Epidemi Kecemasan
Jonathan Haidt adalah semacam penjelajah zaman modern yang tidak lagi memetakan benua baru, melainkan peta kecemasan kolektif manusia. Dalam bukunya yang baru, The Anxious Generation: How the Great Rewiring of Childhood Is Causing an Epidemic of Mental Illness (2024), Haidt menyuguhkan apa yang mungkin merupakan laporan peradaban yang paling memilukan sejak Nostradamus menyebut kiamat. Hanya saja, kali ini, kiamatnya berwujud remaja yang tidak bisa tidur tanpa menggenggam smartphone.
Latar belakang penulisnya cukup menarik. Haidt bukan sekadar akademisi yang mencatat temuan-temuan di ruang laboratorium yang steril. Ia adalah seorang psikolog sosial yang telah lama menggugat pemahaman konvensional tentang moralitas dan kesehatan mental. Dengan pengalaman yang membentang dari Ivy League hingga perdebatan sengit di Twitter, Haidt memiliki kredibilitas yang tak terbantahkan dalam memeriksa fenomena sosial yang meresahkan.
Konteks buku ini pun relevan dalam masyarakat yang demam teknologi dan hipersensitivitas emosional. Saat media sosial telah mengambil alih fungsi taman bermain dan algoritma menjadi pengasuh digital, Haidt melihat bahwa generasi muda tengah kehilangan sesuatu yang fundamental: kebebasan untuk gagal dan belajar dari kegagalan itu. “Kita telah mencuri masa kanak-kanak dari anak-anak,” tulisnya (hlm. 57) seraya menuding budaya overproteksi yang menjebak anak-anak dalam dunia steril tanpa risiko.
Dalam bagian awal bukunya, Haidt menyoroti peningkatan tajam kasus kecemasan dan depresi di kalangan remaja sejak awal 2010-an. “Antara 2010 dan 2020, tingkat gangguan kecemasan yang terdiagnosis di kalangan remaja perempuan hampir dua kali lipat,” ungkapnya (hlm. 89). Namun, bukankah kita harus bersyukur? Dengan tingkat kecemasan yang sedemikian tinggi, generasi muda kita akan tumbuh menjadi ahli dalam hal overthinking.
Salah satu biang kerok utama yang ia identifikasi adalah kehadiran smartphone. Haidt menyebut bahwa “smartphone adalah kotak Pandora modern; begitu dibuka, ia melepaskan semua kejahatan dunia” (hlm. 142). Ironisnya, bukannya ditutup kembali, kotak ini justru dibekali dengan fitur notifikasi yang memastikan kita tak pernah melewatkan kutukan terbaru.
Tak hanya itu, Haidt juga mengkritik media sosial yang telah menggantikan interaksi manusiawi dengan algoritma yang tak kenal empati. “Media sosial mengubah masa kanak-kanak menjadi audisi tanpa henti,” katanya (hlm. 173). Remaja bukan lagi bermain kejar-kejaran di taman, melainkan mengejar likes dan validasi digital yang fana.
Kebiasaan generasi muda yang terjebak dalam pola rebahan berjam-jam sambil menonton video pendek secara acak telah menjadi pemandangan biasa. Mereka melompat dari satu konten ke konten lain dengan fokus yang terus berganti, seakan sedang menjalani maraton tanpa garis akhir. Bertahun-tahun dalam pola seperti ini menciptakan kondisi mental yang paradoks: pikiran yang lelah tapi tetap bekerja keras memproduksi skenario-skenario cemas yang tak perlu. Hasil akhirnya? Sebuah generasi yang terlatih bukan untuk tenang, melainkan untuk overthinking secara profesional.
Bagian lain yang tak kalah menarik adalah kritiknya terhadap pola asuh modern. “Kita telah menjadi pengawal emosional bagi anak-anak kita,” tulisnya dengan sinis (hlm. 215). Alih-alih membiarkan mereka jatuh dan belajar bangkit, kita justru menghalangi setiap potensi luka kecil, hingga mereka tumbuh menjadi individu yang alergi terhadap kekecewaan.
Haidt juga mengusulkan konsep antifragilitas sebagai solusi teoretis. Anak-anak perlu menghadapi tantangan dan risiko dalam dosis yang sehat agar dapat tumbuh menjadi individu yang tangguh. Namun, mari jujur: konsep ini terdengar seperti nasihat dari nenek moyang kita yang menganggap bermain di lumpur adalah obat mujarab untuk segala penyakit.
Salah satu bagian paling menyentuh adalah ketika Haidt menyoroti penurunan permainan bebas. “Permainan bebas adalah laboratorium di mana anak-anak belajar bernegosiasi, berkolaborasi, dan menyelesaikan konflik,” katanya (hlm. 256). Namun, dalam dunia yang dipenuhi jadwal les dan waktu layar, permainan bebas kini hanya tinggal legenda urban.
Meski Haidt menawarkan berbagai solusi praktis, esai ini memilih untuk tidak terjebak dalam optimisme naif. Mari kita refleksikan saja. Barangkali kecemasan generasi muda adalah simfoni baru dalam orkestra kehidupan modern. Bukankah setiap zaman punya disonansinya sendiri?
Jika di masa lalu orang tua cemas anak-anaknya terjebak dalam kenakalan remaja di jalanan, kini mereka khawatir anak-anaknya tidak cukup populer di TikTok. Ironi yang menyayat, tentu saja.
Kita juga perlu mempertanyakan peran masyarakat yang terus memuja produktivitas tanpa henti. Barangkali kecemasan ini adalah respons alamiah terhadap dunia yang tidak pernah memberi izin untuk beristirahat. Jika demikian, bukankah ini justru menunjukkan bahwa generasi muda kita masih memiliki naluri bertahan hidup?
Dalam satu wawancara, Haidt menyebut bahwa “kita sedang membesarkan generasi yang sangat sensitif terhadap ketidakadilan tetapi tidak dibekali dengan kemampuan untuk menghadapinya” (hlm. 278). Kutipan ini terasa seperti epitaf yang menyedihkan bagi peradaban yang semakin rumit.
Alih-alih mencari solusi umum, mari renungkan fakta bahwa kecemasan mungkin telah menjadi identitas baru kita sebagai spesies. Sebuah tanda bahwa kita masih mampu merasakan sesuatu di tengah algoritma yang mencoba mendikte segala hal. Barangkali, Haidt tidak hanya menulis buku tentang generasi yang cemas. Ia menulis epitaf bagi dunia yang tak lagi tahu bagaimana caranya bermain.
Post Comment