Posthumanime itu
Posthumanisme adalah salah satu wacana teoretis yang berkembang pesat di persimpangan filsafat, teknologi, dan ilmu budaya. Sebagai konsep, posthumanisme muncul dari kritik terhadap humanisme tradisional yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu. Wacana ini mencerminkan kegelisahan dan refleksi atas peran manusia di dunia yang semakin terhubung dengan teknologi dan non-manusia. Istilah ini tidak hanya mempertanyakan batas-batas antara manusia dan mesin, tetapi juga menggali bagaimana manusia memahami dirinya dalam kaitannya dengan hewan, alam, dan entitas non-manusia lainnya. Dalam pengertian ini, posthumanisme menjadi ruang dialog yang memadukan isu-isu etika, politik, dan ekologi. Sebagai salah satu pelopor dalam kajian ini, Donna Haraway menyebutkan bahwa “posthumanisme menawarkan peluang untuk merefleksikan ulang kehadiran manusia sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang lebih luas” (Haraway, 1991).
Posthumanisme berkembang dalam konteks dunia yang semakin kompleks akibat perkembangan teknologi yang pesat, khususnya di bidang kecerdasan buatan, bioteknologi, dan nanoteknologi. Fenomena seperti robotika, biohacking, dan kecerdasan buatan (AI) tidak hanya memperluas batas-batas kemampuan manusia tetapi juga mengaburkan definisi tradisional tentang apa itu manusia. Katherine Hayles, dalam bukunya How We Became Posthuman (1999), menjelaskan bahwa posthumanisme “mengubah cara kita berpikir tentang tubuh, pikiran, dan identitas melalui interaksi kita dengan teknologi.” Sebagai contoh, perangkat teknologi seperti prostetik pintar atau antarmuka otak-komputer (brain-computer interface) memungkinkan manusia untuk melampaui keterbatasan biologis mereka. Namun, pertanyaan mendasar yang diajukan oleh posthumanisme adalah, apakah ini berarti manusia sedang kehilangan esensinya atau justru menemukan bentuk baru dari keberadaan?
Salah satu konsep kunci dalam posthumanisme adalah kritik terhadap antroposentrisme, yaitu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta. Posthumanisme menolak pandangan ini dan mengusulkan perspektif yang lebih inklusif yang mencakup keberadaan non-manusia. Rosi Braidotti dalam bukunya The Posthuman (2013) menulis, “Posthumanisme memanggil kita untuk merangkul keberagaman dan keberadaan non-manusia sebagai bagian integral dari jaringan kehidupan.” Contohnya adalah gerakan ekologi radikal yang menempatkan keberlanjutan planet sebagai prioritas utama, mengakui bahwa manusia hanyalah satu dari banyak spesies yang berbagi ruang di bumi.
Posthumanisme juga mengeksplorasi hubungan antara tubuh manusia dan teknologi. Dalam konteks ini, tubuh tidak lagi dipahami sebagai entitas yang tetap dan kaku, melainkan sebagai sesuatu yang terus-menerus berubah dan beradaptasi. Haraway, dalam “A Cyborg Manifesto” (1991), menggambarkan bagaimana manusia dan teknologi kini menjadi entitas yang hibrid, melampaui batas-batas tradisional antara alam dan budaya. Sebagai contoh, penggunaan perangkat medis seperti organ buatan atau terapi genetik menunjukkan bagaimana tubuh manusia dapat direkayasa untuk melawan penyakit atau bahkan meningkatkan kemampuan biologisnya.
Selain itu, posthumanisme juga mengkritik dualisme Cartesian yang membedakan antara pikiran dan tubuh. Dalam kerangka ini, tubuh tidak lagi dilihat sebagai wadah pasif bagi pikiran, melainkan sebagai bagian integral dari proses kognitif dan pengalaman manusia. N. Katherine Hayles menulis bahwa “posthumanisme menantang pemisahan tradisional antara tubuh dan pikiran, menunjukkan bahwa keduanya saling terkait secara mendalam melalui interaksi dengan teknologi” (Hayles, 1999). Misalnya, perkembangan virtual reality (VR) telah memungkinkan pengalaman imersif yang mengaburkan batas antara realitas fisik dan digital, mengajarkan kita bahwa tubuh fisik bukanlah satu-satunya medium untuk memahami dunia.
Posthumanisme juga memiliki dimensi etika yang kuat. Dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh teknologi, pertanyaan tentang apa yang dianggap sebagai kehidupan, hak, dan nilai menjadi semakin kompleks. Jacques Derrida, melalui konsep “l’animot,” mengusulkan bahwa kita perlu memperluas konsep etika untuk mencakup entitas non-manusia, termasuk hewan dan teknologi. Contoh nyata dari pemikiran ini adalah diskusi tentang hak-hak hewan dalam industri peternakan atau pertimbangan etis dalam pengembangan kecerdasan buatan.
Namun, posthumanisme bukan hanya sebuah kritik atau refleksi, melainkan juga visi tentang masa depan yang lebih inklusif. Dalam visi ini, manusia tidak lagi dianggap sebagai penguasa tunggal dunia, melainkan sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang kompleks. Hal ini mencakup pengakuan terhadap kontribusi teknologi, hewan, dan alam dalam membentuk pengalaman manusia. Sebagai contoh, proyek-proyek seperti kota pintar yang dirancang untuk memadukan teknologi dengan keberlanjutan ekologis mencerminkan semangat posthumanisme untuk menciptakan dunia yang lebih harmonis.
Dalam kesimpulannya, posthumanisme mengajarkan kita untuk berpikir melampaui batas-batas tradisional yang membatasi pemahaman kita tentang manusia dan dunia. Dengan merangkul identitas kita yang hibrid, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan. Posthumanisme bukan hanya sebuah kerangka teori, tetapi juga sebuah panggilan untuk merefleksikan ulang peran kita di dunia yang terus berubah.
Daftar Pustaka:
- Haraway, Donna. “A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century.” In Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature. Routledge, 1991.
- Hayles, N. Katherine. How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics. University of Chicago Press, 1999.
- Braidotti, Rosi. The Posthuman. Polity Press, 2013.
- Derrida, Jacques. The Animal That Therefore I Am. Fordham University Press, 2008.
Post Comment