Peristiwa dalam Memori Toko Buku Terakhir
Oleh: Ninuk Kleden-P
Antropolog Peneliti Etnik Minoritas
Masalah: Narsisme dan Ideologi
Narsisme, itulah diksi yang dipilih Usman Kansong, wartawan, Doktor Komunikasi, yang mengajar di sejumlah Perguruan Tinggi. Bukunya berjudul Toko Buku Terakhir diterbitkan oleh Penerbit Lamalera (2023).
Ia seorang pria Lamalera, Flores Timur, kelahiran Jakarta. Pecinta buku, gemar membaca, membeli, dan memburunya. Cermat dengan buku-bukunya; tahu persis di kota mana buku itu di beli, di toko buku mana, dalam kesempatan apa ia peroleh, asal kepemilikannya, dan pertaliannya dengan buku-buku lain yang relevan. Kecintaannya pada buku seperti ia mencintai dirinya, narsisme, yang sekaligus juga menjadi ideologinya.
Pengalaman dengan buku ditulisnya di laman facebook (ix), sebelum dibukukan. Tujuannya untuk memulihkan kegemaran membaca dalam budaya baca buku cetak (X) di era digitalisasi ini. Sikapnya menyiratkan kurang akrab dengan perubahan kebudayaan membaca buku. Jelas karena buku digital yang diperoleh, selalu dicetaknya. Sehingga timbul pertanyaan sejauh mana perubahan budaya baca buku itu bisa ditolak, bisa diterima, atau bisa berkompromi dengannya?
Dua Dunia, Dua Gaya , dan Dua Sikap dalam Menghadapi Buku
Toko Buku Terakhir setebal 216 halaman, diterbitkan oleh percetakan Lamalera tahun 2023 dengan tujuh tema; Obituarium; Agama; Kafe dan Kopi; Politik; Buku dan Aku; Perjalanan; dan Toko Buku. Rasanya lengkap sudah agar buku bisa dipajang dalam toko buku, lemari, atau dalam hati Usman Kansong. Pada era digitalisasi sekarang ini, buku bisa didapat dengan mudah secara daring, dan dibaca dalam bentuk e-book. Tidak memerlukan ruang, tetapi Kansong tidak peduli, dan terus saja diburunya buku ke mana-mana. Ia kurang senang dengan buku digital. Ada e-book dalam bentuk compact disc berisi 400 buku yang dibelinya, disertai artikel digital.
Beberapa di antaranya dicetak. Mengapa? Bagi Kansong membaca buku cetak, bisa lebih memahami materinya dibandingkan dengan digital yang mudah tergoda untuk membaca materi lain. Saya mengenal seorang muda yang menulis disertasinya tanpa ada buku yang berarti di rumahnya, meskipun rujukannya juga tidak bisa diremehkan. Jadi, Kansong adalah pembaca buku yang berbeda sifat dari kawula muda itu.
Kansong yang lahir 1970 ada dalam kelompok Gen X (1965-1980). Rentang waktu Gen tidak mutlak, William Strauss & Neil Howe menganggap generasi ini mulai 1961-1981, dan Gallup 1965 – 1977. Kawula muda itu masuk dalam awal Gen Y atau milineal, lahir 1981 – 1996. Dua kelompok generasi ini mempunyai karakter yang berbeda.
Kansong ada di antara masa akhir baby boomers (1946 – 1964) dan awal milineal yang dikenal sebagai digital native. Gen X sudah mulai menggunakan medsos, dan FB aktif, meskipun belum terlalu terikat. Karena itu tidak heran, kalau Kansong menulis tentang buku di FB. Gen milineal mempunyai pola komunikasi yang sangat terbuka, terikat dengan medsos dan fanatik pada kehidupan teknologi. Tuntutan teknologi, dan keberadaan medsos, menyebabkan semua harus dilakukan dengan cepat, tidak mementingkan kedalaman.
Kansong suka membaca buku cetak, karena di sana ada kedalaman. “Lebih menancap dalam ingatan” (142), katanya. Sikap kedua Gen itu nyata berbeda, Kansong gemar menumpuk buku, yang disimpan dalam hatinya, sembunyikan emosi, sedang Gen Y menyimpan buku-bukunya di cloud, tanpa emosi.
Peristiwa dan Memori
Esei yang ada dalam Toko Buku Terakhir berpijak pada berbagai peristiwa (event); kemanusiaan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Tema kemanusiaan disimpa dalam bagian pertama, “Buku dan Obituarium”. Di sana ada Azyumardi Azra, Mona Lohanda, Ong Hok Ham, Jallaludin Rachman, Bachtiar Efendi, Buya Saiffi Maarif dan Ridwan Saidi yang dikenal sebagai kamus hidup Sejarah dan Budaya Betawi, pikirannya sering menghebohkan.
Dalam diskusi Sejarah Ekonomi Sumatera Selatan (2014), Ridwan Saidi berbisik pada Kansong sebagai moderator, tentang Sriwijaya itu fiktif yang tidak ditanggapi oleh moderator, karena moderator khawatir menimbulkan heboh. Tetapi, lima tahun kemudian, 2019, masalah itu hangat kembali. Masyarakat Sumatera Selatan akan melaporkannya ke ke polisi. Ada lagi pernyataannya tentang Raden Fatah itu keturuna Yahudi, membuat Masyarakat Demak heboh. Usman Kansong menulis kolom di Media Indonesia, mengajak orang menyelesaikan beda pendapat seperti pemikiran Ridwan Saidi itu di Majelis Akademik, dan bukan di majelis hakim.
Peristiwa lain misalnya “Uighur” (87-91), etnik minoritas di Cina dengan masalah diskriminasi, keterbelakangan, dan konflik dengan etnik tetangga yang lebih maju. Informasi tentang Uighur semrawut, dan diperparah dengan pemberitaan Tiongkok menyuap organisasi Indonesia, HMI dan NU yang berkunjung ke sana.
“Agama Senjata Pilpres” (103-106) diawali dengan tulisan Eep Saifulloh sekitar isu Pilkada 2017. Ia mempertanyakan identitas agama yang digunakan oleh pemerintah DKI untuk memenangkan Pilkada. Sementara itu, buku David Domke & amp; Kevin Coe, God Strategy: How Religion Became A Political Weapon in America, oleh Kansong dianggap melegitimasi tulisan Eep (103). Persoalan Agama dan Pilkada ini belum selesai karena bisa dirunut dengan tulisan “Anies dan Matinya Demokrasi” (111 -114). Kansong berharap Anies dapat bersikap seperti McCain, yang menentang label Obama Arab, muslim, dan teroris. Kata McCain “Tidak, Obama bukan Arab, bukan pula teroris,…… dia warga negara Amerika yang baik, dan memiliki perbedaan konsepsi dengan saya, dan itu lah mengapa kami berkompetisi dalam Pilpres” (113). Akhir peristiwa, Obama justru memenangkan kompetisi.
Di Indonesia, saat Pilkada DKI 2017 Anies menggunakan identitas agama (113). Peristiwa itu dihangatkan dengan foto Anies yang membaca buku How Democracy Dies. Kansong berharap agar Anies tidak sedang belajar membunuh demokrasi, agar ia seperti McCain saat menghadapi Basuki Tjahaja Purnama, kandidat dengan minoritas ganda, Tionghoa dan Kristen (112).
“Sok Pintar, Sok Pakar”; Ketika gonjang-ganjing Pilpres 2019, Fadhli Zon, Fahri Hamzah, Hanum Rais dan kawan-kawan mengatakan “wajah Ratna Sarumpaet bonyok karena penganiayaan bermotif politik”. Pernyataan itu sejak awal dibantah oleh dokter bedah plastik, Tompi, yang menyatakan wajah Ratna babak belur karena operasi plastik (108).
Peristiwa lain saat Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Sitti Hikmawatty, mengatakan “Perempuan berenang sekolam dengan laki-laki, bisa hamil”. Kasus pertama dianggap Kansong sebagai kematian kepakaran, orang lebih percaya omongan yang bukan pakar. Peristiwa Sitti Hikmawaty, kepakaran belum mati, sebab ibu itu minta maaf setelah dokter Made Chock Irawan menjelaskan kalau pun ada sel sperma yang ke luar, langsung tewas di air kolam yang mengandung klorin.
“Kuli” (124-128), menggambarkan peristiwa Sejarah di perkebunan Deli, melalui beberapa novel. Madelon Hermine Szekely-Lulofs, menceritakan bagaimana Ruki mengumpulkan uang untuk pulang ke Jawa, tapi habis. Ia terjebak judi yang sistemnya diciptakan oleh tuan kebun perkebunan itu. Mochammad Said menulis peristiwa penderitaan kuli kontrak yang bersalah terhadap Sultan Del, dihukum rantai dengan beban bola besi di kaki, dan tetap harus kerja. Kota Medan dibangun di atas kesenangan tuan kebun dan penderitaan para kuli.
Berbagai peristiwa dalam Toko Buku Terakhir adalah peristiwa nyata; Ridwan Saidi yang selalu membawa heboh, Uighur yang pemberitaannya semrawut, Pilkada yang mematikan demokrasi, wajah Ratna Sarumpaet yang babak belur, atau anggapan perempuan yang bisa hamil kalau sekolam dengan laki-laki, dan beberapa peristiwa lain, dapat diandaikan sebagaimana layaknya wacana dalam ujaran. Ada dialog di antara buku yang diciptakan Kansong, yang kemudian difiksasikannya. Tentu bukan peristiwa itu an sich melainkan maknanya, sehingga makna peristiwa itu lah yang dibaca, oleh siapa saja, dalam kurun waktu yang tidak terbatas, juga tanpa melibatkan diri penulis. Toko Buku Terakhir menjadi buku yang otonom.
Ekspresi Memori dan Sikap terhadap Buku
Peristiwa dalam Toko Buku Terakhir itu disimpan dalam bentuk memori; ada memori tentang Ridwan Saidi yang sering bikin heboh, Anies yang membunuh demokrasi, Ratna Sarumpaet yang mukanya bonyok, dan sebagainya, merupakan peristiwa masa lalu, yang hadir pada saat ini (karena kita baca) dan pada masa akan datang, melalui tindakan setelah makna suatu peristiwa yang tersimpan dalam memori itu diekspresikan. Katakanlah memori tentang peristiwa Ridwan Saidi, Usman Kansong ingin agar beda pendapat diselesaikan di Majelis Akademik dan bukanya di Majelis Hakim. Memori Peristiwa demokrasi yang dimatikan Anies, membuat Kansong berharap untuk Pilkada berikut agar ia tidak menggunakan identitas agama.
Membaca memori tentang peristiwa bermakna seperti itu saya rasa hanya bisa dilakukan dengan buku cetak, meskipun sulit, tidak menafikkan buku digital. Hal ini lah sebenarnya yang membuat Kansong, seperti para Gen X, enggan melepaskan buku cetak. Ada kopromi, “Toko Buku si Abang” (187-188) bisa mewakili Gen Milenial. Toko buku dengan berbagai kenyamanan. Sambil ngopi bisa baca buku yang disewa di tempat, atau beli buku baru dan bekas. Tempat itu juga dilengkapi dengan kedai makan, production hous. Juga dijual kaos dengan pesan-pesan politik. Tampaknya mengubah mindset tentang toko buku adalah cara untuk menyelamatkan buku cetak dari kecepatan teknologi.
Post Comment