Transhumanisme itu

Transhumanisme itu

Ada sesuatu yang menggelitik sekaligus menyeramkan dalam ambisi manusia untuk menjadi lebih dari sekadar manusia. Di zaman di mana teknologi mampu menyusup hingga lapisan terdalam kehidupan, transhumanisme hadir seperti sebuah janji sekaligus ancaman. Jika sebelumnya kita mengukur evolusi dengan masa ribuan tahun, kini perubahan dirangkum dalam kode dan algoritma yang tumbuh lebih cepat daripada anak-anak kita. Tapi, apakah transhumanisme adalah solusi bagi kemanusiaan, atau justru epitaf terakhir untuk spesies kita?

Seorang filsuf pernah berkata bahwa manusia adalah “hewan yang tahu dirinya akan mati.” Namun, dalam mimpi transhumanisme, kematian bukanlah sebuah keniscayaan; ia adalah masalah teknis. Nick Bostrom, dalam esainya “A History of Transhumanist Thought” (2005), mendefinisikan transhumanisme sebagai “gerakan yang mendukung penggunaan teknologi untuk meningkatkan kondisi fisik dan intelektual manusia.” Dari pengunggahan kesadaran (mind uploading) hingga modifikasi genetik, proyek-proyek ini lebih mirip eksperimen Frankenstein di era silikon daripada pencarian kebijaksanaan hidup. Seperti Kurt Vonnegut pernah menyindir dalam Slaughterhouse-Five (1969), “Banyak hal yang bisa kita perbaiki, tapi mengapa kita selalu memilih untuk memperbaiki yang seharusnya kita biarkan?”

Ironinya, gagasan tentang manusia super tidaklah baru. Dalam mitologi Yunani, Prometheus mencuri api dari para dewa. Kini, kita mencuri sesuatu yang lebih besar: hak prerogatif untuk menciptakan dan menghancurkan kehidupan. Para pendukung transhumanisme mungkin mengatakan bahwa ini hanyalah langkah evolusi berikutnya. Tetapi jika evolusi adalah seleksi alam, bukankah kita sekarang menciptakan seleksi buatan? Dalam seleksi ini, hanya mereka yang memiliki akses ke teknologi mahal yang akan bertahan.

Bayangkan dunia di mana tubuh manusia menjadi barang dagangan. Anda ingin otot lebih kuat? Ada aplikasi untuk itu. Anda bosan dengan warna kulit Anda? Perusahaan-perusahaan teknologi besar akan menjualnya dalam paket langganan bulanan. Kedengarannya seperti fiksi ilmiah, tetapi beberapa startup sudah memulai langkah-langkah kecil ke arah ini. Susan Sontag, dalam esainya “The Imagination of Disaster” (1965), berbicara tentang bagaimana teknologi sering kali menjadi perpanjangan dari ketakutan manusia terhadap kefanaan. Dalam konteks ini, transhumanisme adalah teriakan panik dari spesies yang menolak menjadi debu.

Namun, ada sisi lain dari narasi ini. Pendukung transhumanisme melihat dunia yang lebih baik. Penyakit genetik dapat dihapuskan. Kematian akibat usia bisa menjadi kenangan masa lalu. Apa yang salah dengan memperpanjang hidup dan meningkatkan kualitasnya? Mereka berkata, “Jika kita memiliki kekuatan untuk memperbaiki sesuatu, mengapa tidak?” Tetapi pertanyaannya bukan tentang apakah kita bisa, melainkan apakah kita seharusnya.

Teknologi tidak pernah netral. Ia selalu mencerminkan nilai-nilai dan bias pembuatnya. Siapa yang akan memutuskan apa yang “lebih baik” dalam dunia transhumanisme? Apakah kita benar-benar ingin hidup di bawah tirani perusahaan teknologi yang menentukan definisi manusia sempurna? Ironisnya, pencarian kesempurnaan ini justru berpotensi menciptakan distopia, bukan utopia.

Vonnegut mungkin akan tertawa getir melihat dunia ini. Dalam Player Piano (1952), ia menggambarkan masyarakat di mana manusia kehilangan makna karena segala sesuatu dikuasai oleh mesin. Dengan transhumanisme, kita tidak hanya kehilangan pekerjaan; kita kehilangan jiwa kita. Jika kita menjadi sesuatu yang lebih dari manusia, bukankah kita juga kehilangan apa yang membuat kita manusia?

Sebagian besar teknologi transhumanisme juga bergantung pada pengumpulan data yang masif. Tubuh dan pikiran kita bukan lagi milik kita; mereka menjadi ladang tambang data bagi perusahaan. Dalam dunia ini, privasi menjadi mitos, dan manusia menjadi algoritma. Bayangkan dunia di mana pikiran Anda adalah iklan yang dapat diprogram. Kebebasan berpikir, yang dulu dianggap sakral, kini menjadi komoditas.

Namun, ada paradoks dalam mimpi transhumanisme. Di satu sisi, ia berusaha melampaui keterbatasan biologis manusia. Di sisi lain, ia memperlihatkan betapa lemahnya kita terhadap godaan kontrol dan kekuasaan. Dalam mengejar keabadian, kita justru memperlihatkan ketakutan kita yang paling mendasar: ketakutan akan kehilangan kendali.

Sontag pernah menulis bahwa teknologi adalah cermin dari hasrat manusia. Jika transhumanisme adalah cermin, apa yang kita lihat? Mungkin kita melihat spesies yang terobsesi dengan kesempurnaan, tetapi kehilangan kemanusiaannya dalam prosesnya. Atau mungkin kita melihat refleksi Prometheus, yang sekali lagi bermain-main dengan api, tanpa memikirkan konsekuensinya.

Dalam semua euforia teknologi, kita jarang bertanya: apa yang kita korbankan? Jika kita bisa hidup selamanya, apa yang terjadi pada makna kehidupan? Jika penderitaan bisa dihapus, apakah itu berarti kita juga kehilangan empati? Mungkin jawabannya ada pada kenyataan sederhana: hidup menjadi indah karena ia fana. Seperti Vonnegut pernah berkata, “Dan begitulah adanya.”

Demikianlah, transhumanisme bukan hanya tentang teknologi. Ia adalah refleksi dari ambisi, ketakutan, dan keserakahan manusia. Apakah kita akan menjadi spesies yang melampaui dirinya sendiri, atau justru spesies yang menghancurkan dirinya sendiri dengan menggunakan teknologi? Jawabannya mungkin tidak akan kita ketahui dalam waktu dekat. Namun, satu hal yang pasti: kita harus berhenti sejenak, melihat ke cermin, dan bertanya apakah refleksi itu masih menyerupai manusia.

Deri Hudaya. Tulisan-tulisannya terdokumentasikan di blog HumaNiniNora. Saat ini tengah menyiapkan buku berjudul Dari Overthinking ke Overachieving: Meditasi, Logika, Tulisan.

Post Comment