Dodengo: Transformasi Kekerasan Simbolik Orang Gamkonora

Dodengo: Transformasi Kekerasan Simbolik Orang Gamkonora

Oleh: Ninuk Kleden-P

Antropolog Peneliti Etnis Minoritas

Foto: Imelda

Siang itu sekitar pukul 3, tepat di hari raya Idul Fitri, aku dan dua orang teman, menuju tanah lapang desa Talaga, salah satu dari empat desa orang Gamkonora.  Di desa ini sejak tahun 2003 Dodengo digelar di hari raya pertama dan kedua. Meskipun sebenarnya sejak jaman Belanda orang sudah mengenal Dodengo dengan gelaran serupa. Lapangan itu terletak di tengah desa, tetapi sejak kaki diinjakkan di ujung desa sudah terdengar teriakan-teriakan riuh;

                        “Lipol …lipol …”

                        “Lipol ….seseneng kalo poha jala aupa dai ngoleng”

(Pukul …pukul… kalau kalah buang saja  ke laut)

Diiringi berbagai suara yang memeriahkan suasana; “huuuu”… tepuk tangan di sana-sini, irama gndang yang menghentak, dan kadang masih disertai drama yang menarik untuk ditonton. Seorang istri yang suaminya terkena lipol dan sempoyongan, ingin membantu suami tercintanya. Ia masuk ke tengah gelanggang, tentu teriakan makin seru karena ada tontonan ekstra. Teman-teman perempuan itu ikut menyerbu masuk untuk melerai atau membantunya. Kalau sudah begini, menjadi urusan panitia khususnya seksi keamanan.

Wacana Dodengo    

Kata si empunya cerita, Dodengo sudah dikenal sejak sebelum Islam masuk ke wilayah Kesultanan Ternate (juga dikenal sebagai Kerajaan Gapi), di mana Gamkonora adalah salah satu vasalnya. Kata orang, Dodengo digunakan dalam pertempuran kelompok kecil sehubungan dengan Islam. Dengan kata lain Dodengo sudah dikenal sejak abad ke 13.

Pencerita lain mengatakan ia menonton Dodengo di akhir masa kolonial. Dodengo yang dikenalnya adalah pertandingan bela diri diiringi gendang, kumpulan berbagai alat musik, seperti gamelan di Jawa. Gendang dimainkan oleh empat sampai lima orang, peralatan musiknya tifa dan gong. Mirip Dodengo sekarang.

Kalau demikian, rasa-rasanya tidak mungkin Dodengo dipakai bertempur. Yang digunakan   adalah peralatannya; salawako atau perisai dan ga’ola, alat pukul yang terbuat dari gaba-gaba, pelepah atau akar bakau, untuk melumpuhkan lawan. Peralatan itu lah yang digunakan dalam pertempuran antar kelompok, sebelum dikenal bahan besi.

Tampaknya Dodengo, sebagai kata telah tertanam (embedded) dalam pikiran orang Gamkonora; identik dengan pertempuran, konflik, dan kekerasan.

Memori tentang Dodengo

“Kira-kira Indonesia baru merdeka …” kata Mae tua dari desa Tagola-Waioli, desa Kristen di Halbar. Saat kami ngobrol dalam bahasa Melayu-Ternate, usianya 87 tahun, dan ia cerita tentang Dodengo dengan bergairah, seolah ia betul sedang ada di tengah kerumunan laga Dodengo. Bicaranya jelas, giginya kelihatan lengkap, dan ingatannya juga baik.

“Waktu itu Mae tua selalu nonton Dodengo di desa Gamkonora dengan jalan kaki”, begitu kata nenek yang menyebut dirinya Mae tua. “Jauh dari Tagola-Waioli”.  Diakuinya bahwa Dodengo milik orang muslim yang tinggal di empat desa orang Gamkonora. Pertandingan laga untuk memeriahkan hari raya Idul Fitri dilakukan di keempat desanya. Dimainkan sejak hari pertama Idul Fitri, di siang menjelang sore hari, dan dapat berlangsung sampai tujuh hari. Keempat desa itu menggelar Dodengo.

Katakan lah di hari pertama pemenang dari desa Gamkonora, Alif. Hari yang sama Abi pemenang dari Gamsungi, maka keesokan harinya mereka berdua harus berhadapan.   Demikian selanjutnya, hingga pertandingan terakhir ditemukan pemain Dodengo terbaik tahun itu.

“Gerakan mereka yang berlaga juga beda”. Dulu Dodengo dilakukan dengan teknik tinggi, ibarat seni, mereka seperti menari tetapi dengan kekuatan laga. Jadi, tidak asal pukul seperti sekarang. Para pemain Dodengo mempelajari teknik menyerang, memukul, dan cara menjatuhkan lawan. Misalnya dengan gerakan gotolala; serang -pukul, diam sejenak, bertahan, baru balas pukul dengan gerak “potongan empat”. Pemain sekarang hanya mengandalkan kekuatan fisik dan tidak lagi bisa bermain cantik. Gendang sekarang hanya untuk memberi semangat, dulu pemain Dodengo dapat menyambung iramanya dengan lenggang-lenggok gaya gerakan laganya.

Mae tua menonton berkelompok bersama teman-teman perempuannya. Mereka datang dari berbagai desa di mana saja, dan tidak harus muslim. Karena sepanjang jalan raya menuju Barat, desa muslim berselang-seling dengan desa-desa Kristiani.

Dodengo dan Memori Kekerasan

Dodengo identik dengan kekerasan, yang diperlihatkan dalam bentuk laga, dan peralatannya, salawako, dan go’ola. Keduanya sudah dikenal sejak abad 13 dalam perang antar kelompok pada masa Kesultanan Ternate. Rupanya kedua peralatan itu digunakan pula dalam kerusuhan Maluku 1998, meskipun tidak menafikkan senjata besi, golok dan pedang. 

Peristiwa konflik dengan kekerasan tetap menjadi memori yang sulit dilupakan. Sebenarnya yang diingat bukan peristiwa (event) itu secara utuh, karena orang hanya mengingat bagian penting dari pengalamannya, baik secara individu maupun kolektif. Bagian ini lah yang sering diceritakan ulang, pada kami dan anak cucu.

Peristiwa itu memang tidak mudah dihapus, secuplik kisahnya; akhir 1999 perempuan dan anak-anak desa Gamsungi menggunakan perahu kecil, berusaha mencapai kapal yang berlabuh jauh di tengah laut, untuk membawa mereka ke daerah aman, Ternate. Ibu-ibu bercerita tentang perasaan menghadapi kerusuhan; memegang dan menghela sekuat tenaga tangan-tangan kecil itu supaya jangan tergelincir masuk laut. Sementara laki-laki dewasa bertempur di darat. Tidak sedikit anggota keluarga yang terbunuh, hanyut, dan belum terhitung mereka yang terluka, hilang, atau yang kemudian berjalan tanpa tujuan dengan pandangan mata kosong.

Di Maluku Barat, sebenarnya kekerasan tidak berhubungan dengan Dodengo, tetapi dengan salawako dan go’ola. Entah darimana sumbernya, tetapi si empunya cerita selalu mengatakan, sejak jaman Kesultanan Ternate Dodengo sudah dikenal, juga pada masa konflik 1998 “Dodengo dipakai untuk mempertahankan diri”. Tampaknya Dodengo, dan kekerasan, telah berakar dalam alam pikir Gamkonora.  

Revitalisasi Dodengo

Setelah perjanjian Malino II ditandatangani 13 Februari 2002, keadaan dinyatakan aman.  Banyak para pengungsi yang kembali ke desanya, antara lain Sulba yang pulang ke Talaga.  Pada waktu itu, ia seorang mahasiswa Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara di Ternate. Tinggal di pengungsian saat terjadi kerusuhan Maluku 1998, dan meniti pendidikannya dari tempat pengungsian. Selama masa kerusuhan orang tidak menggelar Dodengo. Kemudian Sulba berinisiatif merevitalisasinya. Bersama beberapa teman, dibentuk panitia, mencari wasit, dan menentukan lawan yang sepadan untuk tiap adegan laga, serta mensosialisasikannya.

Sebelum hari Raya, para pemuda pergi ke hutan bakau, mencari kulit pohon bakau yang keras, untuk salawako, perisai yang dipegang di tangan kiri, dan ga’ola, alat pukul terbuat dari akar tunjangnya yang cukup keras dan berkayu.

Dodengo yang baru direvitalisasi ini hanya digelar di desa Talaga. Pelaga bisa datang melamar, dan mendaftar untuk mengikuti pertandingan.  Kalau belum mempunyai lawan, panitia mencarikan orang yang seimbang besar perawakannya

Transformasi Kekerasan Simbolik

Pada awalnya memori kekerasan yang sudah embedded dalam pikiran orang Gamkonora bersifat temporal saja, karena hanya dikomunikasikan melalui cerita dan percakapan dari mulut ke mulut, bahkan dari generasi ke generasi. Dalam perkembangannya, hal-hal yang temporal bisa menjadi obyektif; sifat temporal diikat oleh suatu institusi, tentu dengan aturan-aturannya. Ini lah Dodengo yang dilihat Mae tua di awal kemerdekaan atau diakhir jaman Belanda.

Dodengo terhenti karena kerusuhan. Setelah kerusuhan reda dan banyak pengungsi kembali ke desa asal, Dodengo muncul di Talaga, dengan Sulba sebagai agennya.

Dodengo, pertunjukan bela diri yang sebelumnya menyimpan memori kekerasan, kini muncul dalam suatu peristiwa damai. Dipertunjukkan dua hari untuk memeriahkan Idul Fitri; orang saling bermaafan dan berucap selamat. Dengan demikian, dalam pertunjukan laga, Dodengo tidak hanya menjaga pengetahuan memori, yaitu mengingat adanya konflik dengan kekerasan yang penah terjadi, tetapi juga mentransformasikan kekerasan fisik menjadi kekerasan simbolik, karena ia menjadi suatu permainan laga yang dirayakan dengan damai.

Indonesia sebenarnya sangat rawan konflik. Dari tawuran anak sekolah sampai perebutan sumber daya alam, dan isu politik bukannya tidak rawan kekerasan dan konflik. Kasus Dodengo memperlihatkan bahwa kekerasan dan konflik bisa ditransformasikan menjadi kekerasan simbolik. Dodengo dapat dijadikan model untuk meredam kekerasan dan konflik di Indonesia.

Sayang ruang lingkupnya sempit, hanya Talaga, meskipun masih bisa diperluas, dengan membuka ruang partisipasi aktif, yang melibatkan desa lain.

Bintaro, 27 Maret 2025

Post Comment