Pembusukan Otak: Brain Rot

Pembusukan Otak: Brain Rot

Di zaman di mana informasi mengalir lebih cepat daripada kopi pagi kita, “brain rot” seakan menjadi pemandangan sehari-hari. Kita hidup dalam era digital yang penuh kekacauan, di mana kebun pikiran kita disiram dengan limbah informasi dari internet. Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (2010) mengungkapkan bahwa internet dapat mengubah cara kita berpikir dan berinteraksi dengan informasi, sehingga membuat kita lebih sulit untuk berkonsentrasi dan memproses informasi dengan dalam.

Setiap kali kita membuka ponsel, berita sensasional menyambut kita seperti surat kabar pagi dengan semua berita terburuknya. Masyarakat kini lebih memilih “fast food informasi” ketimbang analisis yang mendalam—layaknya memilih burger daripada salad. Pendekatan ini mengubah cara kita berargumentasi dan berdebat, menimbulkan pemahaman yang dangkal dan reaksi emosional yang lebih kuat dibandingkan rasionalitas.

Brendan Nyhan, dalam penelitiannya yang berjudul Why the Public Doesn’t Believe Science (2010), mengungkapkan bahwa banyaknya pilihan informasi justru membuat kita merasa lebih berpengetahuan, tetapi pada akhirnya menciptakan kebingungan. Kita terjebak dalam labirin pilihan yang murung, seperti anak kecil di toko permen yang tidak bisa memilih, di mana setiap keputusan yang diambil ternyata membawa dampak besar.

Di tengah penyebaran viral informasi—bukan virus yang disebarkan oleh kelelawar, tetapi informasi yang mengakibatkan kekacauan mental—kita sering terjebak dalam apa yang disebut sebagai “echo chamber.” Di dalamnya, kita hanya mendengar informasi yang sejalan dengan pandangan kita, membuat pemikiran kritis menjadi tanda tanya. Ketika kita tahu segalanya, kita sebenarnya tidak tahu apa-apa. Bayangkan papan tulis penuh coretan yang tidak pernah dibersihkan; inilah kondisi yang dihadapi banyak orang saat ini.

Namun, di saat berjuang melawan “brain rot,” muncul pertanyaan: Apakah solusinya berpuasa dari informasi? Di tengah ketergantungan pada media sosial dan informasi instan, ide ini menjadi tantangan. Sebuah penelitian oleh American Psychological Association dalam artikel berjudul Social Media Use Increases Feelings of Isolation (2020) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial dapat menciptakan perasaan isolasi yang ekstrem meskipun kita terhubung dengan banyak orang.

Di sini, kita melihat bahwa generasi yang dibesarkan oleh informasi tanpa batas lebih terhubung tetapi juga lebih terasing. Di satu sisi, ia menjanjikan pengetahuan luas; di sisi lain, ia menciptakan kesenjangan dalam komunikasi yang mendalam. Kita berbicara dengan banyak orang tetapi jarang menemukan makna sejati—seperti merayakan pesta tetapi tidak mendengarkan lagu yang dimainkan.

Menyadari hal ini, ada dorongan untuk kembali ke media klasik: membaca buku dan berbicara langsung. Namun, cara ini dianggap kuno oleh generasi yang terikat dengan internet, menciptakan paradigma baru di mana kecepatan lebih dihargai daripada kedalaman. Ketika kita mencoba untuk hadir dengan cara yang mindful, pikiran kita sering berkelana ke artikel lain yang menunggu untuk dibaca, seperti pengunjung yang datang ke konferensi yang membingungkan.

Dengan meningkatnya kesadaran tentang kesehatan mental, banyak yang berbalik ke praktik mindfulness sebagai cara untuk mengatasi “brain rot.” Dalam semangat ini, kita juga melihat fenomena influencer yang mengajarkan kita tentang “kehidupan sempurna.” Namun, kenyataannya adalah banyak dari kita berjuang melawan kekacauan mental yang mereka ciptakan. Meskipun influencer tampak bahagia di media sosial, tidak ada yang menunjukkan kompleksitas dari perjuangan sehari-hari.

Kita sering kali melihat layar lebih dari orang-orang terdekat kita. Ketergantungan ini memiliki dampak besar pada hubungan kita, di mana perhatian kita terbagi dan sering kali terabaikan. Sebuah artikel oleh Pew Research Center berjudul The Role of Technology in Teen Friendships (2018) menunjukkan bahwa remaja melaporkan bahwa mereka lebih merasa terhubung secara digital, tetapi lebih kesepian dalam interaksi tatap muka.

Di ujung jalan, “brain rot” bukanlah akhir dari segalanya; ia bisa menjadi panggilan untuk menemukan kembali pemahaman diri. Kembali ke saat di mana informasi berarti dan dapat dipahami dengan benar akan sangat berharga. Mungkin kita perlu menjadi makhluk hibrid, beradaptasi dengan dunia informasi tanpa mengorbankan kedalaman berpikir kita, menemukan cara untuk memilah apa yang benar-benar

Post Comment