Moral dan Algoritma

Moral dan Algoritma

Bayangkan suatu pagi yang biasa saja. Anda bangun, mengecek ponsel, dan sebelum sempat menggosok gigi, algoritma sudah bekerja. Ia telah menilai tidur Anda, memilih lagu pengantar pagi, dan mungkin bahkan menyarankan kopi tanpa gula karena kalori kemarin sudah melebihi batas. Selamat datang di dunia Homo Deus, di mana manusia menjadi tuhan, tetapi algoritma adalah imam besar yang menentukan segalanya.

Yuval Noah Harari dalam Homo Deus memberikan pengantar yang elegan sekaligus menakutkan tentang bagaimana algoritma mengambil alih kehidupan manusia. Algoritma, kata Harari, bukan sekadar kode dingin yang bekerja di balik layar aplikasi. Ia adalah sistem yang belajar, berkembang, dan diam-diam memahami Anda lebih baik dari pasangan Anda sendiri. Dan ironinya, dalam kehangatan relasi manusia yang semakin digital ini, mungkin algoritma-lah yang tahu apa yang benar-benar Anda inginkan. Termasuk menghindari pasangan Anda yang sedang rewel.

Harari mengingatkan kita bahwa selama ribuan tahun, manusia bergulat dengan pertanyaan besar: Siapa saya? Apa tujuan hidup saya? Apa yang benar dan salah? Pertanyaan-pertanyaan ini kini dijawab oleh algoritma, dengan data. Anda tak perlu lagi merenung di puncak gunung atau menyepi di gua untuk menemukan jati diri. Cukup unggah selfie, dan algoritma akan memberi tahu apakah Anda terlihat bahagia, stres, atau hanya butuh lampu ring light yang lebih terang. Bagaimana mungkin kita tidak mencintai kenyamanan ini?

Namun, kenyamanan ini berharga mahal. Harari menunjukkan bahwa algoritma bukan sekadar alat, tetapi sistem yang bisa mendikte keputusan manusia. Di bidang kesehatan, misalnya, algoritma dapat memprediksi penyakit Anda sebelum Anda merasa sakit. Kedengarannya mulia, bukan? Tetapi bayangkan algoritma suatu hari berkata: “Maaf, kami memutuskan Anda tidak layak mendapatkan asuransi karena gen Anda menunjukkan risiko tinggi kanker.” Saat itulah Anda sadar, algoritma bukan lagi sahabat yang membantu, melainkan jaksa yang tak terbantahkan.

Satire dalam realitas ini mungkin terlihat seperti ini: Bayangkan algoritma Tinder. Dengan bangga, ia berkata: “Aku tahu siapa yang cocok untukmu lebih dari dirimu sendiri.” Tetapi apa yang terjadi jika algoritma memutuskan bahwa cinta sejati Anda adalah seseorang yang tinggal 10.000 kilometer jauhnya, tetapi algoritma juga menyarankan bahwa jarak itu akan membuat Anda tidak bahagia? Solusinya? Tetaplah jomblo. Karena, menurut algoritma, Anda lebih efisien dalam kondisi sendiri.

Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Harari, adalah ketika algoritma masuk ke ranah politik. Pemilu bukan lagi tentang keyakinan atau visi masa depan, melainkan tentang siapa yang lebih piawai menggunakan algoritma untuk memengaruhi opini publik. Algoritma tidak hanya tahu apa yang Anda sukai, tetapi juga tahu kapan Anda rentan. Ia akan menyodorkan iklan politik pada saat Anda sedang emosi setelah membaca berita buruk. Di tangan algoritma, demokrasi berubah menjadi simulasi. Dan Anda? Anda hanya aktor tanpa dialog, menjalankan peran yang sudah ditentukan sistem.

Tetapi apakah manusia peduli? Tidak sepenuhnya. Dalam dunia di mana algoritma memberikan kenyamanan, sebagian besar dari kita bersedia mengorbankan kebebasan demi efisiensi. Kita tidak lagi bertanya “Apakah ini benar?” tetapi “Apakah ini praktis?” Dan algoritma dengan senang hati memberikan jawaban praktis untuk segalanya – bahkan untuk pertanyaan yang seharusnya tidak pernah dijawab mesin.

Mungkin yang paling menggelikan adalah gagasan bahwa manusia modern, dengan segala klaim keunggulan rasionalitasnya, sekarang mengikuti saran algoritma tentang hal-hal kecil, mulai dari apa yang harus dimakan hingga siapa yang harus dicintai. Kita, Homo Deus, menjadi seperti sapi yang digiring dengan peluit digital. Tetapi bedanya, sapi mungkin tidak memeriksa langkah harian mereka di aplikasi kebugaran.

Harari tidak mengatakan bahwa algoritma adalah kejahatan mutlak. Sebaliknya, ia mengingatkan kita bahwa teknologi selalu memiliki potensi untuk kebaikan dan kehancuran. Tantangannya adalah bagaimana manusia menggunakannya. Tetapi dalam dunia yang semakin cepat ini, siapa yang punya waktu untuk bertanya tentang moralitas? Algoritma sudah memberikan jawabannya sebelum kita selesai berpikir.

Post Comment