Dilema Nelayan Gamkonora
Oleh: Ninuk Kleden-P
Antropolog Peneliti Etnik Minoritas

Foto: Imelda
Orang Gamkonora bisa dikunjungi tidak hanya melalui jalan darat, tetapi juga laut. Tetapi yang terakhir ini tidak umum, karena hanya dilakukan oleh perahu-perahu pribadi saja, yang kadang dari Ternate. Siang itu kami meluncur di jalan aspal yang mengiris Halmahera Barat dari Selatan ke Utara. Desa-desa di Halbar dilalui oleh sungai-sungai kecil yang meliuk-liuk membawa air dari gunung yang dikirimnya ke laut Halmahera. Nah sungai seperti ini melewati belakang rumah penduduk, karena bagian muka rumah menghadap ke jalan raya.
Orang Gamkonora tinggal di empat desa di provinsi Halmahera Barat. Tiga desa ada di kecamatan Ibu Selatan; Gamsungi, Talaga, dan desa Gamkonora sebagai desa induk, serta satu desa lagi, Tahafo, dikecamatan Ibu. Etnik Gamkonora termasuk dalam kelompok minoritas, karena pada tahun 2019 orang Gamkonora hanya 789 jiwa yang dihitung berdasarkan bahasa ibu. Setelah itu, belum ada lagi penelitian sejenis.
Orang Gamkonora tinggal dalam ekosistem laut, tetapi mata pencaharian pokok ada di bidang pertanian, kecuali desa Tahafo yang dikenal sebagai desa nelayan.
Karangan kecil ini ingin memperlihatkan eksistensi nelayan dalam ekosistem laut, di tengah mata pencaharian pertanian, khususnya pada musim Barat.
Dola Bololo: Ajaran tentang Nilai dan Kehidupan
Dola bololo adalah ungkapan tradisional Gamkonora dalam bahasa Ternate berupa pesan dan ajaran tentang nilai-nilai. Dola bololo termasuk Tradisi Lisan, yang ada dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Berikut adalah contoh Dola Bololo dalam sektor perikanan:
Haru voma pasimoi
Moro-Moro
Maku Ice ua
Terjemahan bebas dalam Bahasa Indonesia “Kita mengail di tempat yang sama, tetapi tiap perahu mendapat hasil yang berbeda”. Artiya, meskipun kita berjuang bersama, tetapi hasil akhir berbeda-beda. Implikasinya jelas, bahwa mereka sesama orang Gamkonora, tetapi tetap dibatasi oleh struktur sosial. Ada nelayan pemilik lahan, ada pula nelayan yang tidak berlahan. Ada nelayan yang menggunakan perhu motor besar, ngaju-ngaju dengan kekuatan 9-12 PK, tetapi ada juga yang hanya menggunakan katinting saja, tanpa motor atau bermotor kecil saja.Peruntungan mereka pun menjadi berbeda, meskipun menggunakan “perahu” kebudayaan yang sama.
Ada pula Dola bololo yang menyatakan pentingnya penyatuan sektor perikanan dan pertanian:
Hoko toma ngolo, tika nya’o (ikan)
Isa toma haka oto, golaha huda (sagu)
Si Golaha ngom ma ahu hutu modiri
Terjemahan bebas nya “Kita mencari ikan ke laut, ke darat mencari sagu, untuk makan bersama sampai masa yang akan datang”. Ungkapan ini menyatakan perlunya kebersamaan antara sektor perikanan dan pertanian, karena ikan dimakan sebagai lauk, sebagai teman sagu. Sayang tidak semua nelayan mempunyai lahan, dan tidak semua petani mempunyai perahu. Khususnya pada musim Barat, nelayan bisa mendapat kesulitan hidup apabila ia tidak mempunyai lahan yang bisa membantu kehidupan sehari-hari.
Dolal Mengel; Musim Barat
Pagi itu Hidayat duduk di rumahnya memperbaiki jala yang koyak. Ishak dan Rabhan, dua tetangganya, menghadap segelas kopi hitam sambil menghembuskan asap rokok. Keduanya memperbincangkan saat yang baik untuk menebang pohon sagu. Dolal Mangel, musim Barat, yang berlangsungawal Desember sampai akhir Januari, bisa melumpuhkan mereka yang tidak mempunyai persedian logistik yang cukup. Angin bertiup kencang, kadang disertai hujan, dan tentu gelombang yang tinggi. Pada masa ini, mulut sungai yang menuju laut, tidak bisa dilalui, karena ditutup oleh “pagar” gelombang besar. Beberapa hari tidak melaut, sudah mengguncang perekonomian para nelayan, khususnya mereka yang tidak mempunyai lahan, hidup pas-pasan saja. Dalam kondisi seperti ini, andalan mereka adalah menebang pohon sagu, yang boleh ditebang siapa saja.
Hal itu menyebabkan para nelayan itu harus cepat bergerak. Satu-satunya cara adalah melaut, dan harus melewati gelombang yang bagaikan pagar menutup mulut sungai. Ada pengetahuan yang sudah dipelajari sejak turun temurun untuk dapat ke luar dari gerbang gelombang besar yang menutup akses ke laut lepas. Kalau cuaca baik, perahu didorong ke luar dari mulut sungai menuju laut.
Ada pengetahuan tradisional dengan cara menghitung gelombang, sebagai prasyarat untuk bisa membuka gerbang gelombang itu. Pada saat gelombang ke atas, berarti pintu menuju laut terbuka. Misalnya dalam hitungan 3 – 5 gelombang datang, maka hitungan ke 7 atau 8, atau kalua berani pada hitungan ke 6 nelayan harus lari ke laut dan lepas dari gelombang itu. Kalau salah berhitung, mereka bisa terseret gelombang pasang itu.
Nya’o; Ikan Gamkonora
Seperti pada umumnya masyarakat tradisional, ada ikatan erat antara alam dengan manusia. Nelayan Gamkonora dapat membaca tanda-tanda yang diberikan alam untuk mengetahui saat ikan berkumpul dan mudah dipancing. Pengetahuan ini di dasarkan pada Pariamata, Bintang tujuh. Di tempat Bintang tujuh itu berkumpul, ke sanalah nelayan itu pergi untuk memancing. Ikan senang berkumpul di bawah Parimatan.
Pada musim Barat ini ikan tidak terlalu banyak, apalagi biasanya Parmata juga tidaktampak. Meskipun ikan tidak banyak, tetapi momen harga jual yang tinggi ini lah, terutama bagi mereka yang tidak berladang, harus digapai. Sementara nelayan dengan lahan, tetap dapat kerja di ladang atau menurunkan kelapa untuk menghidupi api dapurnya Sayur mayur atau kasbipun masih bisa diperoleh.
Ansar dan Adieu dalam Woti’d Katintia
Katinting atau nama lengkapnya woti’d (perahu) katinting, adalah jenis perahu tradisional Gamkonora yang terkecil. Katinting biasanya tidak bermesin, tapi kalau pun ada, menggunakan motor kecil, 9 PK.
Pagi itu udara cerah. Di desa Talaga sekitar pukul 10, Ansar bersama adiknya mendorong katinting yang ditambatkan di tepi sungai tidak jauh di belakang rumahnya Katintingnyabermotor kecil, yang bisa memuat sekitar 30 -50 ekor tongkol yang bisa dijualnya. Kadangkala ia juga menggunakan katinting tanpa motor, hanya untuk kebutuhan sehari-hari saja, kalau ada kelebihan baru dijual.
Adieu tetangga Ansar, ia biasa berangkat pukul 2 pagi dengan jenis perahu yang sama, tetapi perahunya berlayar hingga ke rompog, rumah terapung di tengah laut, yang milik orang Bitung. Ikan senang berkumpul dekat rompog, hingga tidak sulit untuk memancingnya. Di sekitar rompog banyak jenis ikan laut dalam, seperti tongkol, tuna, kakap merah, dan sebagainya. Ikan-ikan itu dipancing dengan umpan lau, kain perca yang berwarna warni; perca merah dikombinasikan dengan perca biru atau hijau tua, kuning didekatkan dengan hitam atau biru tua. “Ikan senang dengan pancing yang meriah”, kata Adieu. Sementara ikan kecil dijaring saja.
Hari itu cuaca bagus, Ansar di laut hingga pukul 3 sore dan cukup mendapat ikan tongkol untuk dijual. Demikian juga Adieu dan teman-temannya. Sore hari di tepi pantai Tahafo merupakan pemandangan tersendiri. Perempuan dengan baskom-baskom besar menunggu perahu yang datang bermuatkan ikan. Adieu sering mentarget perolehannya hingga 100 ikan besar. Apabila perolehannya belum mencukupi ia bisa terus berlayar sampai laut Jailolo.
Nelayan mempunyai pengetahuan tentang saat ikan sedang berkumpul dan mudah ditangkap. Pengetahuan itu didasarkan pada pariamata, bintang tujuh. Kalau bintang itu tepat di atas kepala, laut tampak tenang dan jernih, maka ikan akan menjauhi umpan. Mereka ke pinggir pantai, seolah menonton kebingungan para nelayan, tidak ada ikan yang bisa dipancing. Akan tetapi kalau pariamata bergerak dari Timur ke Barat, maka itu berarti ikan senang umpan. Saat ini lah biasanya nelayan memancing.
Hasil tangkapan yang lumayan dengan harga jual yang bagus, Rp. 15.000 seekor ikan pada tahun 2013, akan rusak kalau datang perahu pajeko, ke daerah tangkapan orang Gamkonora. Pajeko, kapal dengan kekuatan sekitar 15 PK dapat menangkap ikan lebih banyak dengan berbagai jenis ikan besar dari laut dalam. Bukan hanya tongkol, yang dalam bahasa setempat disebut cakalang, seperti yang digunakan orang Manado, tapi ada buku raci, ikan ani-ani yang bentuknya pipih; ikan watu (rockfisf) berwarna merah, secara umum disebut kakap merah, ada pula ikan yaru (mud skipper) yang juga dikenal dengan nama ikan tembakul. Pajeko dapat menyebabkan harga ikan jatuh, tetapi kedatagannya tidak bisa ditolak oleh nelayan setempat.
Poke dan Dibo-dibo: Tengkulak Besar dan Tengkulak
Mereka terhubung dengan nya’o, ikan. Poke, tengkulak besar, dengan modal yang cukup besar pula. Di Gamkonora hanya dua orang Poke. Mereka berhak mengambil hasil tangkapan nelayan tertentu, karena hubungannya dengan pemilik perahu. Ikram, adalah poke yang menguasai hasil perahu Adieu dan Ansar. Hasil tangkapan kedua perahu itu ada di bawah kekuasaannya. Baru setelah perolehan dihitung oleh anak-anak buahnya, ikan dibagikan pada dibo-dibo. Poke hanya dikerjakan oleh laki-laki, yang berurusan dengan ikan basah saja. Sementara dibo-dibo juga dilakukan oleh Perempuan, yang baik mengerjakan ikan basah maupun asap.
Dibo-dibo tidak harus tergantung pada poke. Menjelang sore sekitar pk. 3 biasanya pantai Tahafo sudah dipenuhi ibu-ibu dengan baskom besar untuk wadah ikan. Mereka akan berlari kalau ada perahu datang, kecuali dua perahu yang dikuasai poke.
Katakanlah perahu Adieu memperoleh 100 tongkol (Adieu selalu berusaha minimal mendapat 100 ekor), maka poke harus membayar 100 x Rp.15.000 = Rp.1.500.000. dan ikan-ikan kecil yang diikat menjadi satu kelompok berharga antara Rp. 10.000 – Rp. 15.000. Poke membagikan ikannya pada dibo-dibo dengan harga Rp.20.000. Ia sendiri mendapat keuntungan Rp.5.000 per ikan. Pendapatan poke akan disetorkan ke pemilik kapal biasanya pada malam hari.
Dibo-dibo akan memprosesikan itu, meskipun ia juga bisa menjual ikan segar dari dalam baskomnya. Satu ikan yang akan diproses, dibelinya dengan harga Rp. 20.000, kemudian di belah menjadi dua bagaian, separuh dihargai Rp. 15.000. Ikan itu dibersihkan, isi perut dikeluarkan dan bagian yang baik, tidak pahit, akan dimasak sebagai lauk untuk makan malam. Ikan ditusuk dari ekor sampai kepala dan digantungkan di para-para, rak bambu bersusun empat, supaya mudah tiris. Setelah mulai agak kering diturunkan sampai ke rak gantungan yang terbawah. Kemudian dioles minyak kelapa buatan sendiri, ikan itu diasap dengan batok kelapa yang dibakar dari bawah para-para. Proses pengerjaannya rata-rata hingga pukul 12 tengah malam. Setelah subuh, ikan siap dikirim. Dari Tahafo yang dikenal sebagai pemasok cakalang fufu, tongkol asap itu dikirim ke Jailolo dan bahkan sampai ke Ternate.
Mengatasi Masa Sulit
Dola Bololo masih sering diujarkan, dan mengingatkan wejangan nenek moyang, yang ingin agar anak cucunya yang nelayan juga mengerjakan ladang. Ladang bisa ditanam padi, tetapi juga ketela, dan segala macam sayur. Musim Barat nelayan masih bisa terselamatkan dengan pengetahuan tradisional untuk bisa menerobos gerbang ombak. Meskipun demikian, ikan juga tidak banyak pada musim ini. Jadi sebenarnya, meskipun lepas dari gerbang ombak, belum dapat mencukupi kebutuhan hidup.
Bagaimana seandainya sebagian hutan dibuka untuk dipinjamkan pada para nelayan, khususnya mereka yang tidak mempunyai lahan pertanian. Biarkan mereka bercocok tanam, dengan system cara bagi hasil, misalnya. Cara ini diduga sangat efisien untuk membantu mereka yang kesulitan, khususnya pada musim angin Barat.
Bintaro
16 Maret 2025 (12.16)
Post Comment