Era Cyborg dan Posthuman

Era Cyborg dan Posthuman

“Kita adalah apa yang kita pura-pura jadi, maka kita harus berhati-hati dengan apa yang kita pura-pura jadi.” Kalimat satire Kurt Vonnegut ini menjadi refleksi yang relevan di era digital, di mana manusia berada di persimpangan antara realitas biologis dan konstruksi teknologi. Teknologi yang awalnya hanya menjadi alat bantu kini berubah menjadi elemen esensial yang membentuk budaya, nilai, bahkan identitas manusia. Perkembangan digital tidak hanya membawa kenyamanan, tetapi juga tantangan, terutama dalam mempertahankan kendali atas identitas yang kini kian larut di ruang virtual.

Budaya digital telah menjadi ruang budaya baru di mana aktivitas manusia terjadi dengan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di dalam ruang ini, media sosial, forum daring, hingga aplikasi berbasis algoritma seperti Instagram dan TikTok menjadi arena utama interaksi manusia. Gillespie dalam Algorithmic Cultures: Essays on Meaning, Performance and New Technologies (2014) menekankan bahwa algoritma adalah serangkaian instruksi yang digunakan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, atau menyaring informasi secara otomatis. Algoritma tersebut kini menjadi penggerak utama yang menentukan apa yang populer, layak diperhatikan, dan bahkan bagaimana kita memandang dunia.

Identitas manusia dalam ruang digital juga mengalami transformasi besar-besaran. Di dunia maya, kita dapat menciptakan versi ideal dari diri kita yang sering kali berbeda dari realitas di dunia fisik. Misalnya, seseorang dapat memproyeksikan citra profesional di LinkedIn, sementara di Instagram mereka menampilkan kehidupan sosial yang glamor. Identitas ini menjadi cair, fleksibel, dan terfragmentasi, mencerminkan adaptasi manusia terhadap tuntutan ruang digital. Namun, fleksibilitas ini juga memunculkan tantangan dalam menjaga konsistensi dan autentisitas identitas di tengah keberagaman persona digital.

Dominasi algoritma dalam budaya digital mengubah cara manusia memahami dan memproduksi realitas. Algoritma tidak hanya menyajikan informasi berdasarkan preferensi individu tetapi juga memengaruhi pola pikir kolektif masyarakat. Misalnya, algoritma pada platform berita sering kali memprioritaskan isu-isu yang memiliki potensi viralitas tinggi, sementara isu-isu lain yang tidak menarik perhatian massa dapat tenggelam begitu saja. Fenomena ini membuat algoritma bukan hanya alat penyaring informasi, tetapi juga aktor yang membentuk wacana publik.

Donna Haraway melalui “Cyborg Manifesto” (1985), mengguncang pandangan tradisional tentang manusia dengan mengusulkan konsep cyborg. Menurut Haraway, manusia modern adalah makhluk campuran antara manusia dan mesin. Cyborg menjadi simbol keberadaan yang melampaui batas-batas tradisional seperti manusia versus mesin, alam versus budaya, atau laki-laki versus perempuan. Pemikiran ini sangat relevan di era digital, di mana teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dengan identitas yang kian menyatu dengan teknologi, manusia diundang untuk merangkul keberadaan ini dan melihatnya sebagai peluang untuk menciptakan dunia yang lebih inklusif.

Posthumanisme sebagai cabang pemikiran yang dekat dengan gagasan Haraway menolak ide bahwa manusia adalah pusat segalanya. Sebaliknya, posthumanisme melihat manusia sebagai bagian dari ekosistem teknologi yang lebih besar. Rosi Braidotti dalam bukunya The Posthuman (2013) mendefinisikan posthumanisme sebagai pendekatan filosofis yang berupaya melampaui antroposentrisme dan mengintegrasikan manusia dalam jaringan kehidupan yang lebih luas, termasuk teknologi. Dalam pandangan ini, keberadaan manusia tidak bisa dipisahkan dari teknologi yang terus berkembang. Ini memaksa kita untuk mempertimbangkan dampak teknologi dalam mendefinisikan ulang apa artinya menjadi manusia. Posthumanisme juga mengajak kita untuk melampaui batasan-batasan biologis dan sosial yang selama ini dianggap mutlak.

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam produksi berita adalah salah satu contoh nyata dari hubungan antara manusia dan teknologi. AI kini memainkan peran penting dalam menulis artikel, menyusun narasi, hingga menentukan distribusi konten. Di satu sisi, AI meningkatkan efisiensi dan mempercepat proses produksi berita. Namun, di sisi lain, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab etis, bias algoritma, dan kontrol manusia atas informasi yang dikonsumsi masyarakat.

Algoritma berita sering kali memprioritaskan konten yang dianggap memiliki potensi viral, bukan yang paling relevan atau akurat. Sebagai contoh, berita yang mengundang emosi seperti kemarahan atau kesedihan lebih cenderung mendapatkan perhatian lebih besar dibandingkan berita yang bersifat edukatif. Fenomena ini membentuk lanskap informasi yang sering kali tidak seimbang, di mana perhatian publik diarahkan oleh logika algoritma, bukan oleh urgensi atau signifikansi isu.

Jurnalisme berbasis data menjadi tren baru dalam dunia media, memanfaatkan kekuatan AI untuk menganalisis informasi secara lebih mendalam. Pendekatan ini memungkinkan produksi berita yang lebih cepat dan akurat. Namun, ketergantungan pada data juga berisiko memperkuat bias jika data yang digunakan tidak representatif. Misalnya, jika data yang digunakan cenderung mengabaikan kelompok minoritas, maka berita yang dihasilkan pun akan mencerminkan bias tersebut.

Teknologi, dalam hal ini algoritma dan AI, juga memegang kendali atas narasi yang muncul di ruang digital. Algoritma yang menentukan berita apa yang muncul di puncak feed media sosial menempatkan teknologi pada posisi yang sangat berpengaruh. Gillespie (2014) mencatat bahwa algoritma sering kali dipandang sebagai entitas yang netral, padahal dalam praktiknya, mereka membawa nilai-nilai yang dimasukkan oleh pembuatnya. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan teknologi.

Kecepatan distribusi berita melalui ruang digital juga mengubah cara masyarakat merespons isu-isu penting. Di satu sisi, informasi dapat tersebar dalam hitungan detik, memungkinkan respons cepat terhadap situasi darurat. Namun, di sisi lain, hal ini juga meningkatkan risiko penyebaran informasi palsu atau hoaks. Masyarakat dituntut untuk lebih kritis dalam menyaring informasi yang diterima agar tidak terjebak dalam perangkap misinformasi.

Teknologi seperti ChatGPT telah menjadi alat yang semakin populer dalam menghasilkan konten berita secara otomatis. Sementara efisiensi yang ditawarkan sangat menarik, teknologi ini juga memunculkan kekhawatiran tentang keaslian dan tanggung jawab moral dalam jurnalisme. Apakah kita dapat sepenuhnya mempercayai konten yang dihasilkan oleh mesin? Bagaimana kita memastikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan tetap menjadi prioritas dalam produksi informasi?

Ruang digital awalnya dianggap sebagai arena untuk mendemokratisasi informasi. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa akses terhadap teknologi canggih sering kali memperkuat ketimpangan. Aktor yang memiliki sumber daya lebih besar dapat memanfaatkan teknologi untuk mengontrol narasi publik, sementara suara-suara dari kelompok yang kurang terwakili sering kali tenggelam. Ini menjadi tantangan besar dalam mewujudkan keadilan informasi di era digital.

Donna Haraway memberikan kerangka konseptual yang penting untuk memahami pergeseran ini. Dengan melihat manusia sebagai cyborg, kita dapat memahami bahwa teknologi tidak hanya menjadi alat, tetapi juga bagian dari identitas kita. Haraway mengajak kita untuk tidak hanya menerima keberadaan teknologi, tetapi juga menggunakannya secara kritis dan strategis untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil.

Tantangan terbesar di masa depan adalah memastikan bahwa teknologi tetap menjadi alat yang memberdayakan manusia. Kita harus terus mengevaluasi bagaimana teknologi memengaruhi kehidupan kita dan memastikan bahwa ia digunakan untuk kebaikan bersama. Sebagai cyborg modern, kita memikul tanggung jawab besar untuk menciptakan masa depan yang cerdas secara teknologi sekaligus manusiawi. Satiris seperti Vonnegut mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan apa yang kita ciptakan, karena apa yang kita ciptakan pada akhirnya akan membentuk siapa diri kita.

Daftar Pustaka:

  • Braidotti, Rosi. The Posthuman. Cambridge: Polity Press, 2013.
  • Gillespie, Tarleton. Algorithmic Cultures: Essays on Meaning, Performance and New Technologies. Routledge, 2014.
  • Haraway, Donna. “A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century.” In Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature. Routledge, 1991.

Post Comment