Paus Fransiskus Tutup Usia di 88 Tahun

Paus Fransiskus Tutup Usia di 88 Tahun

Saat mentari pagi menyapu halaman-halaman batu Vatikan yang sunyi, kabar duka menggema dari balik tembok Domus Sanctae Marthae: Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, telah menghembuskan napas terakhirnya pada Senin, 21 April, pukul 07.35 waktu setempat.

Di usia 88 tahun, Jorge Mario Bergoglio—sosok bersahaja dari Buenos Aires yang mencetak sejarah sebagai Paus pertama dari Amerika Latin—meninggal dunia akibat stroke yang diikuti oleh gagal jantung. Ia wafat dalam keadaan tenang, usai beberapa hari dalam kondisi koma. Dunia seakan berhenti sejenak.

Kabar kepergian ini disampaikan oleh Kardinal Kevin Farrell, Camarlengo Gereja Katolik, dengan suara yang berat dan getir. Dengan wafatnya sang gembala, Gereja Katolik memasuki masa sede vacante—suatu periode sunyi tanpa pemimpin, dan dunia pun menunggu siapa yang kelak akan mengisi takhta Santo Petrus.

Sebuah Warisan Kasih dan Reformasi

Selama lebih dari satu dekade masa kepausannya, Fransiskus menandai arah baru bagi Gereja: jalan yang lebih inklusif, lebih rendah hati, dan dekat dengan mereka yang terpinggirkan. Ia berjalan tanpa kemewahan, menolak tinggal di Istana Apostolik, dan memilih Domus Sanctae Marthae yang sederhana sebagai tempat tinggalnya.

Ia bukan hanya pemimpin spiritual, melainkan juga seorang reformis. Di bawah arahannya, Vatikan mencoba membuka diri: memperbaiki tata kelola keuangan, mengangkat peran perempuan, dan membuka ruang diskusi tentang kehidupan umat di zaman modern. Namun perjuangannya tidak selalu mulus—banyak kebijakan beliau mendapat tantangan dari kubu konservatif dalam Gereja, yang khawatir akan perubahan terlalu cepat.

Tak hanya di dalam Gereja, Fransiskus juga memainkan peran penting dalam diplomasi global. Dari konflik di Ukraina hingga perubahan iklim, dari pengungsian Rohingya hingga dialog dengan dunia Islam, suara lembutnya bergema sebagai seruan bagi perdamaian dan keadilan. Ia adalah Paus di era penuh kegelisahan, dan ia menanggapi dunia bukan dari menara gading, melainkan dari pelataran kemanusiaan.

Perpisahan Terakhir

Jenazah Paus Fransiskus akan disemayamkan di Basilika Santo Petrus selama tiga hari—Rabu hingga Jumat—untuk penghormatan publik. Prosesi pemakaman akan digelar pada Sabtu, 26 April, pukul 10.00 waktu setempat, dan diperkirakan akan dihadiri oleh ribuan peziarah dan pemimpin dunia.

Namun dalam kematian pun, Fransiskus tetap setia pada kerendahan hatinya. Sesuai dengan wasiatnya, ia tidak akan dimakamkan di bawah altar utama Basilika Santo Petrus seperti para pendahulunya. Ia memilih Basilika Santa Maria Maggiore—tempat ia sering berdoa sebelum dan sesudah perjalanan misinya. Ia meminta peti mati dari kayu cemara biasa, dan upacara yang sederhana tanpa kemewahan.

Dunia Berkabung

Belasungkawa mengalir dari seluruh penjuru dunia. Di Argentina, tempat ia dilahirkan dan dibentuk, Presiden Javier Milei menetapkan tujuh hari berkabung nasional. Presiden Amerika Serikat Donald Trump serta sejumlah kepala negara dari Eropa, Afrika, dan Asia dipastikan akan hadir dalam misa pemakaman. Di Indonesia, doa bersama lintas agama digelar, mengenang Paus sebagai pemimpin yang menjembatani perbedaan dan merawat dialog.

Fransiskus bukan hanya milik umat Katolik. Ia adalah suara nurani bagi banyak orang yang tak bersuara.

Menuju Pemilihan Paus Baru

Kini, sorotan dunia beralih ke Kapel Sistina. Sekitar 135 kardinal berusia di bawah 80 tahun akan segera berkumpul dalam konklaf, forum sakral yang akan memilih penerus Paus Fransiskus. Diperkirakan proses ini akan dimulai setelah 6 Mei 2025. Menariknya, sebagian besar kardinal pemilih merupakan figur yang ditunjuk oleh Fransiskus sendiri—mereka yang tumbuh dalam semangat reformasi, inklusivitas, dan pembaruan.

Apa pun hasilnya, jejak Paus Fransiskus telah tertanam kuat. Ia mewariskan kepada dunia suatu bentuk kepemimpinan yang mengedepankan kasih, keberanian untuk berubah, dan kesetiaan pada kemanusiaan.

an ketika langit Vatikan kembali cerah, dunia akan mengenang beliau bukan hanya sebagai Paus ke-266, tetapi sebagai gembala yang berjalan bersama umatnya—dengan senyum hangat, kata yang lembut, dan hati yang terbuka.

Menuju Konklaf: Di Balik Gerbang Sunyi Vatikan

Langit Vatikan mendung. Lonceng-lonceng Basilika Santo Petrus berdentang lambat, menandai awal dari sebuah masa yang dikenal sebagai sede vacante—ketika Takhta Suci kosong, dan dunia Katolik menanti pemimpin barunya. Paus Fransiskus telah berpulang, dan kini Gereja Katolik memasuki momen penuh perenungan, protokol, dan doa.

Dalam hari-hari pertama setelah wafatnya Paus, perhatian beralih kepada sosok yang selama ini bekerja dalam bayang-bayang: Kardinal Camarlengo, saat ini dijabat oleh Kardinal Kevin Farrell. Ia bertugas memverifikasi kematian Paus secara resmi, menyegel kamar pribadi Paus, dan memulai langkah-langkah administratif yang membuka jalan menuju pemilihan pemimpin baru.

Persiapan Sebuah Pemilihan Kudus

Selama masa sede vacante, semua fungsi eksekutif Vatikan yang biasa dijalankan Paus dihentikan. Departemen-departemen penting tidak dapat mengeluarkan keputusan besar. Namun, satu proses yang tidak menunggu adalah persiapan konklaf, pertemuan rahasia para kardinal untuk memilih Paus baru.

Sekitar 135 kardinal berusia di bawah 80 tahun—yang memiliki hak suara—mulai berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Mereka berkumpul di Vatikan, membawa serta harapan dari jutaan umat. Beberapa di antara mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Paus Fransiskus sendiri, mencerminkan warna dan arah reformasi yang beliau bawa.

Selama beberapa hari sebelum konklaf, para kardinal mengadakan pertemuan umum, yang dikenal sebagai kongregasi umum. Di sinilah mereka membahas keadaan Gereja, tantangan global, dan kriteria yang dibutuhkan dari seorang Paus baru. Suasana diskusi ini mendalam dan rahasia, tapi sangat penting: inilah panggung awal bagi munculnya nama-nama yang mungkin akan didorong ke posisi tertinggi Gereja.

Hari yang Dinanti: Konklaf Dimulai

Saat semua telah siap, bel berbunyi di Kapel Sistina. Sebuah ruangan megah dengan lukisan-lukisan Michelangelo yang menggambarkan kisah penciptaan dan hari kiamat kini menjadi saksi dari peristiwa paling sakral dalam Gereja Katolik.

Para kardinal masuk satu per satu, mengenakan jubah merah, dengan raut wajah serius. Mereka mengucapkan sumpah untuk menjaga rahasia dan menjunjung tinggi kehormatan proses ini. Lalu, pintu kapel dikunci dari luar dengan seruan “Extra Omnes!”—”semua yang bukan kardinal, keluar!”—dan dunia pun menunggu dalam diam.

Setiap hari, para kardinal dapat memberikan suara sebanyak empat kali: dua kali di pagi hari, dua kali di sore hari. Pemilihan dilakukan dengan kertas suara yang dilipat dan dilempar ke dalam sebuah urna perak. Setelah setiap pemungutan suara, surat suara dibakar. Bila tak ada hasil, asap hitam (fumata nera) mengepul dari cerobong di atas kapel. Tapi jika seseorang terpilih dan menerima tugas suci itu, asap putih (fumata bianca) akan membubung tinggi, disambut sorak sorai umat yang menunggu di Lapangan Santo Petrus.

Dari Kardinal Menjadi Paus

Agar seseorang terpilih menjadi Paus, ia harus mendapat dua pertiga suara dari seluruh kardinal pemilih. Jika seorang kandidat mencapai angka itu, dia akan ditanya, “Apakah Anda menerima pemilihan kanonik ini sebagai Paus?” Jika menjawab Accepto, maka pertanyaan berikutnya adalah, “Dengan nama apa Anda akan dikenal?”

Setelah itu, Paus yang baru terpilih akan mengganti jubahnya, kini berwarna putih, dan menuju ke Balkon Basilika Santo Petrus, di mana Kardinal Protodiakon akan mengumumkan kepada dunia:

“Habemus Papam!” – Kita memiliki seorang Paus!

Sumber: Reuters, Wikipedia, AP, The Times

AI: ChatGPT

Post Comment