Menjadi Pohon, Menolak Dunia: Metamorfosis dalam Vegetarian

Menjadi Pohon, Menolak Dunia: Metamorfosis dalam Vegetarian

Ada sebuah cerita dalam mitos Nusantara tentang Nyi Roro Kidul, penguasa Laut Selatan. Perempuan itu memilih laut untuk melarikan diri dari dunia manusia yang penuh kekejaman. Tubuhnya berubah jadi gelombang, gaun yang dikenakannya menjadi buih, sementara hatinya karam di ceruk terdalam Laut Selatan. Tapi apakah tindakan itu benar-benar pelarian? Ataukah itu bentuk kekuasaan baru? Dalam transformasinya, ada keheningan yang lebih dalam dari sekadar kabur; ia menolak dunia sekaligus menguasainya.

Sementara itu Han Kang, dalam novel Vegetarian, mengisahkan Yeong-hye, seorang perempuan yang memutuskan berhenti makan daging. Bagi orang-orang di sekitarnya, ini bukan hanya keputusan kecil tentang diet. Ini adalah ancaman terhadap tatanan. Sebab, bagi dunia yang percaya bahwa norma adalah fondasi, setiap penolakan sekecil apa pun adalah retakan yang berbahaya. Dari awal, kita tahu bahwa ini bukan kisah tentang vegetarianisme. Ini adalah cerita tentang seorang perempuan yang menolak bermain dalam permainan yang dipaksakan kepadanya.

Yeong-hye adalah istri yang “biasa saja.” Begitu biasa, hingga suaminya merasa bahwa itulah alasan terbaik untuk menikahinya. Tapi ketika ia memutuskan untuk tidak makan daging, “kebiasaannya” itu mulai dipertanyakan. Bagaimana mungkin seorang perempuan yang begitu patuh tiba-tiba memilih jalan yang tidak sesuai? Suaminya menjadi cermin bagi masyarakat yang tidak pernah siap menghadapi pembangkangan, sekecil apa pun.

Tubuh Yeong-hye menjadi pusat konflik. Kurus, rapuh, dan perlahan menjauh dari apa yang disebut “manusia.” Tapi dalam rapuhnya, ada kekuatan yang tidak bisa disentuh. Seperti daun kering yang terbang, tubuhnya membawa pesan: ia tidak lagi ingin menjadi bagian dari dunia ini. Dalam mitos-mitos Jawa, manusia yang melampaui batas sering dihukum dengan menjadi sesuatu yang lain: harimau, buaya, atau batu. Yeong-hye, sebaliknya, memilih transformasinya sendiri. Ia ingin menjadi pohon.

Namun, dunia tidak membiarkan seseorang berubah begitu saja. Keluarganya memaksa. Mereka menyeretnya kembali ke meja makan, mencoba menjejalkan daging ke mulutnya. Kekerasan menjadi alat untuk “mengembalikan” norma. Ironisnya, keputusan Yeong-hye untuk berhenti makan daging, mungkin lahir dari rasa belas kasih terhadap makhluk hidup lain, justru membuatnya menjadi korban kekejaman yang lebih besar. Tubuhnya, yang ia ingin lepaskan, justru menjadi medan perang.

Ada adegan di mana tubuh Yeong-hye dilukis dengan bunga oleh seorang seniman. Ia menjadi kanvas, sebuah karya seni hidup. Tapi apakah ini pembebasan? Ataukah ini bentuk lain dari objektifikasi? Dalam dunia Vegetarian, setiap pelarian membawa jebakannya sendiri. Bahkan di saat ia mencoba melarikan diri dari manusia, Yeong-hye tetap menjadi objek keinginan dan kontrol.

Yang membuat novel ini begitu mengguncang adalah absurditasnya. Bagaimana mungkin sebuah keputusan tentang makanan bisa mengguncang keluarga, institusi, bahkan tatanan sosial? Di sinilah Han Kang bermain dengan ironi. Dunia yang disebut “normal” ini ternyata begitu rapuh, begitu paranoid terhadap hal-hal kecil yang menyimpang, hingga ia menggunakan kekerasan untuk mempertahankan dirinya.

Yeong-hye sendiri, di tengah kekacauan itu, semakin tenggelam ke dalam sunyi. Ia tidak lagi melawan. Dalam salah satu momen paling menyedihkan, ia berkata, “Aku ingin menjadi pohon.” Pernyataan itu sederhana, tapi memuat penolakan total terhadap dunia manusia. Bagi Yeong-hye, menjadi pohon adalah bentuk pembebasan terakhir – meski mungkin itu juga adalah bentuk kekalahan.

Seperti halnya Nyi Roro Kidul yang memilih laut, Yeong-hye memilih tubuhnya sendiri sebagai medan transformasi. Tapi, apakah transformasi itu membawanya pada kebebasan, atau justru pada kehancuran? Han Kang tidak memberikan jawaban. Ia hanya mengarahkan kita pada pertanyaan: apakah manusia benar-benar bisa bebas? Ataukah kebebasan itu sendiri adalah ilusi yang diciptakan oleh dunia yang ingin menguasai kita?

Di akhir cerita, Yeong-hye tetap menjadi teka-teki. Yang penting darinya adalah bahwa ia telah berani memilih. Dalam dunia yang memaksakan norma, satu pilihan untuk menolak –sekecil dan seabsurd apa pun– bukan sesuatu yang gampang dilakukan.

Deri Hudaya, penulis di HumaNiniNora.

Post Comment