AI dalam Cengkeraman Kekuasaan
Stuart Hall, seorang pemikir terkemuka dalam kajian budaya, pernah menyatakan bahwa teknologi tidak hanya menciptakan alat, tetapi juga menciptakan makna-makna baru yang membentuk cara kita melihat dunia. Pernyataan ini menggambarkan bagaimana teknologi selalu menjadi ruang pertemuan antara ideologi, kekuasaan, dan budaya. Di era kecerdasan buatan (AI), hubungan ini semakin kompleks. AI tidak hanya menjadi alat untuk menyelesaikan masalah teknis, tetapi juga menjadi simbol kekuasaan global yang menjanjikan perubahan besar di tingkat lokal.
Percakapan antara Jensen Huang, CEO NVIDIA, dengan Najwa Shihab di acara Mata Najwa adalah salah satu contoh bagaimana wacana teknologi diproduksi, didistribusikan, dan diterima dalam konteks lokal. Dalam dialog yang berlangsung di Gulai Tikungan, kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Jensen Huang tidak hanya berbicara tentang inovasi AI, tetapi juga memaparkan visinya untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat AI di Asia. Kehadirannya di Indonesia, yang ditandai dengan deklarasi “Hari AI,” menjadi momen penting yang menegaskan peran teknologi sebagai kekuatan transformasi.
Namun, di balik optimisme ini, terdapat pertanyaan-pertanyaan kritis: Apakah AI benar-benar memberikan akses yang setara kepada semua orang, atau justru memperlebar kesenjangan? Apakah narasi yang dibangun dalam percakapan ini mencerminkan kepentingan global semata, atau juga memberi ruang bagi kedaulatan lokal? Melalui teori Cultural Studies, kita dapat melihat bahwa teknologi seperti AI bukan sekadar produk inovasi, tetapi juga medan pertarungan ideologi, identitas, dan representasi budaya.
Esai ini akan membedah percakapan tersebut dengan perspektif kritis, menelusuri bagaimana AI diposisikan sebagai simbol kekuasaan, bagaimana identitas budaya direpresentasikan melalui media, dan bagaimana ideologi teknologi dijajakan dalam narasi hegemonik. Dengan demikian, kita dapat memahami AI bukan hanya sebagai teknologi, tetapi juga sebagai alat pembentuk makna dalam lanskap budaya global dan lokal.
AI sebagai Simbol Kekuasaan Global:
Ketika Jensen Huang berbicara tentang AI di tengah hidangan sederhana Gulai Tikungan, ia tidak hanya menawarkan cerita teknologi, tetapi juga menegaskan posisi AI sebagai simbol kekuasaan global. Dalam percakapannya dengan Najwa Shihab, Huang menekankan bagaimana NVIDIA telah menjadi pionir dalam teknologi GPU dan kecerdasan buatan, membawa inovasi yang diklaim mampu mengubah peradaban manusia. Namun, dalam kerangka teori Cultural Studies, pernyataan semacam ini perlu dilihat sebagai produksi narasi hegemonik yang menempatkan AI di puncak hierarki teknologi global.
Stuart Hall dalam teorinya menjelaskan bahwa media adalah alat yang mereproduksi ideologi dominan (Hall, 1980). Dengan membingkai AI sebagai solusi universal, narasi ini memperkuat posisi korporasi besar seperti NVIDIA sebagai penjaga gerbang inovasi. Mereka tidak hanya menawarkan teknologi, tetapi juga mendefinisikan standar apa yang dianggap “maju” dan “relevan.” Dalam hal ini, AI menjadi simbol modernitas yang tidak dapat ditolak, memosisikan negara-negara berkembang seperti Indonesia sebagai konsumen, bukan produsen pengetahuan.
Selain itu, AI diposisikan sebagai alat kekuasaan yang dapat menyeimbangkan atau bahkan memperluas hegemoni negara-negara maju. Jensen Huang, dalam pernyataannya, menunjukkan bahwa teknologi AI dapat mengatasi kesenjangan teknologi dengan memberikan akses kepada semua orang, termasuk pelaku bisnis kecil. Namun, benarkah demikian? Kajian budaya melihat janji semacam ini dengan skeptis, karena distribusi teknologi sering kali tidak setara. Negara-negara maju, melalui perusahaan multinasional, tetap mengendalikan infrastruktur dan pengetahuan yang diperlukan untuk mengoperasikan teknologi ini, meninggalkan negara berkembang dalam posisi ketergantungan.
Teknologi AI, dengan kemampuan untuk menganalisis data dalam skala besar dan memengaruhi keputusan global, semakin memperkuat posisi dominan kekuatan-kekuatan besar dunia. Sebagai contoh, NVIDIA tidak hanya berfokus pada pengembangan perangkat keras, tetapi juga pada bagaimana teknologi ini dapat diterapkan di berbagai sektor strategis seperti militer, kesehatan, dan transportasi. Hal ini mencerminkan apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai hegemoni: dominasi yang tidak hanya dilakukan melalui kekuatan fisik, tetapi juga melalui konsensus ideologis yang dibangun melalui narasi media dan kebudayaan.
Yang menarik, narasi ini tidak sepenuhnya ditolak oleh audiens lokal. Sebaliknya, diskusi antara Huang dan Shihab cenderung mengafirmasi posisi AI sebagai penyelamat ekonomi lokal. Namun, bagi pengamat kritis, optimisme ini tampak sebagai bagian dari strategi untuk menciptakan penerimaan terhadap dominasi teknologi global. Ketika Huang menyebut bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan AI, ia sebenarnya mengisyaratkan perlunya adaptasi terhadap standar global yang telah ditentukan oleh korporasi besar. Dengan kata lain, Indonesia tidak benar-benar menjadi pelaku, tetapi tetap dalam posisi yang mengikuti arahan pemain utama teknologi global.
Penting untuk memahami bahwa AI tidak hanya menjadi simbol kemajuan, tetapi juga alat geopolitik. Negara-negara yang menguasai teknologi ini memiliki kemampuan untuk memengaruhi arah kebijakan global, mengendalikan distribusi sumber daya, dan membentuk opini publik. AI, dalam konteks ini, tidak hanya merepresentasikan kekuasaan teknologi, tetapi juga kekuasaan budaya, ekonomi, dan politik.
Sebagai alat kajian budaya, teori Hall membantu kita memahami bahwa narasi seperti yang dibangun dalam percakapan ini adalah bagian dari proyek besar untuk menanamkan ideologi teknologi sebagai elemen yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, kritik terhadap dominasi global ini bukan sekadar tentang teknologi itu sendiri, tetapi juga tentang bagaimana makna-makna sosial dibentuk dan diterima dalam konteks lokal.
Identitas dan Representasi Media
Percakapan antara Jensen Huang dan Najwa Shihab bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal bagaimana identitas dan representasi dibangun melalui media. Dalam konteks ini, identitas Jensen Huang sebagai CEO NVIDIA tidak dapat dilepaskan dari narasi media yang mengangkatnya sebagai “manusia 2000 triliun” atau “Taylor Swift”-nya teknologi. Julukan ini, meskipun terdengar mengagumkan, adalah bagian dari strategi media untuk membentuk citra tertentu yang menghubungkan kecerdasan buatan dengan kemewahan, kekuatan, dan daya tarik budaya pop.
Menurut Stuart Hall, identitas adalah konstruksi yang dibentuk melalui representasi (Hall, 1996). Dalam hal ini, media membentuk Huang sebagai simbol inovasi teknologi yang tak terelakkan. Narasi ini mencerminkan bagaimana media sering kali berperan sebagai perantara ideologi dominan yang mengukuhkan posisi tertentu dalam struktur kekuasaan global. Huang tidak hanya direpresentasikan sebagai individu sukses, tetapi juga sebagai ikon dari hegemoni teknologi global yang dimiliki oleh korporasi besar seperti NVIDIA.
Namun, representasi ini juga memperlihatkan bagaimana media cenderung mengabaikan dimensi lain dari identitas, seperti keragaman pengalaman dan posisi sosial dari audiens lokal. Ketika percakapan ini dipublikasikan dalam format yang mengedepankan optimisme terhadap AI, perspektif kritis terhadap dampaknya di negara-negara berkembang seperti Indonesia menjadi terpinggirkan. Media membingkai AI sebagai solusi universal, tetapi mengabaikan fakta bahwa akses terhadap teknologi ini sering kali tidak setara.
Identitas Indonesia sebagai “negara berkembang” juga muncul dalam percakapan ini, terutama ketika Huang menyebutkan potensi besar negara ini dalam mengadopsi teknologi AI. Pernyataan semacam ini, meskipun terdengar positif, sebenarnya memperkuat stereotip lama bahwa negara-negara berkembang harus mengejar ketertinggalan teknologi dari negara maju. Representasi semacam ini menciptakan narasi yang memosisikan Indonesia bukan sebagai inovator, tetapi sebagai pengikut dalam arus globalisasi teknologi.
Dalam teori Cultural Studies, representasi media juga membangun realitas sosial yang memengaruhi cara kita memandang dunia. Ketika AI direpresentasikan sebagai simbol kemajuan, ia sekaligus menjadi alat legitimasi bagi kekuatan global yang memegang kendali atas teknologi tersebut. Media tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk opini publik tentang apa yang dianggap penting, relevan, dan layak untuk diadopsi. Dalam hal ini, percakapan antara Huang dan Shihab menjadi contoh bagaimana media memainkan peran penting dalam membentuk narasi dominasi teknologi global.
Namun, representasi ini juga membuka ruang untuk resistensi. Dalam konteks lokal, misalnya, ada peluang untuk mendekonstruksi narasi yang membingkai AI sebagai alat universal dan memulai diskusi kritis tentang dampaknya terhadap masyarakat Indonesia. Media alternatif dapat memainkan peran penting dalam menghadirkan perspektif yang berbeda, yang lebih berakar pada pengalaman lokal dan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, identitas dan representasi media dalam percakapan ini tidak hanya soal bagaimana Huang atau AI digambarkan, tetapi juga soal bagaimana audiens lokal memahami dan merespons narasi tersebut. Media, seperti yang diungkapkan Hall, adalah medan pertempuran di mana makna diproduksi, dinegosiasikan, dan diperebutkan. Maka, tantangan bagi kita adalah untuk tidak hanya menerima narasi yang disajikan, tetapi juga mempertanyakan bagaimana dan untuk siapa narasi tersebut dibangun.
Teknologi Sebagai Ideologi Baru
Dalam percakapan antara Jensen Huang dan Najwa Shihab, tersirat gagasan bahwa teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), telah menjadi semacam ideologi baru di era modern. Huang berbicara dengan optimisme tentang bagaimana AI dapat menjadi solusi universal untuk berbagai masalah, mulai dari pendidikan hingga ekonomi. Narasi ini seolah memperkuat ideologi teknologi sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, sesuatu yang harus diterima dan diadopsi oleh semua negara, termasuk Indonesia.
Menurut Louis Althusser (Althusser, 1971), ideologi tidak hanya mengatur cara individu memahami dunia, tetapi juga mengarahkan tindakan mereka dalam struktur sosial. Dalam hal ini, AI dipromosikan sebagai sebuah ideologi yang mengatur cara kita berpikir tentang kemajuan, efisiensi, dan masa depan. Pernyataan Huang bahwa AI dapat membantu bisnis kecil atau mempercepat penemuan ilmiah adalah contoh bagaimana ideologi teknologi berfungsi sebagai narasi hegemonik.
Namun, seperti semua ideologi, teknologi sebagai ideologi memiliki bias-bias yang melekat. Pertama, teknologi sering kali dianggap netral, padahal ia adalah hasil konstruksi sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. AI, misalnya, tidak hanya dikembangkan untuk memecahkan masalah, tetapi juga untuk melayani kepentingan korporasi besar yang mengendalikannya. Ideologi ini cenderung mengabaikan ketimpangan yang dihasilkan oleh distribusi teknologi yang tidak merata, baik di tingkat global maupun lokal.
Di Indonesia, misalnya, optimisme tentang AI sering kali bertabrakan dengan kenyataan sosial. Sebagian besar populasi masih berjuang untuk mendapatkan akses dasar terhadap pendidikan dan teknologi. Dalam konteks ini, ideologi teknologi tidak hanya menawarkan janji-janji, tetapi juga menutupi ketimpangan struktural yang membuat sebagian besar masyarakat tidak mampu menikmati manfaatnya. Ideologi ini, seperti yang disampaikan oleh Huang, tidak selalu relevan dengan kebutuhan masyarakat di negara-negara berkembang.
Selain itu, ideologi teknologi cenderung mengubah cara manusia memandang dirinya sendiri. Dengan AI yang semakin canggih, ada narasi bahwa manusia harus beradaptasi dengan teknologi, bukan sebaliknya. Hal ini mencerminkan apa yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai “hiperrealitas,” di mana teknologi menciptakan realitas yang menggantikan pengalaman langsung manusia (Baudrillard, 1983). Dalam kasus ini, manusia diposisikan sebagai subjek pasif yang hanya mengikuti arus perkembangan teknologi.
Ideologi teknologi juga menciptakan mitos-mitos baru. Sebagai contoh, Huang menggambarkan AI sebagai alat yang dapat “mengurangi kesenjangan teknologi” dan “membawa kemajuan untuk semua.” Mitos ini memperkuat gagasan bahwa teknologi adalah solusi universal, padahal kenyataannya, akses terhadap AI dan manfaatnya sangat bergantung pada konteks politik dan ekonomi. Di Indonesia, janji-janji ini sering kali terdengar utopis, terutama ketika infrastruktur dasar seperti akses internet masih belum merata.
Namun, penting untuk diingat bahwa ideologi teknologi tidak harus diterima begitu saja. Salah satu cara untuk melawan hegemoni ideologi ini adalah dengan mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh perkembangan teknologi seperti AI. Dalam percakapan ini, peran media seperti Mata Najwa sangat penting, karena dapat menjadi ruang untuk mendekonstruksi narasi dominan dan mengangkat perspektif yang lebih kritis.
Sebagai penutup untuk poin ini, teknologi sebagai ideologi baru bukanlah sesuatu yang intrinsik baik atau buruk. Yang menjadi masalah adalah bagaimana ideologi ini sering kali digunakan untuk mempertahankan ketimpangan kekuasaan dan sumber daya. Seperti yang diungkapkan Althusser, ideologi adalah alat yang digunakan oleh kekuatan dominan untuk mempertahankan status quo. Oleh karena itu, tantangan bagi kita adalah untuk melihat teknologi, termasuk AI, tidak hanya sebagai alat, tetapi juga sebagai arena politik dan sosial yang harus terus diawasi dan dikritisi.
Hegemoni Media dan Komodifikasi AI
Dalam percakapan antara Jensen Huang dan Najwa Shihab, peran media sebagai pembentuk opini publik terhadap kecerdasan buatan (AI) tampak begitu menonjol. Dengan menampilkan Huang sebagai figur visioner, media seperti Mata Najwa membantu menciptakan narasi bahwa AI adalah masa depan yang tak terelakkan. Representasi ini mencerminkan konsep hegemoni Antonio Gramsci (Gramsci, 1971), di mana kekuatan dominan tidak hanya menguasai alat-alat material, tetapi juga alat-alat budaya, seperti media, untuk mengendalikan cara masyarakat memahami dunia.
Media bukan hanya platform untuk menyebarkan informasi; ia juga menjadi mekanisme hegemonik yang menyaring, membingkai, dan sering kali mensterilkan narasi dominan. Dalam konteks AI, media cenderung mengangkat sisi-sisi optimis seperti efisiensi, inovasi, dan kemajuan. Percakapan antara Huang dan Najwa, misalnya, menggambarkan AI sebagai solusi bagi bisnis kecil, pendidikan, dan sains. Namun, media jarang membahas sisi gelap AI, seperti eksploitasi data, ketidakadilan algoritmik, atau dampaknya terhadap pekerjaan. Representasi ini adalah bagian dari hegemoni budaya yang meminimalkan kritik terhadap AI sebagai komoditas global.
Komodifikasi AI, di sisi lain, adalah bentuk nyata dari bagaimana teknologi ini diubah menjadi produk kapitalis. AI tidak hanya menjadi alat, tetapi juga menjadi komoditas yang dijual dalam berbagai bentuk—dari perangkat lunak hingga layanan berbasis cloud. Jensen Huang, sebagai CEO NVIDIA, adalah simbol dari proses komodifikasi ini. Perusahaan seperti NVIDIA tidak hanya memproduksi GPU untuk AI, tetapi juga menciptakan ekosistem teknologi yang mendorong ketergantungan terhadap produk mereka. Dalam hal ini, AI tidak hanya dikomodifikasi, tetapi juga menjadi penentu kekuatan ekonomi global.
Gramsci mengajarkan bahwa hegemoni tidak hanya bekerja melalui paksaan, tetapi juga melalui persetujuan. Dalam konteks ini, media memainkan peran penting dalam menciptakan persetujuan kolektif terhadap ide bahwa AI adalah kebutuhan mutlak. Narasi ini memperkuat posisi perusahaan seperti NVIDIA sebagai aktor dominan dalam pasar global. Media, seperti yang ditunjukkan dalam percakapan ini, sering kali menjadi agen yang membantu mengukuhkan dominasi korporasi besar dengan cara membingkai AI sebagai jalan menuju masa depan yang lebih baik, tanpa mempertanyakan siapa yang benar-benar diuntungkan.
Komodifikasi AI juga berimplikasi pada bagaimana masyarakat memahami teknologi ini. Dalam masyarakat kapitalis, komoditas tidak hanya memiliki nilai guna, tetapi juga nilai simbolik. AI, misalnya, bukan hanya dilihat sebagai alat untuk memecahkan masalah, tetapi juga sebagai simbol kemajuan dan modernitas. Percakapan antara Huang dan Najwa mencerminkan proses ini, di mana AI diposisikan sebagai simbol status, baik bagi individu maupun negara. Dalam hal ini, AI menjadi bagian dari apa yang disebut Pierre Bourdieu sebagai modal simbolik (Bourdieu, 1986), di mana penguasaan atas teknologi menjadi tanda keunggulan dan kekuasaan.
Namun, komodifikasi AI juga menciptakan eksklusi. Tidak semua orang atau negara memiliki akses yang sama terhadap teknologi ini. Dalam diskusi tersebut, Huang menyebut bahwa negara-negara seperti Indonesia harus beradaptasi dengan AI. Namun, adaptasi ini membutuhkan investasi besar, baik dalam infrastruktur teknologi maupun pendidikan, yang tidak selalu tersedia di negara berkembang. Dengan demikian, komodifikasi AI tidak hanya memperkuat dominasi ekonomi korporasi besar, tetapi juga memperluas kesenjangan antara negara maju dan berkembang.
Media juga berperan dalam mengarahkan pandangan publik terhadap produk AI sebagai sesuatu yang esensial. Dalam percakapan tersebut, misalnya, AI digambarkan sebagai alat yang dapat membantu pedagang kaki lima hingga peneliti sains. Narasi ini menciptakan kesan bahwa semua orang dapat memanfaatkan AI, meskipun realitasnya jauh lebih kompleks. Proses komodifikasi ini sering kali mengaburkan ketimpangan struktural yang ada di balik distribusi teknologi.
Pada gilirannya, hegemoni media dan komodifikasi AI adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Media membantu membingkai AI sebagai solusi universal, sementara proses komodifikasi menjadikan teknologi ini sebagai produk yang hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki sumber daya. Dalam konteks ini, AI tidak hanya menjadi alat, tetapi juga simbol dominasi global yang memperkuat kekuatan ekonomi dan budaya aktor-aktor dominan dalam sistem kapitalis.
Simbolisme Ruang dan Budaya Lokal
Percakapan antara Jensen Huang dan Najwa Shihab di Gulai Tikungan, Blok M, adalah lebih dari sekadar wawancara dengan latar kuliner jalanan. Pilihan ruang ini menyiratkan simbolisme budaya lokal yang dipertemukan dengan modernitas global. Gulai Tikungan, dengan kesederhanaannya, mewakili wajah Indonesia yang sehari-hari—akar budaya yang tetap bertahan di tengah arus modernisasi. Namun, simbolisme ini juga mengundang pertanyaan: bagaimana budaya lokal diposisikan dalam narasi besar globalisasi teknologi?
Dalam kerangka kajian budaya, ruang adalah entitas yang penuh makna dan tidak pernah netral. Blok M, sebagai lokasi percakapan, menjadi panggung di mana dua dunia bertemu: tradisi dan teknologi. Huang, sosok yang mewakili modernitas dan kapitalisme global, duduk di tengah hiruk-pikuk pedagang kaki lima. Ruang ini menjadi simbol dualisme antara lokal dan global, tradisional dan modern, organik dan algoritmik. Di satu sisi, ini mencerminkan narasi inklusivitas; di sisi lain, ini mengingatkan pada bagaimana globalisasi sering kali menyerap dan merepresentasikan budaya lokal sesuai dengan kebutuhan narasi dominan.
Pilihan untuk menempatkan diskusi di ruang yang begitu “lokal” juga memiliki elemen performatif. Media, dalam hal ini Mata Najwa, tidak hanya menyajikan wawancara tetapi juga membingkai cerita ini dengan kesan bahwa teknologi global dapat berpadu dengan akar budaya lokal. Namun, apakah ini benar-benar representasi yang setara, atau sekadar estetika yang digunakan untuk menanamkan rasa keintiman pada publik? Dalam teori simulakra Jean Baudrillard (Baudrillard, 1994), ruang ini mungkin menjadi hiperrealitas—lebih menekankan simbolisme daripada substansi.
Di sisi lain, pilihan ruang seperti Gulai Tikungan juga berpotensi menghadirkan kontradiksi. Teknologi seperti AI, yang dibahas dengan antusias dalam percakapan ini, sering kali bertentangan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat yang bergantung pada ekonomi informal. AI dapat meningkatkan efisiensi bisnis besar, tetapi bagaimana dengan dampaknya pada pedagang kecil yang justru menjadi latar simbolis diskusi ini? Dengan demikian, ruang ini tidak hanya menjadi tempat dialog, tetapi juga medan ketegangan antara globalisasi dan keberlanjutan budaya lokal.
Representasi budaya lokal dalam konteks ini sering kali berfungsi sebagai “aksesori” dalam narasi besar teknologi. Blok M, dengan segala simbolismenya, berperan sebagai latar untuk memperhalus pesan dominasi global. Dalam diskusi ini, budaya lokal seolah diperlakukan sebagai ornamen yang memperkaya cerita tentang AI tanpa benar-benar menjadi bagian integral dari narasi tersebut. Ini adalah contoh bagaimana budaya lokal sering kali diambil alih oleh narasi global untuk menciptakan ilusi inklusivitas dan harmoni.
Namun, ruang ini juga memiliki potensi resistensi. Pedagang kaki lima yang menjadi bagian dari ekosistem Gulai Tikungan mencerminkan daya tahan budaya lokal yang bertahan melawan modernisasi yang homogen. Dalam diskusi tentang AI, ini menjadi pengingat bahwa teknologi harus mampu memahami dan menghormati kompleksitas budaya lokal, bukan sekadar mengintegrasikannya ke dalam sistem yang seragam. Di sinilah teori pascakolonial, seperti yang diusulkan oleh Homi Bhabha (Bhabha, 1994), relevan—mengenai bagaimana budaya lokal dapat bernegosiasi dan menciptakan ruang hibrid di tengah tekanan globalisasi.
Dengan demikian, simbolisme ruang dalam percakapan ini menjadi pengingat akan pentingnya menempatkan budaya lokal sebagai lebih dari sekadar ornamen. AI, dengan segala potensinya, harus mampu menjadi alat yang memberdayakan budaya lokal, bukan justru mendominasinya. Blok M, sebagai ruang simbolis, mengajarkan bahwa teknologi hanya akan bermakna jika mampu menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakat tanpa menghilangkan identitas lokal mereka.
Penutup
Dalam percakapan antara Jensen Huang dan Najwa Shihab, terdapat penggambaran yang sangat jelas tentang bagaimana teknologi, khususnya AI, berada di persimpangan antara harapan besar akan masa depan yang lebih efisien dan inklusif, dan kenyataan bahwa teknologi ini juga bisa menjadi simbol dominasi dan kekuasaan global. Pemilihan ruang, seperti di Gulai Tikungan, meskipun mencerminkan budaya lokal, juga menunjukkan bagaimana narasi teknologi sering kali menyajikan gambaran yang tidak seimbang tentang interaksi antara teknologi dan budaya lokal. Hal ini mengingatkan kita bahwa teknologi tidak bisa hanya dipandang sebagai entitas netral yang bebas nilai; ia beroperasi dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas.
Lebih dari itu, percakapan ini menyoroti betapa pentingnya untuk mempertanyakan dominasi teknologi global dalam setiap aspek kehidupan kita, serta bagaimana media dan perusahaan besar sering kali membingkai narasi-narasi besar tersebut sesuai dengan kepentingan mereka. Seperti yang telah dijelaskan melalui berbagai teori dalam cultural studies, budaya lokal sering kali direduksi menjadi aksesori dalam narasi teknologi yang lebih besar. Ini adalah tantangan bagi kita untuk tetap menjaga keautentikan budaya lokal dan memastikan bahwa teknologi digunakan dengan cara yang memberdayakan, bukan mendominasi.
Dengan demikian, kita harus berhati-hati terhadap bagaimana teknologi diintegrasikan ke dalam kehidupan kita, dan tidak hanya mengikuti narasi yang ditawarkan oleh para pemegang kekuasaan besar seperti perusahaan teknologi global. Kita harus memastikan bahwa teknologi tidak hanya menjadi alat untuk memperkaya sedikit orang, tetapi juga mampu mengangkat kualitas hidup masyarakat luas tanpa mengorbankan nilai-nilai lokal yang telah ada.
Di masa depan, penting bagi kita untuk terus memikirkan peran teknologi dalam membentuk masyarakat, dan bagaimana kita bisa menciptakan ruang yang lebih adil dan setara, di mana budaya lokal tetap menjadi inti, bukan hanya sekadar latar belakang yang bisa diubah oleh kekuatan teknologi global. Inilah tantangan utama kita dalam menghadapi kemajuan teknologi yang terus berkembang.
Daftar Pustaka
Althusser, L. (1971). Lenin and Philosophy and Other Essays. Monthly Review Press.
Baudrillard, J. (1983). Simulations. Semiotext(e).
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. University of Michigan Press.
Bhabha, H. K. (1994). The Location of Culture. Routledge.
Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (pp. 241–258). Greenwood.
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
Hall, S. (1980). Encoding/Decoding. In S. Hall, D. Hobson, A. Lowe, & P. Willis (Eds.), Culture, Media, Language: Working Papers in Cultural Studies, 1972–79 (pp. 128–138). Hutchinson.
Hall, S. (1996). Introduction: Who Needs Identity? In S. Hall & P. du Gay (Eds.), Questions of Cultural Identity (pp. 1–17). Sage Publications.
Huang, J., & Sihab, N. (2025). Diskusi tentang AI dan masa depan teknologi. Mata Najwa. [Video]. YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=AVRbUiO1M5A
Post Comment