mapan, seperti senyum hangat di tengah musim dingin.

Namun, bayangan itu berubah pekan ini. Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), lembaga investigasi bergengsi, menyebut Jokowi sebagai salah satu pemimpin terkorup. Dunia terkejut. Dari seorang yang digadang-gadang sebagai tokoh reformasi, Jokowi kini menjadi subjek ironi global. Bukankah ia pernah menjadi pahlawan rakyat kecil? Lalu, bagaimana bisa ia sekarang disejajarkan dengan penguasa yang korup?

Orang Baik yang Tersakiti?

Dalam film Joker (2019), Arthur Fleck berkata, “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti.” Ungkapan ini mungkin bisa diterima untuk karakter tragis di layar lebar. Arthur adalah korban sistem yang rusak, yang akhirnya berubah menjadi sosok destruktif. Tapi bagaimana jika kita membawa narasi ini ke panggung politik? Apakah seorang pemimpin seperti Jokowi berhak beralih menjadi korup karena merasa selalu diserang atau dikritik?

Jokowi, seperti Arthur, awalnya tampil sebagai korban: korban oligarki, korban sistem yang lamban. Tapi berbeda dengan Joker, seorang pemimpin negara memegang amanah yang jauh lebih besar. Kritik, serangan, bahkan pengkhianatan adalah bagian dari paket pekerjaan seorang presiden. Tidak ada ruang untuk membenarkan keburukan atas dasar rasa sakit pribadi. Ketika ia mulai bermain dengan kekuasaan, membiarkan korupsi mengakar, kita tidak bisa mengatakan, “Ia hanya manusia.” Seorang pemimpin adalah simbol, bukan sekadar individu.

Dan di sinilah letak paradoks terbesar: dalam politik, narasi orang baik yang jatuh karena kritik terus-menerus justru menjadi bukti ketidaksiapannya memimpin. Kritik bukan alasan untuk menyimpang. Sebaliknya, kritik adalah kompas yang memaksa seorang pemimpin kembali ke jalur. Jika kritik berubah menjadi racun yang membuat seorang pemimpin memilih jalan korup, maka mungkin ia memang bukan pemimpin yang kita kira.

Namun, narasi orang baik yang berubah menjadi buruk sering kali menyenangkan bagi publik. Ada rasa ironi yang menghibur ketika simbol harapan runtuh. Di sinilah media dan opini publik memainkan peran. Jokowi, yang awalnya dirayakan sebagai sosok sederhana, kini menjadi sasaran cemoohan. Ia mungkin merasa dunia tidak adil, tetapi seorang pemimpin tidak bisa memohon simpati. Ia dituntut untuk tetap berdiri kokoh, bahkan ketika badai kritik menghantam tanpa henti.

Ironi terbesar dari kepemimpinan adalah bahwa semakin tinggi harapan, semakin besar pula kekecewaan. Jokowi, yang digambarkan sebagai antitesis dari korupsi, menjadi cermin retak bagi rakyatnya. Rakyat bertanya: apakah kekuasaan benar-benar bisa merusak secepat itu? Atau, apakah ini hanya pembuktian bahwa sistem yang kita percayai sudah rusak sejak awal?

Jika kita menelusuri sejarah, para pemimpin yang gagal sering kali berlindung di balik dalih “saya hanya manusia biasa.” Tapi rakyat tidak memilih manusia biasa untuk memimpin. Mereka memilih simbol harapan, sosok yang diyakini bisa mengatasi segala tantangan. Ketika simbol itu runtuh, luka kolektif yang ditinggalkan jauh lebih dalam daripada sekadar kasus korupsi.

Mungkin ada pertanyaan yang lebih tajam: bagaimana kita, sebagai rakyat, membentuk pemimpin seperti Jokowi? Apakah kita terlalu memuja hingga lupa mengawasi? Dalam hal ini, kritik publik bukan hanya ujian bagi pemimpin, tetapi juga refleksi bagi masyarakat itu sendiri.

Antara Realitas dan Fantasi

Arthur Fleck menjadi Joker karena ia tidak punya pilihan lain. Namun Jokowi bukanlah Arthur. Ia memiliki akses ke kekuasaan, dukungan rakyat, dan peluang untuk membuat perubahan nyata. Jika ia memilih jalan yang kelam, itu adalah keputusannya sendiri. OCCRP mungkin telah melemparkan Jokowi ke panggung dunia sebagai simbol korupsi, tetapi lebih penting bagi kita untuk bertanya: apa yang kita pelajari dari ini?

Seorang pemimpin, yang memulai kariernya sebagai simbol harapan, tidak bisa berlindung di balik narasi manusiawi ketika ia gagal. Karena dalam politik, menjadi baik saja tidak cukup. Seorang pemimpin harus teguh, bahkan ketika dunia runtuh di sekitarnya. Jika tidak, ia hanya akan menjadi bahan satire, seperti sebuah film tragis yang mengundang tawa getir.

Jadi, apakah Jokowi hanya korban situasi politik atau sesungguhnya pemeran utama dalam tragedi korupsi ini? Seperti kata Joker: “It’s not about the money; it’s about sending a message.” Mungkin kali ini, pesan itu ditujukan oleh OCCRP ke Jokowi.

Tulisan-tulisannya didokumentasikan di HumaNiniNora.

Post Comment