Manifesto Cyborg

Manifesto Cyborg

Donna Haraway adalah seorang sarjana feminis dan teoretikus yang dikenal karena kontribusinya terhadap kajian ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam konteks feminisme. Lahir pada tahun 1944, Haraway menempuh pendidikan di Yale University di mana ia memperoleh gelar PhD dalam bidang biologi. Ia memulai kariernya dengan fokus pada sejarah sains, tetapi kemudian mengalihkan perhatiannya pada bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi membentuk hubungan sosial, budaya, dan politik.

Esainya yang berjudul “A Cyborg Manifesto,” pertama kali diterbitkan pada tahun 1985, muncul di tengah-tengah perdebatan tentang dampak teknologi pada masyarakat, khususnya dalam konteks gender, ras, dan kelas. Dalam esai ini, Haraway mengajukan pemikiran yang melampaui dikotomi tradisional, mengusulkan cyborg sebagai metafora untuk keberadaan manusia yang baru, yang menolak batasan-batasan konvensional.

Esai ini ditulis dalam konteks era pasca-Perang Dingin, ketika teknologi berkembang pesat dan globalisasi mulai mengubah struktur masyarakat. Feminisme, yang sebelumnya banyak berfokus pada kritik terhadap patriarki dan eksploitasi gender, mulai menghadapi tantangan baru dalam memahami bagaimana teknologi memengaruhi kehidupan perempuan.

“A Cyborg Manifesto” muncul sebagai respons terhadap kebutuhan untuk mengembangkan cara berpikir yang baru, yang mampu menjelaskan kompleksitas hubungan antara manusia, teknologi, dan lingkungan sosial. Haraway menggunakan metafora cyborg untuk mengaburkan batas-batas antara alam dan budaya, manusia dan mesin, serta perempuan dan laki-laki, dengan tujuan untuk membangun visi yang lebih inklusif dan progresif.

Latar belakang historis dan budaya ini sangat memengaruhi gaya penulisan Haraway yang provokatif dan interdisipliner. Ia menggabungkan teori-teori feminis, postmodern, dan posthumanisme untuk menciptakan kerangka kerja yang radikal dan mendobrak tradisi. Cyborg, dalam pandangan Haraway, adalah simbol harapan untuk melampaui batasan-batasan identitas yang kaku dan diskriminatif. Dengan demikian, esai ini tidak hanya menjadi landasan dalam kajian feminisme teknologi, tetapi juga memicu diskusi yang luas tentang bagaimana kita memahami diri kita sendiri dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh teknologi.

Dalam “A Cyborg Manifesto,” Haraway mengajukan konsep-konsep kunci yang menggambarkan pandangannya tentang hubungan antara manusia dan teknologi. Salah satu konsep utamanya adalah bahwa cyborg adalah entitas yang melampaui dikotomi tradisional seperti alam versus budaya, manusia versus mesin, dan laki-laki versus perempuan. Haraway menulis, “Cyborg is a hybrid of machine and organism, a creature of social reality as well as a creature of fiction” (Haraway, 1991). Dengan kata lain, cyborg adalah metafora untuk identitas yang cair dan tidak terikat oleh norma-norma sosial yang kaku. Sebagai contoh, seseorang yang menggunakan teknologi prostetik untuk menggantikan anggota tubuh yang hilang dapat dilihat sebagai cyborg dalam arti harfiah, tetapi secara metaforis, setiap orang yang hidup dalam era digital juga dapat dianggap sebagai cyborg karena ketergantungan kita pada teknologi seperti ponsel pintar dan internet.

Haraway juga menyoroti pentingnya dekonstruksi dikotomi gender dalam memahami identitas manusia. Ia mengkritik gagasan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran yang tetap dan tidak berubah dalam masyarakat. Cyborg, dalam pandangan Haraway, adalah simbol dari keberadaan yang melampaui batasan gender. Ia menulis, “The cyborg skips the step of original unity, of identification with nature in the Western sense” (Haraway, 1991). Contoh nyata dari ide ini adalah bagaimana media sosial memungkinkan individu untuk mengekspresikan identitas gender mereka secara lebih bebas dan cair, terlepas dari konvensi sosial tradisional.

Konsep lain yang penting dalam “A Cyborg Manifesto” adalah gagasan bahwa teknologi dapat digunakan sebagai alat pembebasan, tetapi juga memiliki potensi untuk menjadi alat penindasan. Haraway menyadari ambivalensi ini dan mengajak kita untuk memanfaatkan teknologi secara kritis. Ia memberikan contoh bagaimana teknologi reproduksi, seperti fertilisasi in vitro, dapat memberdayakan perempuan dengan memberikan mereka kontrol lebih besar atas tubuh mereka. Namun, ia juga mengingatkan bahwa teknologi yang sama dapat digunakan untuk memperkuat kontrol patriarki, misalnya melalui eksploitasi perempuan dalam proses surrogacy di negara-negara berkembang.

Haraway juga membahas hubungan antara manusia dan alam dalam konteks teknologi. Ia menolak gagasan bahwa manusia berada di luar atau di atas alam. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa manusia adalah bagian dari jaringan kehidupan yang lebih besar, yang mencakup teknologi sebagai elemen integral. “The cyborg appears in myth precisely where the boundary between human and animal is transgressed” (Haraway, 1991). Contohnya adalah bagaimana teknologi bioinformatika telah memungkinkan pemetaan genom manusia, yang pada akhirnya memperkuat pemahaman kita tentang hubungan kita dengan organisme lain.

Pentingnya solidaritas dan kolektivitas juga menjadi tema sentral dalam “A Cyborg Manifesto.” Haraway mengkritik pendekatan individualistik dalam memecahkan masalah sosial dan menekankan perlunya kerja sama lintas batas. Cyborg, sebagai simbol identitas yang hibrid, mengajarkan kita untuk merangkul perbedaan dan membangun solidaritas di antara kelompok-kelompok yang sebelumnya terpisah. Dalam konteks ini, gerakan hak asasi manusia yang menggunakan teknologi digital untuk mengorganisir aksi protes dan kampanye adalah contoh bagaimana teknologi dapat menjadi alat yang ampuh untuk memperjuangkan keadilan sosial.

Selain itu, Haraway juga menyoroti peran fiksi ilmiah sebagai medium untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru dalam hubungan manusia dan teknologi. Ia percaya bahwa narasi-narasi fiksi ilmiah dapat membantu kita membayangkan dunia yang lebih inklusif dan beragam. “Science fiction is a political discourse that challenges our understanding of the real world,” tulis Haraway (1991). Sebagai contoh, karya-karya fiksi ilmiah seperti “The Matrix” atau “Ghost in the Shell” sering kali menggambarkan dunia di mana batas antara manusia dan mesin menjadi kabur, mencerminkan gagasan Haraway tentang cyborg.

Melalui “A Cyborg Manifesto,” Haraway mengajukan visi yang radikal tentang bagaimana manusia dapat hidup berdampingan dengan teknologi. Ia menolak narasi apokaliptik yang melihat teknologi sebagai ancaman, dan sebaliknya, mengajak kita untuk melihatnya sebagai peluang untuk menciptakan dunia yang lebih inklusif dan adil. Namun, ia juga mengingatkan bahwa peluang ini tidak akan terwujud tanpa kesadaran kritis dan tanggung jawab moral.

Dalam kesimpulannya, Haraway menantang kita untuk memikirkan kembali identitas kita sebagai manusia dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi. Ia percaya bahwa dengan merangkul identitas kita sebagai cyborg, kita dapat melampaui batasan-batasan tradisional dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif. “A Cyborg Manifesto” bukan hanya sebuah esai, tetapi juga panggilan untuk bertindak, untuk melihat teknologi sebagai bagian dari peradaban baru yang menantang sekaligus mengancam, yang memang penuh kemungkinan.

Daftar Pustaka:

  • Haraway, Donna. “A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century.” In Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature. Routledge, 1991.

Post Comment