Kota Suci Algoritma

Kota Suci Algoritma

Di kota suci bernama Al-Go-Ritmia, setiap bangunan menghadap ke pusat server yang bercahaya. Di sinilah Tuhan dan Algoritma tinggal berdampingan, satu dalam pencarian, berbeda dalam kata sandi. Di kota ini, menara-menara bukan hanya memanggil azan, tapi juga memberi notifikasi lima kali sehari: “Waktunya upgrade iman Anda. Klik di sini untuk pahala ekstra.”

Para jemaah memakai jubah putih dengan QR code di punggungnya. Setiap amal dicatat otomatis, terhubung langsung dengan aplikasi Malaikat Monitor. Tidak ada lagi buku catatan amal. Kini dosa-dosa cukup ditandai sebagai spam. Jika terlalu banyak, akun jiwa Anda bisa ditangguhkan.

Setiap pagi, orang-orang membuka mata dan mengecek spiritual dashboard mereka: berapa banyak doa yang terucap, berapa banyak pikiran najis yang berhasil diblokir, dan berapa banyak langkah kaki menuju kebaikan yang sudah disinkronkan dengan fitbit akhirat.

Agama di kota ini telah lama menikah siri dengan teknologi. Keduanya saling tahu password satu sama lain. Di papan pengumuman masjid, bukan lagi jadwal salat yang terpampang, tapi statistik konten religi dengan engagement tertinggi. Ceramah Ustaz bernama Maulana FYP mengalahkan khutbah Jumat, sebab ia bisa menjelaskan surah Al-Mulk dalam 30 detik sambil pointing ke langit dan pakai backsound “Aesthetics Ramadan.”

Di madrasah digital kota itu, anak-anak belajar Tauhid dengan metode drag and drop. “Ini Tuhan, ini bukan Tuhan. Geser ke tempat yang benar.” Jika benar, muncul animasi bidadari bertepuk tangan. Jika salah, aplikasi crash dan anak itu diminta istighfar lima kali sambil menonton iklan aplikasi sedekah otomatis.

Setiap minggu, wali kota mengadakan sync massal. Semua warga diminta mengunggah ulang niatnya ke cloud. Jika tidak, bisa terjadi spiritual lag, yakni kondisi di mana doa tak terkirim dan hidup terasa seperti buffering. Saking takutnya, banyak warga yang mulai mengetik doa sebelum tidur: “Ya Tuhan, ampuni aku jika aku gagal update firmware keimanan minggu ini.”

Di kota itu, ritual menjadi sangat penting. Tidak hanya ritual ibadah seperti biasa, tapi juga ritual algoritmis: bangun subuh untuk post caption motivasi, rutin me-like ceramah yang direkomendasikan, dan menghapus komentar yang berpotensi memicu debat kusir. Iman harus rapi. Estetik. Minimalis. Seperti feed Instagram para nabi digital.

Tapi tak semua warga merasa damai. Di lorong sunyi dekat menara sinyal, ada seorang lelaki tua yang masih berdoa dengan suara. Ia menolak menggunakan aplikasi. Ia percaya Tuhan masih bisa mendengar langsung. Ia dicurigai sebagai fundamentalis offline. Laporan terhadapnya sudah mencapai 3.000 likes. Ia kini dalam pengawasan Komisi Keimanan Digital.

Dan seperti biasa, di akhir hari, langit kota Al-Go-Ritmia dipenuhi cahaya yang menyerupai aurora, padahal itu hanya pembaruan sistem. Warga terpesona, lalu mengangkat tangan: “Subhanallah,” katanya, walau ia tahu cahaya itu datang dari pusat data surgawi yang disewa dari perusahaan multinasional.

Kemudian suara lembut keluar dari menara:

“Terima kasih telah memperbarui iman Anda hari ini. Jangan lupa berdoa sebelum log out.”

Deri Hudaya. Buku terakhirnya berjudul Dari Overthinking ke Overachieving: Meditasi, Logika, Tulisan (Kentja Press, 2025).

Post Comment