Barak atau Buku
Di tanah Sunda yang konon gemah ripah loh jinawi, seorang gubernur terpilih tak hanya memikirkan jalan berlubang dan harga cabai, tapi juga anak-anak nakal. Bukan, bukan dengan pendekatan psikologi perkembangan atau pendidikan berbasis kasih sayang—tapi dengan satu kata penuh getaran: barak. Ya, barak. Tempat keras yang selama ini kita asosiasikan dengan pelatihan militer, barak kini disulap menjadi ruang rehabilitasi moral. Karena, menurut sang gubernur, anak nakal hanya butuh disiplin gaya kopral untuk berubah.
Para follower bersorak. Mereka membayangkan anak-anak muda yang kerjanya membalap motor, melempar batu ke rumah tetangga, atau sekadar merokok di pojok sekolah, akan berubah jadi warga ideal begitu dihajar hormat grak dan push-up 100 kali. Tak sedikit yang berseru di kolom komentar, “Bagus, Pak! Indonesia butuh ketegasan!” Seolah-olah tegas itu sinonim dengan menghukum, dan mendidik itu artinya membuat trauma ringan dengan metode teriak dan rotan.
Sementara itu, di sudut barat laut Pulau Jawa, DKI Jakarta mengusulkan pendekatan berbeda. Konon, gubernurnya ingin mengirim anak-anak nakal ke… perpustakaan. Betapa tidak heroik. Tidak ada jeritan, tidak ada lumpur, tidak ada barak. Hanya rak buku, sunyi, dan bau kertas. Narasi ini, entah fakta atau fiksi, mengganggu romantisme publik terhadap pendekatan disipliner. Karena di negeri ini, keras adalah cinta, lembut dianggap lemah.
Dan mari kita jujur: Indonesia bukan negara yang bersahabat dengan buku. Kita bisa menghafal nama-nama artis Korea lebih cepat daripada nama pengarang lokal. UNESCO pernah mencatat minat baca Indonesia sangat rendah; dari 61 negara, Indonesia berada di peringkat ke-60. Kalau ada anak disuruh baca novel satu bab saja, biasanya dia akan bertanya, “Nilainya masuk enggak, Bu?” Kita bukan tak bisa membaca—kita hanya jarang diberi alasan kenapa harus membaca. Maka, tak heran jika mengirim anak ke perpustakaan justru dianggap candaan, bukan kebijakan. Dan para pejabat pun mungkin dididik dalam kondisi semacam itu. Tidak banyak yang punya pengalamn intim dengan buku, terutama buku yang bermutu.
Padahal dunia sudah lama menyadari bahwa perubahan perilaku tak selalu datang dari ketegasan dalam bentuk barak. Di Brazil, misalnya, narapidana bisa mengurangi masa tahanan mereka jika membaca buku dan menulis esai reflektif. “Redemption through reading,” begitu mereka menyebutnya. Di Norwegia, para tahanan punya akses ke kursus menulis kreatif, bukan pelatihan senam pagi. Di Jerman, pendidikan dan psikoterapi menjadi alat utama dalam merestorasi perilaku kriminal.
Tapi kita memang suka menoleh ke masa lalu, bukan masa depan. Kita percaya bahwa anak nakal hanya bisa ditundukkan lewat bentakan dan barisan, bukan lewat buku dan diskusi. Kita lupa bahwa anak adalah makhluk berpikir, bukan robot rusak yang bisa dibetulkan dengan setrum kecil-kecilan bernama disiplin militer. Kita mudah terkesima oleh narasi keras, karena dalam benak banyak orang dewasa Indonesia, cinta memang harus diucapkan dalam bentuk hukuman.
Maka, di negeri dengan literasi yang compang-camping ini, mengirim anak ke perpustakaan adalah perbuatan revolusioner. Mungkin terlalu revolusioner untuk diterima. Tapi justru karena itulah kita perlu mencobanya. Selamat Hari Buku. Di dunia yang makin bising dan beringas, membaca mungkin satu-satunya revolusi yang tenang.
Post Comment