Tawa Satu Negara
Konon katanya, Indonesia ini bangsa yang pernah bahagia. Alasannya sederhana: karena kita mudah tertawa. Bahkan kadang, terlalu mudah. Kita pernah tertawa ramai-ramai melihat negara lain dikuasai gengster: dari presidennya yang jadi boneka mafia, sampai jalan raya yang lebih akrab dengan mayat daripada marka jalan. Kita geleng-geleng kepala sambil menyeruput kopi sachet: “Gila, ya, negara kok bisa kayak gitu. Untung kita nggak.”
Kita juga pernah menyaksikan negara tetangga jungkir balik karena narkoba. Aparatnya dibunuh, anak mudanya lenyap satu per satu, dan kartel narkoba punya kantor yang lebih mewah dari kantor kementerian. Kolombia. Meksiko. Kita menonton dengan mata membelalak, lalu tertawa: “Edan, narkoba bisa segitunya. Untung kita nggak.”
Tapi hari ini, kita kehilangan waktu untuk tertawa. Mungkin karena terlalu sibuk membaca draf RUU TNI yang mirip sekali dengan skenario film distopia, atau terlalu pusing melihat rupiah yang turun seperti kepercayaan publik. Belum lagi efek domino dari Trump yang hobi menaikkan tarif impor seperti sedang main monopoli global. Belum lagi kita prihatin melihat wakil presiden kita, Gibran Rakabuming, yang sering diabaikan ibu-ibu ketika main politik blusukan.
Dan di antara semua itu, kita pelan-pelan sadar, bahwa kini giliran kita yang mulai ditertawakan. Bukan karena perang gangster dan mafia. Bukan karena narkoba. Tapi karena judi online, donk.
Judi online, kawan. Bukan sembarang judi. Ini judi yang bisa diakses siapa saja, kapan saja, bahkan dari warung kopi dekat masjid atau kamar kos mahasiswa teknik masuk surga. Judi yang konon sudah menelan puluhan triliun rupiah per tahun. Ya ampun, padahal katanya kita negara religius.
Fenomena yang dulu disebut “hanya iseng”, “cuma hiburan”, kini telah berubah menjadi masalah nasional. Rumah tangga bubar. Mahasiswa berhenti kuliah. ASN jadi reseller chip ilegal. Tapi tetap saja, iklan judi muncul di Instagram, Tiktok, Facebook, bahkan situs-situs pemerintahan.
Tapi jangan senyum tolol dulu. Menurut investigasi Tempo, sejumlah perusahaan judol yang beroperasi dari Kamboja dengan target utama masyarakat Indonesia, ternyata beberapa di antaranya dimiliki oleh kelompok elit kita sendiri: dari pengusaha, aparat, sampai pejabat tinggi. Karyawannya pun diambil dari warga negara Indonesia. Alasannya, ya, karena pelanggannya orang Indonesia dan keluhan pelanggan pun menggunakan bahasa Indonesia.
Menurut analis kebijakan publik dari Indonesia Corruption Watch, “judi online adalah ekonomi politik baru di Asia Tenggara, dan Indonesia adalah pasar paling empuk karena punya jutaan pengguna yang resah tapi pasrah.” Berani tertawa? Silakan, sesuai kebijakan masing-masing.
Meskipun sudah ribuan situs diblokir oleh Kominfo, hasilnya seperti menyiram api pakai teh manis: hangat, tapi tak menyelesaikan apa-apa. Yang dihapus hanya luarannya, tapi intinya? Bahkan Kominfo, Polri, hingga Presiden, seakan-akan tak mampu memutus alur logistik digital ini. Atau jangan-jangan… memang tidak boleh diputus?
Jangan-jangan, pemerintah bukan gagal melawan mafia judol, tapi memang tidak mungkin karena pemerintah telah tersandra? Ya, alloooh, tolong. Jangan-jangan yang kita sangka negara, sebenarnya hanya perpanjangan tangan dari sebuah kongsi gelap yang dibungkus rapi dengan istilah “transformasi digital”?
Ah, terlalu berlebihan. Semoga tidak. Sekalipun Kominfo hanya bisa “melacak”. Presiden bilang “akan ditindak”. Tapi tiap minggu jumlah situs bertambah, bukan berkurang. Jangan-jangan kita bukan lagi negara demokrasi, tapi sudah berubah jadi negara kasino?
Alangkah lutjunya negeri ini, dulu kita menertawakan negara lain karena presidennya dikendalikan gangster, karena pemerintahnya dikendalikan kartel narkoboy. Sekarang, kita tak yakin siapa yang kendalikan siapa: apakah Presiden kendalikan sistem, atau sistem yang sudah lama dikendalikan dari balik meja poker?
Ah, bukankah semua sedang sibuk mempersiapkan diri menuju Indonesia Emas 2045—sebuah narasi yang sama seperti masalah judol diwariskan dari era Jokowi ke Prabowo—mungkin ada baiknya kita bertanya: apakah benar kita menuju Indonesia Emas?
Jawabannya, tolong, jangan tanya pada rumput yang bergoyang. Tanyakan saja pada mahasiswa berbaju hitam yang berdiri di tengah aspal panas, dari Bandung sampai Makassar, dari Jogja sampai Medan, dengan poster bertuliskan: “Indonesia Gelap.”
Silakan tertawa. Tertawa sekeras-kerasnya. Tertawa terbahak-bahak. Sepuas-puasnya. Sampai mampus. Atau… simpan saja sebagian tawamu. Sebab kita butuh itu jika masih ingin bertahan hidup.
Post Comment